Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak JK, Ini Alasan "Minoritas" Lebih Kaya dari "Mayoritas" [Bagian 1]

19 Mei 2017   17:31 Diperbarui: 26 Mei 2017   17:29 3611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trilogi Penyebab Ketimpangan Mayoritas dan Minoritas di Indonesia - Bagian 1

Pernyataan Pak JK tentang ketimpangan mayoritas dan minoritas menjadi viral di Internet, karena dihubungkan dengan ras dan agama, ditengah situasi intoleransi yang kurang kondusif akhir-akhir ini.

Daripada berdebat dan denial, ada baiknya kita membuka pikiran untuk membahas dan mencari solusi.

Harus diakui ketimpangan itu ada, tanpa perlu statistik njelimet seperti gini ratio dll yang memang meningkat sejak zaman reformasi, kita dapat dengan mudah melihat ketimpangan tersebut secara fisik bangunan maupun gaya hidup, khususnya di perkotaan.

Mengakui fakta ini adalah langkah pertama untuk sadar dan memperbaiki diri.

Sekarang kita masuk ke analisa penyebab dan solusi. Ada 3 penyebab utama, kita beri judul saja Trilogi agar lebih menarik, mudah diingat dan semoga membuka diskusi untuk solusi lebih lanjut.

1. Gaya Hidup Banyak Istri = Banyak Anak = Kekayaan Terbagi

Tanpa bermaksud menganalisa salah/benarnya sebuah tindakan, adalah fakta bahwa kaum “Mayoritas” LEBIH banyak yang mempunyai istri lebih dari satu, baik sah, tidak sah, maupun kawin cerai, terutama yang tinggal di pedesaan, daripada kaum “Minoritas”.

Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, dari keyakinan, tingkat pendidikan hingga gaya hidup turun menurun atau lingkungan sekitar.

Logikanya sederhana saja, bila 1 istri mempunyai 2 orang anak, maka 2 istri = 4 orang anak.

Bila kaum “Mayoritas” dan kaum “Minoritas” mendapatkan gaji sama 3 juta/bulan, yang satu digunakan untuk 7 orang, yang lainnya hanya digunakan untuk 3 orang.

Secara otomatis, kaum "Minoritas" pasti hidup lebih kaya dan sejahtera karena efek hukum matematika pembagian ini.

*2 istri disini tidak harus di waktu bersamaan (poligami), karena adalah fakta juga bahwa tingkat kawin cerai di pedesaan sangat tinggi yang menimbulkan masalah sosial lain lagi karena meninggalkan sang istri sebagai single parent/pencari nafkah.

Hal ini diperparah dengan program Keluarga Berencana yang kurang digalakkan dan diikuti oleh kaum “Mayoritas”.

Kaum “Mayoritas” berkeyakinan anak adalah anugerah Tuhan yang tidak boleh ditolak, jadi penggunaan KB menentang hukum Tuhan. Punya anak berapapun tidak masalah, nanti Tuhan yang akan memelihara anak-anak tersebut.

Kaum “Minoritas” berkeyakinan anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara dengan tanggung jawab penuh, karena itu jumlah anak harus sesuai dengan kemampuan finansial, tenaga dan waktu yang ada. Mereka beranggapan penggunaan KB tidak menentang hukum Tuhan, karena KB seperti obat-obatan penyakit biasa, tercipta atas kehendak Tuhan.

Apakah bila seseorang sakit = harusnya (kehendak Tuhan) dia meninggal dunia, lalu saat diberi obat menjadi sembuh = menentang kehendak Tuhan?

Justru melahirkan anak tanpa berpikir, tanpa persiapan dan akhirnya menelantarkan = dosa.

Masih ingat cerita Bapak Andun yang memasak “batu” untuk memberi makan 7 anaknya? Dia dengan bangga dan tanpa rasa bersalah mengatakan lupa berKB, wkwkwk...

Sayangnya ada kasus seperti itu, malah ditolong dan diberi rumah. Terus terang kalau penulis, anak-anak boleh ditolong, tapi ortu harus dipidana! Lho kejam amat?

Kejam mana dengan melahirkan 7 anak tapi ditelantarkan tanpa makanan? Anak-anak itu besar tanpa gizi dan pendidikan, kemudian hari kemungkinan besar jadi pengangguran dan miskin, membuat kota, negara, kaumnya miskin, dan kemudian menyalahkan pemerintah?

Atau lebih parahnya lagi menyalahkan kaum “Minoritas”? hahaha

Sekali lagi tanpa perlu berdebat mana benar/salah, faktanya 2 pandangan ini mempunyai hasil akhir yang berbeda.

Logika lainnya yang juga sederhana : katakanlah 1 pasang ortu memiliki sebuah telur, dia berikan ke kedua anaknya, masing-masing mendapat ½ bagian = ½ protein telur.

Ortu yang lain memiliki 1 telur juga, tetapi mempunyai 5 anak, maka masing-masing anak hanya mendapatkan 1/5 protein telur.

Bila ini terjadi bertahun-tahun, katakanlah 15 tahun dari bayi hingga remaja, berapa perbedaan asupan protein dari anak-anak dari 2 keluarga berbeda tersebut?

Itu baru 1 telur, belum susu, ikan, daging dan hal non gizi seperti buku, biaya sekolah, dst.

Dan itu baru 1 keluarga, 1 generasi, belum kalau beribu keluarga dalam 1 kaum dan beberapa generasi, jelas bukan kenapa ketimpangan kaum “Mayoritas” dan “Minoritas” semakin lebar?

Gaya hidup banyak istri dan anak menciptakan “lingkaran setan kemiskinan”, gizi dan pendidikan yang tidak cukup membuat anak di masa depan sulit mencari pekerjaan = miskin lagi dan seterusnya hingga anak cucu.

Sebaliknya gaya hidup keluarga berencana membuat pendapatan mencukupi untuk kebutuhan anak-anak, bisa kuliah, dapat pekerjaan baik, makin lama keturunan makin sejahtera.

Jadi Pak JK, sebenarnya siapa disini yang dengan sadar menyebabkan kemiskinan pada dirinya, keluarganya, kotanya, negaranya dan kaumnya?

Solusi :

  • Solusi tiada lain selain menyadari bahwa gaya hidup diatas adalah penyebab UTAMA kemiskinan sebuah kelompok ataupun sebuah negara.
  • Hukum pemberian nafkah harus jelas, bila perlu, seorang suami bisa dipidana bila tidak bisa memberikan nafkah cukup (standar), yang disebabkan karena istri dan anaknya banyak atau karena kawin cerai.

Seorang laki-laki harus belajar bertanggung jawab atas istri dan anak-anak yang dilahirkan, istri dan anak-anak bukan mainan, penelantaran adalah pelanggaran HAM dan dosa.

  • Keluarga berencana harus digalakkan oleh semua pihak, khususnya kaum “Mayoritas” sendiri yang dirugikan karena gaya hidup ini. Tanpa kesadaran dan tindakan dari kaum “Mayoritas” sendiri, maka sampai kapanpun juga tetap akan kalah sejahtera dibandingkan “Minoritas.
  • Pemerintah harus berperan aktif menekan laju penduduk baik melalui penyuluhan maupun dengan peraturan yang ketat, misalnya hanya mengcover BPJS dan pendidikan 2 anak, sisanya dicover sebagian atau dengan iuran mahal, denda, dsb,
  • Bukan malah mengcover biaya kelahiran hingga anak unlimited, yang tadinya berKB karena tidak ada biaya melahirkan, sekarang malah dengan senang hati beranak 12 orang, hahaha.

Gaya hidup banyak istri dan anak, memiliki banyak efek domino, karena penduduk yang terlalu banyak, akhirnya keluarga yang beranak 1 atau 2 pun kesulitan mencari pekerjaan = terkena dampak miskin. Budget pemerintah untuk menanggulangi kemiskinanpun kurang efektif, karena terlalu banyak orang yang harus ditolong.

Tanpa perlu memandang ras dan agama apa, siapapun yang beristri dan beranak banyak sudah jelas akan jauh lebih mungkin menjadi miskin, daripada menjadi kaya, karena sumber pendapatan yang sudah sedikit, dibagi untuk banyak anggota keluarga,

Itu hukum matematika = ilmu pasti.

Bersambung ke bagian-2 (Jumat Depan)

#FridayIdeas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun