Memang, setiap kali berobat, Yasif, kakak laki-laki Cahaya dan ibunya yang mengantar. Entah kenapa, kali ini Cahaya minta diantar bapaknya.
"Ya sudah, ayo!" jawab Abdul, ayah Cahaya yang saat itu sedang santai di rumah.
Segera Abdul mengambil motor GL hitam merah yang masih terparkir di teras rumah. Sore itu, sekitar jam empat Cahaya berobat ke dokter langganannya yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah. Sesampainya di tempat praktek dokter, tampak tiga pasien laki-laki usia dewasa dan seorang ibu sambil menggendong anak perempuan sedang menunggu antrean.
        Segera Cahaya duduk di tempat duduk pasien disusul bapaknya yang mengambilkan nomer antrean. Setelah menunggu hampir 30 menit, giliran Cahaya masuk ke ruang praktek dokter. Sambil menahan demam dan menggigil kedinginan, ia langsung tidur di tempat periksa. Dokter memeriksa mata dan mulutnya.
        "Sudah berapa hari sakitnya?" tanya dokter sambil mengambil stetoskop yang sedari tadi digantungkan di lehernya dan membuka kancing baju bagian atas Cahaya untuk memeriksa bagian dada dan perut dengan lembut.
        "Diare?" tanya dokter lagi.
        "Iya Dok," jawab Cahaya lemah.
        "Bisa jadi karena kebanyakan pikiran ini," ungkap dokter.
        "Pikiran apa Dok?" timpal Abdul, bapak Cahaya.
        "Ya ditanyakan saja kepada anaknya," sahut dokter lagi.
        "Diminum obatnya, makan yang halus-halus. Jangan makan nasi atau yang pedas-pedas. Makan bubur atau lontong saja dulu. Jangan banyak pikiran juga."