Trilogi Penyebab Ketimpangan Mayoritas dan Minoritas di Indonesia - Bagian 2
Kini kita memasuki penyebab kedua, yaitu mental. Tadinya ingin membahas sistem ekonomi, tetapi ternyata mental inilah dasar dari rusaknya sistem ekonomi, yang akhirnya menyebabkan kesenjangan.
Mental pekerja keras, bukan santai.
Mental apapun dikerjakan, tidak pilih-pilih, bukan gengsian.
Mental menabung, hemat, cenderung pelit, bukan foya-foya tetangga punya apa, kita harus punya apa.
Mental berjuang dan tahan banting, bukan ingin semuanya instant.
Itu semua bila dirangkum adalah mental perantau, apapun ras dan agamanya. Kebetulan saja kaum “Minoritas” banyak yang terdiri dari perantau.
Hal ini terbukti di tingkat lokal hingga international, perantau dari desa ke kota (misalnya Jakarta, Surabaya dst), cenderung lebih pekerja keras, rajin dan sukses daripada penduduk asli kota tsb. Hal yang sama terjadi di USA, kenapa USA menjadi negara adidaya? Karena penduduknya adalah imigrants dari seluruh dunia.
Perantau/imigrant apapun ras dan agamanya, selalu lebih nekad, mempunyai will power dan kekuatan bertahan hidup (survival) yang lebih kuat, itu sebabnya secara otomatis juga, hasil kerja mereka lebih baik = lebih sejahtera.
Hal ini berbanding terbalik dengan mental "tuan rumah", yang cenderung santai karena merasa berada di zona nyaman, kampung halaman sendiri, dimana keluarga besar ada disisinya.
Solusinya? Tiada lain, perbanyak mental perantau di Indonesia dengan program transmigrasi antar daerah maupun TKI besar-besaran.
Anak-anak muda harus meninggalkan desa dan kotanya untuk dapat melihat dunia luar, berpikiran terbuka dan terbentuk mental baja sebagai perantau.
Disaat Tiongkok mengirim tenaga kerjanya keseluruh dunia untuk bekerja apa saja tanpa gengsi, kita malah terbalik, TKI malah dipulangkan dengan alasan gengsi kok jadi PRT. Lebih baik jadi tuan rumah, duduk-duduk diam di rumah tanpa penghasilan?
Indonesia memiliki banyak potensi profesi spesifik untuk TKI, contoh sederhana, profesi perawat anak dan lansia sangat dibutuhkan di seluruh dunia, dan masih banyak lagi profesi spesifik lainnya seperti koki, teknis, dll.
Intinya bila kita mau berpikiran terbuka, maka lowongan pekerjaan di dunia itu masih ada banyak, kita harus aktif mencari, bukan hanya menunggu investasi dan lapangan pekerjaan dibuka di dalam negeri.
Tidak perlu malu dengan profesi PRT, lebih baik mana, sekarang menjadi PRT tapi anak-anaknya nanti bisa kuliah dan bisa jadi direktur, atau sekarang jadi pengangguran, anak-anak akhirnya tidak sekolah dan mengikuti profesi ortunya, pengangguran juga?
Mental major lainnya yang menyebabkan kesenjangan adalah Mental korupsi, bukan mengabdi bagi negeri sendiri.
Korupsi adalah mengambil duit rakyat untuk diri sendiri dan kelompoknya, Dimana untuk korupsi, selalu ada 2 pihak yang terlibat, yaitu pejabat + pengusaha. Tidak mungkin dilakukan hanya oleh 1 pihak.
Pengusaha memiliki ras dan agamanya sendiri, yaitu mencari keuntungan dalam setiap kesempatan. Apapun ras dan agamanya, yang namanya pengusaha itu "sebagian besar" sama saja dibelahan dunia manapun juga, selalu mencari cara agar bisnisnya lancar dengan cara apapun juga, termasuk suap dll, apalagi kalau yang sudah kelas kakap.
Kebetulan yang menjadi pengusaha di Indonesia, sebagian besar adalah kaum “Minoritas”.
Hal ini terjadi baik karena :
- turun temurun rasnya memang berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha,
- karena kebijakan zaman Belanda
- dan yang paling lucu, ternyata kebijakan Belanda/kolonial ini diteruskan oleh elite politik kita yang 100% kekuasaan dipegang oleh kaum "Mayoritas!"
Bukankah pembuat kebijakan/pengguna anggaran/pemberi izin usaha selama 70 tahun Indonesia merdeka diduduki 100% oleh kaum “Mayoritas” yang notabene merasa dirinya “pribumi” dan cinta tanah air?
Kenapa mereka mau bekerja sama dengan pengusaha untuk “merampok” negara ini?
Bahkan orba mendesign kebijakan sedemikian rupa agar kursi pemerintahan dikuasai oleh kaum “Mayoritas” dan ekonomi/bisnis dikuasai oleh kaum “Minoritas” sebagai penyandang dana kekuasaan itu sendiri.
Simbiosis mutualisme.
Pak Jk, tanya donk, partai mana ya yang menjadi kelompok paling lama berkuasa dari rentang 70 tahun itu?
Jadi sebenarnya siapa yang menciptakan 9 Naga, para konglomerat lainnya, dan 20% penguasa 80% ekonomi bangsa ini?
Bukankah kita sendiri, para “Mayoritas” yang duduk di dalam pemerintahan selama 70 tahun Indonesia merdeka ini yang memberikan fasilitas kepada mereka untuk menjadi kaya?
Kita sendiri yang senang korupsi dan ingin memperkaya diri/keluarga sendiri, tetapi menyalahkan kaum “Minoritas” yang notabene adalah “partner in crime.”
Banyak kebijakan yang sebenarnya sudah pro kaum “Mayoritas”, contoh izin-izin, kuota, monopoli banyak diberikan ke pengusaha “Mayoritas”, tapi entah kenapa, malah sebagian besar fasilitas itu “KEMBALI DIJUAL” ke kaum “Minoritas”?
Ini salah satu contoh mental ingin kaya instant, yang penting dapat duit, tanpa perlu susah payah mengerjakan detil bisnisnya = menjadi pemburu rente.
Sederhana saja kita ambil contoh si B*ke*i, pribumi tulen yang pernah mendapatkan 10% saham FP secara cuma-cuma dari negara senilai puluhan Trilyun? Apakah dikembalikan ke kaumnya yang pak JK katakan “Mayoritas” miskin?
Hal yang sama terjadi di hasil alam/bumi lainnya, bisakah kaum “Minoritas” berbisnis di area itu tanpa izin para elite politik?
Contoh lain : Rokok, siapa yang memperbolehkan penjualan rokok? Siapa yang menyetujui rokok dijual bebas dan murah? Siapa pula yang merokok?
Tinggal naikkan saja pajak rokok dan harga jual jadi rp 10.000/batang, maka selisih harga bisa untuk subsidi silang dan selesai sudah 50% masalah kemiskinan di Indonesia. Kenapa tidak dinaikkan? Bukankah pembuat kebijakannya kaum “Mayoritas”?
Contoh lainnya yang lebih parah lagi:
Ikan dan hasil laut Indonesia selama puluhan tahun dicuri oleh Asing, ribuan kapal pencuri lalu lalang di depan mata, yang jadi presiden, menteri, staff dan yang menjaga laut siapa? Apakah kaum “Minoritas”?
Jadi siapa sebenarnya penyebab kemiskinan “Mayoritas” di Indonesia? Dan penyebab kekayaan “Minoritas” di Indonesia?
Mari kita semua sadari bahwa kemiskinan di Indonesia adalah kesalahan kedua kaum, yaitu “Mayoritas” dan “Minoritas”, lebih tepatnya disebabkan para elite politik dan konglomeratyang selama ini terbuai dengan duit sehingga melupakan rakyat yang masih miskin.
Karena kesalahan berdua, maka harus diselesaikan berdua juga.
Bagaimana caranya?
- Penulis sangat mendukung program Pak Jokowi untuk mensinergikan para konglomerat di Indonesia dengan kaum “Mayoritas”, libatkan para konglomerat untuk mengurangi kemiskinan secara nyata melalui proyek2 csr mereka ataupun melalui kerja sama bisnis lainnya.
- Perbanyak subsidi silang dalam berbagai bidang antara yang kaya dan miskin, tarif listrik, tarif air, tarif bpjs, biaya pendidikan, pajak, harga rokok, dst. Tanpa perlu memandang ras dan agama, secara otomatis sudah terjadi keseimbangan dengan sendirinya.
- Tax amnesty dan yang terkini adalah pembukaan data rekening bank bagi orang kaya, ini terobosan yang sudah sangat bagus., mudah-mudahan kedepan diteruskan dengan pembatasan dana keluar negeri, supaya tidak perlu dikejar-kejar lagi.
- Dan yang paling utama dan penting adalah mengunci kesempatan untuk korupsi. Bagaimana caranya?
- sistem komputerasi ebudgeting dst dengan sistem keamanan berlapis.
- batasi transaksi tarik dan setor tunai, karena 99% korupsi dengan uang tunai.
- pembuktian terbalik atas harta pejabat dan keluarganya.
Orang yang baik bisa menjadi maling bila kesempatan itu ada di depan mata. Sebaliknya maling kelas kakappun kalau dihadapkan dengan pengamanan berlapis, dia tidak akan berkutik.
Sayangnya hal yang paling utama dan penting ini, yaitu mengunci kesempatan korupsi, lagi-lagi bergantung pada kemauan dan kebijakan pejabat, yang diisi oleh kaum “Mayoritas”.
Lha pejabatnya yang notabene “Mayoritas” mau tidak? Hehe...
Kita sendiri yang tidak mau, tapi menyalahkan kemiskinan negeri ini ke orang lain, lucu bukan?
Para elite politik harus menyadari, bahwa setiap korupsi = mengambil uang dari kaum sendiri = menjadi penyebab kemiskinan Indonesia dan kaum sendiri.
Kalau korupsi/“partner in crime” dengan pengusaha sesama “Mayoritas” boleh ga? Hahaha pertanyaan menarik, karena itulah yang terjadi sekarang.
Ada sekelompok elite politik yang berusaha untuk berkuasa dengan kedok membela “Mayoritas”, tetapi faktanya, selama puluhan tahun kemarin, mereka bukan hanya “doing nothing” untuk membantu kaumnya yang miskin,
Mereka adalah BAGIAN terbesar dari 70 tahun pemerintahan yang menyebabkan kaumnya sendiri miskin, mengambil untung untuk diri sendiri dan menguntungkan “Minoritas!"
+ dengan sengaja, sistematis, terstruktur dan masif selama puluhan tahun “membiarkan” rakyatnya sendiri tetap lulusan SD agar kekuasaan dan korupsi mereka awet.
Tidak percaya? Lihat quote Soekarno di gambar atas, baca referensi links di bawah dan nantikan Trilogi Bagian-3 (jumat depan).
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, Semoga Hati dan Pikiran yang bersih membuka mata hati kita, bahwa kita semualah penyebab kemiskinan di negeri ini, dengan terus terpesona dan memilih elite politik yang sama turun temurun.
"If we always do what we've always done, we will always get what we've always got"
#FridayIdeas
Referensi Bacaan : Juragan Fuqing dan Jenderal Kemusuk
Bersambung ke Trilogi Bagian-3 (jumat depan)
Trilogi Bagian-1 bisa dibaca DISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H