Cerita betapa tragisnya kondisi korban ledakan bom itu juga beredar luas dari satu mulut ke mulut lainnya.
"Telinga, mata dan kulit tubuh bercecer di mana-mana. Cuilan daging manusia menempel di tembok dan di antara tanaman pisang yang ada di sekitar kejadian," kata seorang lelaki saksi mata.
"Dada, paha, perut dan pantatnya bolong," tambah lainnya.
"Tembok rumah saja hancur, apalagi manusia," imbuh lainnya.
Seakan tak ingin lebih jauh lagi mendengarkan cerita dari orang-orang sekeliling, Cahaya mencoba menutup telinga dengan kedua tangannya. Karena kejadian itu, jangankan malam hari di rumah sendiri, siang hari pun rasanya sangat takut. Ia tak bisa memejamkan mata saat tidur sendiri. Bahkan mandi pun tidak menutup pintu saking takutnya. Untung ia memiliki banyak saudara di rumah untuk mengikis rasa takutnya.
Beberapa hari setelah kejadian menakutkan itu, banjir besar melanda dusunnya. Hujan yang turun terus-menerus tanpa henti tak pelak menenggelamkan dusun yang Cahaya tempati. Rumah dan sawah di sekitar dusun terendam banjir hingga seminggu lamanya. Banjir setinggi hampir dua meter itu, mau tak mau membuat Cahaya dan seluruh warga di dusun mengungsi ke luar desa. Ada yang mengungsi ke posko pengungsian, ada juga yang mengungsi di rumah sanak keluarganya. Tak terkecuali Cahaya beserta kedua orang tua dan saudara-saudaranya.
Ia ingat betul, saat itu air sudah setinggi hampir dua meter. Yasif, kakak laki-lakinya bahkan memanggul Cahaya di pundaknya. Saat itu, air sudah mencapai hampir leher orang dewasa. Kembali, kampung halaman Cahaya menjadi headline surat kabar baik cetak maupun elektronik di negerinya.
Sebuah peristiwa sejarah besar yang tak mungkin dilupakan dalam ingatannya. Kampung halaman dan pengalaman masa kecilnya telah melukiskan banyak cerita. Bahkan, saat itu, ketika memasuki bangku SMP di luar kecamatan, saat berkenalan dengan beberapa teman, ia masih sering ditanya tentang kejadian yang pernah menggemparkan desanya. Sontak ia seakan kembali ke masa-masa menakutkan dan mengingat kejadian mengerikan yang pernah ada. Â
Namun, peristiwa besar itu sungguh telah memberi Cahaya ketertarikan yang besar terhadap dunia jurnalistik, presenting serta menulis. Mengetahui seringnya wartawan meliput dan mewawancarai narasumber, melihat serta membaca hasil kerja wartawan dan presenter keesokan harinya seakan membuat hati Cahaya sangat tertarik dengan kerja di dunia media. Dunia yang masih belum banyak anak se-usianya tertarik dengan profesi jurnalistik. Dan memang belum banyak diminati di masanya.
Apalagi, ayahnya adalah orang yang sangat gemar membaca. Ayahnya selalu membaca di masa senggangnya dengan suara keras bak presenter berita. Jadilah Cahaya kecil menjadi anak yang sangat senang membaca dan mendengarkan serta melihat berita. Sehabis Subuh, ia berkegiatan sambil mendengarkan siaran berita VOA atau BBC di Radio. Tak seperti anak-anak pada umumnya. Ia juga senang membaca surat kabar dan majalah Kartini, Femina, Aneka, Intisari atau bahkan majalah sekolah kakaknya. Bukan majalah baru, tapi majalah yang sudah kedaluwarsa. Majalah yang tak tahu asalnya dari mana. Mungkin majalah kakak-kakaknya. Yang ia tahu, selalu ada majalah di meja ruang tamu. Dan tak pelak, ia tak akan pernah melewatkan untuk menuntaskan membaca surat kabar dan majalah-majalah yang menjadi favoritnya.
Â