Bima dan Dara memutuskan untuk menggugurkan calon buah hati mereka. Untuk mencari uang untuk aborsi, Bima meminjam uang kepada Pong, temannya yang sering mengamen menggunakan ondel-ondel. Jika diperhatikan, ondel-ondel dalam film ini tampil dalam empat adegan berbeda. Ondel-ondel pertama kali muncul pada adegan Dara mual saat makan kerang, lalu saat Bima meminta tolong pada Pong, lalu saat Dara kabur ke rumah Bima setelah mengetahui dirinya hamil, dan akhirnya muncul dalam mimpi Dara. Dengan demikian, ada maksud tertentu dari kemunculan ondel-ondel yang berulang-ulang. ondel dalam novel ini.
Kepala sekolah nampaknya sering memikirkan sikap Dara, padahal ia pernah menegaskan nama besar sekolah akan tercoreng jika salah satu siswinya hamil tanpa kehadiran ibu dan ayah. Kebetulan pihak sekolah tidak mempunyai prinsip mengeluarkan siswa yang hamil, sehingga Dara diharapkan keluar.
Respon Rika dan David yang paling mengesankan saat mengetahui Dara hamil adalah meminta putri kecil mereka untuk mengakui bahwa dirinya telah dikucilkan oleh Bima. Rika dan David terus menyangkal kalau Dara yang mereka yakini pintar, bisa bertindak sebodoh itu. Sikap Rika yang kali ini menyalahkan remaja tersebut tidak sesuai dengan sikap Bima. Mirip dengan cara David memperlakukan Bima, awalnya dia melarang Bima mendekati Dara. Namun, saat Bima pergi mencari bantuan untuk Dara, David mengejarnya dan berkompromi agar tidak melalaikan tanggung jawab. Gaya pengasuhan orang tua Dara yang tidak konsisten berkontribusi pada kepribadian putri mereka yang berubah-ubah.
Selain itu, kejadian di UKS ini menjadi titik balik perkembangan Bima dan Dara sebagai penentang lingkungan. serta menyebutkan sesuatu yang mengganggu dan merusak. Keberatan Dara dan Bima bermula dari norma budaya Indonesia yang melarang kehamilan di luar nikah, apalagi jika terjadi pada anak di bawah umur. Adegan seorang guru menutup tirai di UKS agar tidak diketahui siswa lain semakin mempertegas situasi tercela tersebut.
Ketika Dara hamil tanpa persetujuan suaminya, ia diminta segera meninggalkan sekolah. Dara mengalami keterasingan sebagai seorang perempuan karena tidak mampu menyembunyikan rasa malu biologisnya. Poster alat reproduksi UKS menjadi alat visual yang semakin efektif dalam menjelaskan permasalahan kehamilan. Dara pun diasingkan oleh ibunya sendiri. Rika segera mengusir Dara dari rumah dan menyuruh Bima menjaganya setelah Dara mengatakan bahwa dia mencintai Bima.
Bima mendapat tentangan dari orang-orang terdekatnya. Bima tinggal di sebuah desa kecil dimana masyarakatnya sering membicarakan betapa buruknya tetangganya. Bima memutuskan untuk bekerja saja dan mulai meninggalkan sekolah. Sementara itu sikap David mulai melunak terhadap Bima. David pun membiarkan menantunya hanya bersekolah dan tidak melanjutkan bekerja. Keputusan Bima yang memilih bekerja dibandingkan bersekolah memicu rasa kesal di benak Dara. Dalam adegan di kamar tidur, Dara dan Bima berdebat mengenai peran gender mereka. Titik lelah Bima sebagai laki-laki dalam memenuhi tuntutan patriarki. Bima merasa lelah dengan tuntutan laki-laki yang harus mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Ditambah lagi, Dara menuntut agar Bima melanjutkan studinya ke universitas. Kekesalan Bima membuatnya menyerang sisi kewanitaan Dara.
Bima menyindir keistimewaan perempuan untuk menangis dan menganggapnya sebagai senjata pasif agresif terhadap laki-laki. Sementara Dara tidak setuju dengan pernyataan Bima yang menganggap berdiam diri di rumah itu menyenangkan. Sebagai wanita mandiri dan penuh rasa ingin tahu, Dara bermimpi bisa mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri dan bisa menjelajahi dunia di luar lingkungan rumahnya. Dalam adegan ini terjadi konflik berupa kontestasi dan hegemoni gender yang dipertukarkan oleh dua tokoh protagonis yang berbeda gender.
Dara memeriksa rahim ditemani seluruh anggota keluarganya dan keluarga Bima. Dalam adegan ini, mereka mengetahui bahwa jenis kelamin calon bayinya adalah laki-laki. Bima tidak yakin akan hal itu, karena selama ini ia mengira calon anaknya akan berjenis kelamin perempuan. Bima menebak jenis kelamin bayi tersebut dari warna garis pada testpack yaitu merah jambu. Menurut Bima, jika bayinya laki-laki, seharusnya testpack menunjukkan dua garis biru. Sekilas adegan ini merupakan bagian dari humor film, namun ada makna tersembunyi dibalik dialog Bima yaitu karakter yang kurang cerdas. Lalu adegan beralih ke rumah Bima.
Mendengar keputusan keluarga Dara yang menyerahkan bayinya untuk diadopsi orang lain, Yuni merasa marah. Kemarahannya terungkap dalam adegan menggiling cabai di rumahnya sambil mengungkapkan kekecewaannya. menempatkan Yuni sebagai fokus pada latar depan di sebelah kanan, sedangkan anggota keluarganya agak buram di latar belakang. Sinematografi seperti ini ingin menunjukkan bahwa Yuni berada pada posisi dominan dan merasa pas dengan kondisi calon cucunya. Berikut cuplikan dialog dari adegan tersebut.
Yuni merupakan perwujudan karakter perempuan yang berpandangan patriarki. Keputusan dan tindakan didasarkan pada pembagian peran laki-laki dan perempuan. Bima selalu dituntut oleh Yuni untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan Dara yang sedang hamil. Selain itu, dialog Yuni memperjelas pandangan bahwa laki-laki harus tegas, dan harus mendapat pendidikan dari ayahnya sebagai kepala keluarga.
Novel ini juga menunjukkan pentingnya peran gender orang tua yang berjenis kelamin sama dengan anak. Ada dua adegan yang menggambarkan peran ibu bagi anak perempuan seperti Dara dan bimbingan ayah bagi Bima saat masih kecil. Dara bingung saat ASInya bocor ke bajunya. Rika sebagai seorang ibu mencoba menenangkan dan mengajari Dara tentang masalah biologis sebagai seorang wanita atau calon ibu. Sedangkan peran Rudy sebagai ayah Bima lebih memberikan bimbingan moral dan sosial tentang bagaimana menjadi seorang laki-laki. Hal inilah yang membuat khawatir tokoh Yuni yang berpandangan konservatif dalam memandang sebuah keluarga, bahwa seorang anak harusnya hidup bersama orang tua kandungnya secara utuh.
Menjelang akhir novel, Bima mengunjungi Dara di rumahnya dengan baik-baik sambil membawakan makanan. Bima mengutarakan keinginannya untuk merawat Adam, calon buah hati mereka. Dara terpukul dengan permintaan Bima, namun tekadnya untuk melanjutkan studi ke luar negeri sudah bulat.
Kesimpulan
Artikel ini mengidentifikasi dan mengkaji representasi kesetaraan gender yang terdapat dalam novel Dua Garis Biru beserta pesan-pesan yang disampaikan melalui novel tersebut. Berakhirnya novel Dua Garis Biru, ketika Dara akhirnya melanjutkan studinya ke Korea Selatan, sementara Bima mengasuh buah hatinya bersama keluarganya, sekilas memperkuat kategorisasi novel ini sebagai novel yang mengusung gagasan feminis. Sementara itu, banyak adegan dalam novel ini yang membahas, bahkan memperjuangkan kejantanan tokoh laki-laki.
Protagonis novel kedua Dua Garis Biru menjadi agen yang menyampaikan pesan moral dan mencoba menantang pandangan patriarki. Dara sebagai seorang perempuan masih bisa melanjutkan studinya ke luar negeri setelah menikah dan melahirkan. Sedangkan Bima sebagai laki-laki juga berhak menjadi ayah dan mengasuh anaknya sendiri.
Novel ini juga menyampaikan pesan bahwa pandangan patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga laki-laki. Beban tokoh protagonis perempuan dalam novel ini lebih condong pada masalah biologis dan keterbatasannya dalam mencapai tujuannya. Dara dan Bima merupakan dua remaja yang berasal dari latar belakang keluarga berbeda. Hal menarik mengenai gender yang coba dijelaskan dalam novel ini adalah perbedaan latar belakang, termasuk lingkungan tempat tinggal dan pola pengasuhan orang tua, yang mempengaruhi karakter dan pola pikir kedua tokoh protagonis tersebut. Perbedaan tersebut terlihat dari kontrasnya kondisi lingkungan tempat tinggal Bima dan Dara.
Bima berasal dari keluarga menengah ke bawah yang tinggal di perkampungan padat di gang sempit. Menurut cerita Bima, setiap hari ia terbangun karena keributan anak-anak tetangga. Kondisi lingkungan
Orang-orang di sekitar rumah sering bergosip, sehingga keluarga Bima sangat takut dengan pembicaraan negatif dari orang-orang di sekitarnya. Orang tua Bima dan kakak laki-lakinya yang sangat religius berusaha menjaga harga dirinya. Sebaliknya, Dara berasal dari keluarga mapan dengan rumah mewah, bahkan memiliki kolam renang sendiri. Namun Dara merasa kesepian karena orangtuanya jarang berada di rumah dan terlalu memberinya kebebasan. Ditambah lagi sikap Rika terhadap Dara yang seringkali tidak konsisten sehingga ia tumbuh menjadi wanita mandiri namun plin-plan. Orang tua Dara yang berasal dari keluarga kaya pun peduli menjaga nama baik mereka dengan caranya sendiri. Rika bisa saja dengan mudah meninggalkan Dara dan memutuskan merelakan calon cucunya untuk diadopsi oleh orang lain. Hal itu dilakukan Rika agar dia bisa segera menjauh dari sumber masalahnya.
Hal menarik lainnya dalam novel ini adalah hampir semua tokohnya takut dengan gosip atau omongan buruk dari masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H