Pada 06 Mei 2024, tak lama Hamas menerima perjanjian gencatan senjata, Israel melakukan penyerangan terhadap Rafah. Dikutip dari BBC, Israel menolak karena perjanjian tersebut dianggap “jauh dari memenuhi tuntutan Israel”. Sebagai balasan, milisi Jihad Islam Palestina mengirimkan roket ke Israel. Hingga hari ini, konflik yang sudah berlangsung bertahun-tahun antara Israel dan Palestina pun belum usai juga. Titik terang belum terlihat, sementara korban terus berjatuhan dari kedua pihak.
Menanggapi konflik tersebut, gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanction) kembali marak di media sosial. Di Indonesia, gerakan yang sama mulai digaungkan. Aksi protes dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari turun langsung ke jalanan hingga mengunggah seruan dan ajakan pemboikotan melalui media sosial. Sebagian orang memilih untuk beralih ke produk lokal dan menghentikan pembelian produk yang terasosiasi dengan Israel, bahkan rela membuang produk yang sudah dimiliki. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk menyuarakan dukungan kepada korban dari konflik Israel-Palestina, terutama rakyat Palestina. Sekalipun awalnya gerakan ini banyak dilakukan oleh umat Muslim, tokoh dan umat agama non-Islam pun sudah mulai turut bergerak. Seperti kata ketua PBNU, Gus Yahya, pada April 2023, ini bukan lagi persoalan agama, melainkan persoalan kemanusiaan (Suara.com, 2023).
Namun, pada November 2023, sebuah artikel di Republika menyuarakan pertanyaan yang menjadi kekhawatiran sebagian orang mengenai aksi boikot. Artikel tersebut berjudul “Heboh Aksi Boikot Israel, Masyarakat Indonesia Hanya FOMO?” Dalam artikel tersebut, penulis mengutip dari seorang pakar marketing, Yuswohady, yang mengatakan bahwa pemboikotan hanya efektif karena sedang hype saat ini, tetapi akan segera berlalu. Buktinya, ia mengatakan, masyarakat Indonesia masih aktif menggunakan produk, misalnya media sosial, yang sebenarnya termasuk “produk Yahudi”.
FOMO sendiri merupakan singkatan dari fear of missing out. Istilah ini sudah ada sejak tahun 2004 dan mulai banyak digunakan sejak 2010, lalu dimasukkan ke dalam kamus Oxford pada 2013. Istilah ini berkaitan dengan teori self-determination (SDT) dalam psikologi yang menjelaskan bahwa FOMO adalah kondisi emosional negatif akibat kebutuhan social relatedness yang tidak terpenuhi. Ketika seseorang mengalami FOMO, ia akan mempersepsi apa yang dilakukan orang lain, lalu merasa tertinggal dan berusaha untuk mempertahankan social relatedness dengan perilaku kompulsif. Dapat disimpulkan, karakteristik dari FOMO adalah ingin selalu terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain dan akan resah bila tidak ikut melakukan.
Dalam konteks pemboikotan yang sedang berlangsung, FOMO dapat terjadi karena penggunaan media sosial yang meningkat di tengah zaman digital menyebabkan individu sangat mudah terekspos terhadap opini maupun fakta dari orang lain. Ketika satu orang angkat bicara mengenai konflik Israel dan Palestina, lalu menyuarakan aksi boikot, bahkan menunjukkannya, penonton akan terdorong untuk melakukan hal yang sama. Terlebih lagi, bila orang yang angkat bicara adalah tokoh berpengaruh atau viral. Alhasil, untuk sebagian orang, boikot bukan perihal kemanusiaan, melainkan perihal melakukan apa yang dilakukan mayoritas orang lain. Ditambah lagi, dengan tekanan sosial yang menyatakan bahwa tidak melakukan boikot sama dengan mendukung pihak yang melakukan genosida, boikot menjadi upaya untuk diterima oleh lingkungan sosial dan tidak dicap negatif.
Berbicara mengenai pemboikotan, memang benar pemboikotan dapat menimbulkan kerugian besar bagi Israel bila diteruskan dan dilaksanakan dengan serempak secara global. Namun, sebagian ahli juga menyatakan bahwa aksi itu mungkin kurang efektif untuk benar-benar menghentikan konflik yang terjadi. Apalagi, bila benar boikot yang terjadi hanya merupakan fenomena FOMO, pengaruhnya tidak akan bertahan cukup lama untuk memberikan perubahan nyata. Malahan, pemboikotan dapat menjurus kepada tindakan menyeleweng yang merugikan orang-orang di sekitar, yang sebenarnya lebih dekat dan lebih relevan dibandingkan rakyat Israel dan Palestina. Sebagian orang yang melakukan boikot juga menunjukkan perilaku tidak konsisten dan masih menggunakan produk yang digaungkan untuk diboikot.
Terlepas dari pro dan kontra pemboikotan, pemboikotan merupakan pilihan setiap individu yang memiliki pemahaman dan alasan masing-masing. Tentunya, kita tidak bisa terlalu cepat menilai orang tersebut hanya dari pilihannya untuk memboikot atau tidak memboikot. Konflik Israel-Palestina itu nyata dan setiap orang seharusnya memiliki rasa kemanusiaan untuk menaruh perhatian kepadanya. Akan tetapi, setiap orang juga seharusnya memiliki rasa kemanusiaan untuk manusia di sekitar dengan konteks yang tidak kalah relevannya. Jangan sampai pemboikotan justru memunculkan persoalan kemanusiaan yang baru, apalagi jika pemboikotan hanya dilakukan karena FOMO. Dengan demikian juga, orang akan lebih berani untuk menentukan pilihannya sendiri dan fenomena FOMO dapat berkurang.
Daftar Pustaka
BBC. (2024, May 7). Israel-gaza: Israel serang rafah saat Hamas Setujui Gencatan Senjata – Apa Yang Kami Ketahui Sejauh Ini. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpwgp430ey1o
BBC. (2023, November 3). Palestina: Ramai Seruan Boikot Israel di media sosial Indonesia, Apakah Akan Berdampak Terhadap Israel?. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c3gldnyzy7ro
Gupta, M., & Sharma, A. (2021). Fear of missing out: A brief overview of origin, theoretical underpinnings and relationship with mental health. World journal of clinical cases, 9(19), 4881–4889. https://doi.org/10.12998/wjcc.v9.i19.4881