Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book

Arah Cahaya Part 1 (Lorong Waktu)

31 Juli 2023   12:48 Diperbarui: 7 September 2023   15:38 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lorong Waktu

 keheningan malam yang hampir separuh, Cahaya Insani, seorang public speaker ternama dan handal di kotanya, seorang istri dari kepala bank swasta ternama, seorang ibu dengan satu orang anak  yang kini sedang menempuh pendidikan di pesantren, perlahan memejamkan mata di sofa panjang, di pinggir kolam renang yang terletak dibagian belakang rumahnya. Sengaja ia ingin menutup mata, melihat bertahun-tahun ke belakang tentang segala hal yang telah dilaluinya. Ia seakan ingin pergi jauh melewati lorong waktu, memasuki dimensi 30 tahun yang lalu. Saat ia berada di dusun kecil tempat kelahirannya. Dusun yang penuh dengan liku cerita dan sejarah. Tak hanya tentang diri dan keluarganya, tetapi juga warganya, dan banyak peristiwa besar yang ikut menjadi pemberitaan di masanya.

                Ia ingat betul, hampir setiap sore setelah mandi, anak-anak di dusun bermain dengan teman-temannya di halaman rumah. Sekadar bermain petak umpet, gobak sodor, maling-malingan atau sekadar duduk-duduk sambil menunggu penjual pentol cilok langganan. Sore itu, Cahaya tidak mendatangi rumah temannya. Ia menunggu penjual cilok di depan rumahnya. Setelah mandi, Cahaya yang menggenggam dua uang koin lima ratus rupiah di tangan kanannya, hanya duduk di depan teras rumah yang sangat luas.

                Tak begitu lama menunggu, tukang cilok langganannya pun tiba, terdengar suara tit tot tit tot di jalan depan rumahnya. Segera Cahaya menyambut dan menghentikan laju sepeda onthel yang sedang membawa barang dagangannya dengan suka cita. Saat menerima pentol yang dibeli, terdengar suara dentuman keras. Seperti suara bom dalam perang dunia. Asap tebal tampak menggumpal dan membumbung di langit senja yang berjarak 200 meter arah barat rumahnya. Tak lama kemudian, segera orang-orang keluar rumah, mencari sumber suara yang memekakkan telinga. Dalam hitungan detik, semua orang sudah berada di luar rumah ingin mengetahui ada kejadian apa.

                Suara riuh langsung terdengar dari seluruh penjuru dusun. Cahaya yang merasa takut, hanya berdiri di samping ibunya sambil membawa sebungkus plastik cilok yang dibeli. Ia hanya terdiam menunggu kabar dari ayahnya yang seorang kepala dusun untuk mengetahui kejadian apa sebenarnya.

"Ya Allah, Allahu Akbar, ada apa di sana?" teriak Gok Sun, penjual pentol sambil terbelalak heran dengan kejadian yang ada. "Kalau saja aku tidak dihentikan Cahaya, pasti aku juga ikut menjadi korban," ucapnya dengan suara bergetar karena mengetahui ia selamat dari musibah yang ada.

30 menit kemudian, terdengar suara mobil polisi dan disusul ambulan menuju lokasi sumber suara. Orang-orang lalu-lalang seakan ingin segera mengetahui kejadian apa yang telah menggemparkan penduduk desa.

                Menjelang azan Magrib, tampak orang-orang berkerumun di sepanjang jalan rumah Cahaya yang berada di ujung jalan sebelah timur hingga ke barat sampai lokasi sumber suara. Banyak cerita mulai beredar, samar-samar memecah rasa keingintahuan banyak orang. Ternyata, suara dentuman hebat itu adalah letusan bom. Sedikit demi sedikit mulai terkuak penyebab sumber suara. Ternyata adalah suara ledakan bom yang sedang diotak-atik si korban, yang juga tukang servis elektronik. Seorang bapak dan tiga anak yang masih balita tewas seketika, dan dua lainnya dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka parah.

                Cerita tragis dari mulut ke mulut terdengar ke seluruh pelosok desa. Meski sudah dipasangi garis polisi, tapi masih banyak warga bahkan dari luar daerah yang berjubel ingin melihat langsung kejadiannya. Benar saja, keesokan harinya dusun kesayangannya menjadi headline di berbagai media. "Bom peninggalan penjajah meledak di perkampungan padat penduduk" begitu judul headline di salah satu televisi yang ditontonnya.

                Tak hanya itu, surat kabar lokal dan nasional semua menjadikan buah bibir kampung halamannya. Ternyata, Bom yang meledak adalah Granat yang diperoleh Sobirin, adik ipar korban yang mendapatkan dua granat dari belakang masjid sebelah sekolahnya. Dua barang yang dibawa pulang oleh Sobirin, siswa madrasah kelas satu yang menjadi sumber bencana. Granat nanas yang dibawa pulang dari sekolah diberikan kepada kakak iparnya.

Sore harinya, satu granat nanas diotak-atik saat sedang bersantai ditemani lima anak kecil di sampingnya yang sedang asyik bermain sambil menunggu penjual cilok langganan. Satu granat meledak, dan satu lagi berada di kotak peralatan servis elektroniknya. Granat nanas aktif peninggalan Belanda itu, dalam hitungan detik sudah merenggut lima nyawa dan menghancurkan dua rumah. Seorang anak selamat meski luka parah.

                Cerita betapa tragisnya kondisi korban ledakan bom itu juga beredar luas dari satu mulut ke mulut lainnya.

"Telinga, mata dan kulit tubuh bercecer di mana-mana. Cuilan daging manusia menempel di tembok dan di antara tanaman pisang yang ada di sekitar kejadian," kata seorang lelaki saksi mata.

"Dada, paha, perut dan pantatnya bolong," tambah lainnya.

"Tembok rumah saja hancur, apalagi manusia," imbuh lainnya.

Seakan tak ingin lebih jauh lagi mendengarkan cerita dari orang-orang sekeliling, Cahaya mencoba menutup telinga dengan kedua tangannya. Karena kejadian itu, jangankan malam hari di rumah sendiri, siang hari pun rasanya sangat takut. Ia tak bisa memejamkan mata saat tidur sendiri. Bahkan mandi pun tidak menutup pintu saking takutnya. Untung ia memiliki banyak saudara di rumah untuk mengikis rasa takutnya.

Beberapa hari setelah kejadian menakutkan itu, banjir besar melanda dusunnya. Hujan yang turun terus-menerus tanpa henti tak pelak menenggelamkan dusun yang Cahaya tempati. Rumah dan sawah di sekitar dusun terendam banjir hingga seminggu lamanya. Banjir setinggi hampir dua meter itu, mau tak mau membuat Cahaya dan seluruh warga di dusun mengungsi ke luar desa. Ada yang mengungsi ke posko pengungsian, ada juga yang mengungsi di rumah sanak keluarganya. Tak terkecuali Cahaya beserta kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

Ia ingat betul, saat itu air sudah setinggi hampir dua meter. Yasif, kakak laki-lakinya bahkan memanggul Cahaya di pundaknya. Saat itu, air sudah mencapai hampir leher orang dewasa. Kembali, kampung halaman Cahaya menjadi headline surat kabar baik cetak maupun elektronik di negerinya.

Sebuah peristiwa sejarah besar yang tak mungkin dilupakan dalam ingatannya. Kampung halaman dan pengalaman masa kecilnya telah melukiskan banyak cerita. Bahkan, saat itu, ketika memasuki bangku SMP di luar kecamatan, saat berkenalan dengan beberapa teman, ia masih sering ditanya tentang kejadian yang pernah menggemparkan desanya. Sontak ia seakan kembali ke masa-masa menakutkan dan mengingat kejadian mengerikan yang pernah ada.  

Namun, peristiwa besar itu sungguh telah memberi Cahaya ketertarikan yang besar terhadap dunia jurnalistik, presenting serta menulis. Mengetahui seringnya wartawan meliput dan mewawancarai narasumber, melihat serta membaca hasil kerja wartawan dan presenter keesokan harinya seakan membuat hati Cahaya sangat tertarik dengan kerja di dunia media. Dunia yang masih belum banyak anak se-usianya tertarik dengan profesi jurnalistik. Dan memang belum banyak diminati di masanya.

Apalagi, ayahnya adalah orang yang sangat gemar membaca. Ayahnya selalu membaca di masa senggangnya dengan suara keras bak presenter berita. Jadilah Cahaya kecil menjadi anak yang sangat senang membaca dan mendengarkan serta melihat berita. Sehabis Subuh, ia berkegiatan sambil mendengarkan siaran berita VOA atau BBC di Radio. Tak seperti anak-anak pada umumnya. Ia juga senang membaca surat kabar dan majalah Kartini, Femina, Aneka, Intisari atau bahkan majalah sekolah kakaknya. Bukan majalah baru, tapi majalah yang sudah kedaluwarsa. Majalah yang tak tahu asalnya dari mana. Mungkin majalah kakak-kakaknya. Yang ia tahu, selalu ada majalah di meja ruang tamu. Dan tak pelak, ia tak akan pernah melewatkan untuk menuntaskan membaca surat kabar dan majalah-majalah yang menjadi favoritnya.

 

"Mungkin apa yang kau lihat, kau dengar dan kau perhatikan saat kecil, tanpa sadar akan muncul menjadi impian dan cita-cita terbesarmu."

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun