Mohon tunggu...
Anne Mathofania
Anne Mathofania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Internasional dalam Perspektif Realisme Klasik, Neorealisme Defensif, dan Neorealisme Ofensif

17 Oktober 2023   18:03 Diperbarui: 17 Oktober 2023   18:06 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perang Dingin Dalam Sudut Pandang Realisme Klasik

Teori realisme klasik melihat bahwa negara merupakan aktor utama dan satu-satunya dalam hubungan internasional. Realisme klasik berasumsi bahwa struktur internasional bersifat anarkis, dan hubungan antar negara bersifat konfliktual. Teori realisme mencerminkan human nature dalam sifat negara, dimana negara juga akan bersifat self-help dan juga bersifat egois untuk memperoleh kepentingan nasionalnya sendiri. Perang antara US dan USSR di masa Perang Dingin merupakan salah satu bukti nyata akan teori ini, dimana negara akan memaksimalkan powernya untuk mencapai kepentingan nasional.

Perang Dingin muncul setelah Perang Dunia II berakhir hal ini menunjukkan bahwa di dalam konteks hubungan internasional terjadi struggle for power besar-besaran melalui konflik-konflik politik, dan ideologi diantara dua blok yang berlawanan, yaitu blok liberal kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok sosialis komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet. Persatuan  sekutu  yang  telah  terbentuk dan berjalan  selama  perang, kemudian mulai runtuh,  karena  terdapat perbedaan ideologi serta tujuan politik dari kedua negara adidaya. Perbedaan ideologi dan tujuan politik ini lah yang menjadi faktor pendorong munculnya konflik maupun rivalitas diantara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Rivalitas kedua negara adidaya tersebut dapat dilihat dari usaha mereka dalam mempertahankan ideologi mereka masing-masing. Selain itu, kedua  negara  adidaya tersebut juga berlomba-lomba untuk  mengembangkan senjata nuklir terbaik. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soivet tidak ragu untuk mengeluarkan anggaran militer secara besar-besaran demi membangun dan  mempertahanakan senjata  nuklir. Salah satu contoh peristiwa yang terkenal adalah Krisis Rudal Kuba di tahun 1962. Kedua negara adidaya tersebut saling bersaing untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia. Amerika menggunakan kebijakan mereka, yaitu kebijakan containmen yang memiliki tujuan untuk meghambat, dan menghentikan persebaran dari ideologi komunisme di dunia. Sedangkan Uni Soviet menggunakan doktrin Ekspansi  Revolusioner mereka yang  memiliki  tujuan  untuk  menopang pemberontakan komunis yang sedang terjadi di beberapa wilayah. Namun, pada akhirnya, perang dingin berakhir pada tahun 1991 dengan hasil Uni Soviet runtuh dan berhasil dibubarkan. Dengan begitu, Amerika Serikat berhasil menjadi satu-satunya negara paling kuat di dalam sistem internasional dunia pada saat itu.

Isu Invasi Rusia-Ukraina Dalam Sudut Pandang Neorealisme Defensif

Neorealisme defensif merupakan salah satu turunan dari teori neo-realisme yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Berbeda dengan neorealisme ofensif, neorealisme defensif lebih menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan maksimalisasi kekuatan, tapi hanya mencapai kekuatan yang cukup untuk survive. Ditakutkan, jika terdapat negara yang terlalu kuat, maka negara lain justru akan melakukan balancing power yang berpotensi mendorong konflik semakin besar antar pihak. Dalam neorealisme defensif terdapat konsep balance of threat yaitu argumen bahwa respon aliansi antar negara tergantung pada persepsi ancaman yang dilihat dari tindakan atau perilaku negara lain. Ada 4 elemen ancaman sebuah negara berdasarkan balance of threat, yaitu aggregate power (kekuatan populasi, kapabilitas militer, dan dana pertahanan), geographic proximity (potensi ancaman semakin besar jika jarak antar pihak semakin dekat), offensive capabilities (menyerang dengan kapabilitas), dan offensive intentions (keingin tahuan yang memicu kecurigaan). Contoh kasus yang mencerminkan neorealisme defensif adalah kasus invasi Rusia terhadap Ukraina. 

Ingin bergabungnya Ukraina ke NATO menjadi latar belakang mengapa Rusia melakukan invasi terhadap Ukraina. Ukraina yang dinilai cenderung pro dengan Amerika Serikat dan negara-negara barat membuat Rusia merasa wilayah sekitar Rusia menjadi terancam tidak aman, dan masa depan Rusia akan dipertaruhkan dengan adanya penyebaran pengaruh NATO. Situasi ini kemudian membuat Presiden Rusia saat ini, yaitu Putin, memilih untuk menginvasi Ukraina karena dinilai ini tindakan ini akan mengamankan posisi mereka agar tetap bisa survive. Dengan begitu, Ukraina terbukti menjadi teritori penting bagi strategi keamanan Rusia. Neorealisme defensif memandang invasi Rusia ke Ukraina ini disebabkan oleh ketakutan Rusia akan adanya ancaman berupa geographic proximity dari bergabungnya Ukraina ke NATO, karena dapat mengancam territorial ibu kota Russia Moscow yang berdekatan dengan Ukraina. Oleh karena itu, Rusia merespon tindakan Ukraina dengan invasi militer untuk melindungi keamanan nasional.

   

Konflik Laut Cina Selatan Dalam Sudut Pandang Neorealisme Ofensif

Neorealisme ofensif memandang  eskpansi militer merupakan kunci utama negara untuk menjamin keamanan dan survivalitas negaranya di dalam struktur internasional yang anarkis. Ini berarti dalam neorealisme ofensif, suatu negara akan mencoba memaksimalkan kekuatan negaranya (militer), sehingga akibatnya, akan memicu setiap negara ikut berlomba menjadi negara hegemon, baik dalam level regional maupun level global. Contoh isu internasional yang menggambarkan teori neorealisme ofensif ini adalah konflik Tiongkok dalam upayanya mengklaim Laut China Selatan.

Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah laut terpenting di dunia karena kaya akan sumber daya alam, dan menjadi salah satu jalur perdagangan laut terpadat. Berdasarkan data dari CSIS, 25% arus pelayaran dunia melewati laut dan diperkirakan setidaknya terdapat 190 Triliyun kubik gas alam dan 11 Miliyar barel minyak yang terbukti terkandung di Laut Cina Selatan. Karena hal ini, Laut Cina Selatan menjadi kawasan vital. Dinamika di kawasan ini semakin berkembang ketika Tiongkok melalui sembilan garis putus-putusnya melakukan klaim sepihak atas kawasan Laut Cina Selatan berdasarkan klaim historis mereka. Kemudian, negara-negara yang wilayah lautnya berbatasan langsung dengan kawasan Laut Cina Selatan seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia menentang klaim sepihak Tiongkok tersebut. Meskipun begitu, aktivitas Tiongkok di Laut Cina Selatan seperti pembangunan pangkalan militer di pulau buatan hingga patroli kapal perang angkatan laut dan coast guard mereka tetap berlangsung hingga saat ini. Kegiatan Tiongkok di Laut Cina Selatan ini kemudian menciptakan ketegangan dengan negara-negara kawasan.

Jika dipandang melalui neorealisme ofensif, tindakan agresif yang dilakukan Tiongkok di laut cina Selatan, memicu terjadinya security dilemma di kawasan akibat ketegangan yang terjadi. Security dilemma yang terjadi berbentuk arms race di antara negara-negara kawasan dengan Tiongkok. Tiongkok yang berusaha meningkatkan kekuatan militer dengan peningkatan anggaran belanja militer besar-besaran berujung pada peningkatan anggaran belanja militer negara-negara lain di kawasan. Security dilemma dapat diartikan sebagai kondisi di mana suatu negara ingin meningkatkan keamanannya dengan meningkatkan kekuatan yang berujung pada negara lain yang merasa terancam dan turut meningkatkan kekuatannya dan pada akhirnya berujung pada menurunnya tingkat keamanan negara pertama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun