Mohon tunggu...
Annas Pratama
Annas Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sedang menjalani studi S1 di UIN Maliki Malang, jurusan Psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masa Kecil di Antara 2 Zaman

10 September 2014   05:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:08 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa kecil, tentu kita sepakat jika masa kecil adalah masa yang menyenangkan. Meskipun saat kita masih kecil, masa kecil itu tidak enak kerena kita selalu diatur dan dimarahi oleh orang dewasa. Seiring berjalannya waktu, kita mulai sadar bahwa menjadi dewasa tidak semudah yang kita bayangkan di waktu kecil. Bahkan beberapa orang ingin mengulang masa kecil mereka. Akan tetapi, orang barat mengatakan “Life Must Go on”, ya begitulah, kita harus tetap melangkah kedepan dan menghadapi permasalahan kita.

Akan tetapi saya tidak akan membahas tentang orang dewasa dengan segudang keruwetan hidupnya. Kali ini saya ingin me-refresh dan flashback ke masa kecil kita, dan membandingkan dengan masa kecil anak masa kini dengan semua kecanggihan teknologinya.

Salah satu aktifitas kita di masa kecil yang utama pada masa kecil adalah bermain. Kita pasti ingat saat-saat kita bermain hingga lupa akan segala hal. Ya, terutama kita selalu lupa dengan waktu saat bermain dengan teman-teman kita. Dan kita baru tersadar setelah mendengarkan teriakan orang tua saat memanggil kita, bahkan sering kita bandel hingga benda tumpul lah yang memanggil. Permainan yang kita gemari diantara lain adalah petak umpet, kelereng, dan untuk anak perempuan bekel, dakon, lompat tali, dan masih banyak lagi tentunya.

Selain kita bersenang – senang, ternyata masih banyak pelajaran atau edukasi yang bisa kita dapatkan. Seperti melatih konsentrasi, daya ingat, kesabaran & keuletan, dan yang terpenting melatih kita untuk bersosialisasi dengan sesama. Secara tidak sadar, pergaulan kita waktu masih anak – anak terikat norma di masyarakat. Sering sekali kita melihat anak yang mengalami bullying karena perilakunya menyimpang. Oleh karena itu kita berusaha menghargai teman sepermainan dan saling menghormati hak-hak kita. Jadi permainan tradisional kita di masa kecil secara tidak langsung mengajari kita tentang kehidupan bermasyarakat.

Berbeda dengan anak kecil di era globalisasi yang dengan kecanggihan teknologinya, dengan perlahan mulai mengubah budaya di masyarakat, terutama anak kecil. Dengan sarana permainan yang sangat canggih, dan hampir semua anak dapat mengakses media tersebut.  Mulai dari playstation, gadged hingga internet pun mulai membuat anak – anak kecil meninggalkan permainan tradisional. Meran teman-aeka lebih memilih teknologi karena selain bisa dimainkan sendiri, dengan siapa, dan dimana saja. Tentu saja permainan teknologi tidak membutuhkan banyak tenaga, dan mereka bisa bermain cukup diam di tempat, dan bisa di lanjut kapan saja dia mau. Ini sangat berbeda dengan permainan tradisional yang menntut kita untuk aktif bergerak.

Mari kita ingat, dimana kita sore hari di saat kecil. Mungkin kita sedang bermain bola di lapangan atau di jalan – jalan kampung, mungkin kita sedang menikmati langit yang di hiasi oleh warna – warni layang – layang, atau mungkin kita sedang berlarian dengan teman – teman kita. Dan bagaimanakah waktu sore anak – anak di era globalisasi. Mungkin masih ada sebagian anak yang melakukan yang kita lakukan dahulu, akan tetapi mereka lebih sering menghabiskan waktu mereka di depan televisi untuk melihat film kartun di sore hari, atau mereka menghabiskan waktu di depan gadget mereka. Sekilas sama dengan yang kita lakukan dahulu, akan tetapi presentasenya yang berbeda. Pada masa kita dahulu, kita lebih sering menghabiskan waktu dengan bersosialisasi dengan teman –teman kita, namun di era globalisasi ini mereka lebih sedikit bersosialisasi dengan teman mereka, dan lebih banyak menghabiskan waktu sendiri.

Seperti yang saya alami, saat pulang kampung dan bertemu dengan keluarga besar, pasti yang saya lakukan dengan kakak – kakak saya adalah bermain permainan kampung. Dan pemandangan yang berbeda saya temui saat mudik. Jika dahulu kakak – kakak saya saling pamer memainkan permainan tradisional, sekaramg anak – anak dari kakak – kakak saya yang masih kecil memamerkan gadget mereka. Tidak ada lagi sharing mengenai ilmu dan trik – trik memainkan permainan tradisional, melainkan saat ini bahkan di kampung halaman pun saling memamerkan gadget dan permainan – permainan di dalamnya.

Itu merupakan contoh sederhana dari kebudayaan bangsa kita yang mulai luntur. Bahkan permainan tradisional mulai tergeser di dunia anak dengan teknologi, apa lagi yang akan hilang di masa depan. Tentu kita, dan bahkan tokoh – tokoh pendiri bangsa ini tidak ingin suatu saat nanti Indonesia kehilangan identitas. Akan tetapi kita tidak bisa menghalangi kemajuan teknologi, karena kita harus selalu mengikuti perkembangan teknologi agar tidak menjadi bangsa yang tertinggal.

Untuk menyelamatkan bibit – bibit penerus bangsa agar tidak melupakan jati diri bangsa adalah mengarahkan mereka, karena kita tidak bisa menghentikan perkembangan teknologi dan membiarkan generasi penerus bangsa terbawa arus globalisasi. Kita hanya bisa menuntun mereka dan menanamkan pada diri mereka tentang kebudayaan Indonesia. Karena kita tidak bisa merubah seseorang selain diri mereka sendiri, jadi kita harus menuntun mereka agar tidak melupakan kebudayaan bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun