Bila British Exit menghebohkan dunia, ternyata "Brexit" (Brebes Exit) rasa lokalpun juga menghebohkan Indonesia, terjadi korban dan semua saling berdebat siapa yang harus dipersalahkan, yang dipersalahkan juga saling lempar bola.
Langsung saja to the point, dari sekian banyak penyebab, penyebab utama terjadinya neraka "Brexit" hanya 2 :
1. Jumlah mobil yang melebihi kapasitas dan tidak bisa diprediksi sebelumnya, jalan tol ada batasnya, saat terjadi lonjakan luar biasa dalam waktu singkat, kemacetan adalah keniscayaan.
2. Pengaturan jalan yang tidak terkoordinasi, bila pengaturan buka tutup, contra flow dll berjalan dengan baik, tentu macet akan terurai, contoh :
- Bila di "Brexit" sudah macet 5km/volume kendaraan yang masuk cikampek sudah diluar batas, maka hentikan mobil yang mau masuk cikampek dan alihkan ke pantura,
- atau stop arah ke Brebes, dan minta mobil2 itu keluar di pintu2 tol sebelumnya untuk lewat pantura/jalur biasa
- contra flow (mengambil sebagian jalur tol yang ke jakarta) jelas harus diterapkan semaksimal mungkin, dan hal ini tidak terlihat di foto2 kemacetan kemarin (arah brebes penuh, arah jakarta kosong melompong).
Bahkan seharusnya hanya dengan menjalankan poin 2 abc saja, dijamin macet terurai.
Perpanjangan jalan tol seperti yang dikatakan Pak Jokowi, memang membantu, Â tetapi bukan solusi 100%, karena volume kendaraan setiap tahun semakin naik, maka tetap akan terjadi sumbatan-sumbatan kemacetan di setiap pintu exit yang strategis = kemacetan terbagi rata = tetap macet.
Prof Denny Indrayana mengajukan solusi sistem pembayaran tol otomatis dengan cara memasang alat di mobil masing-masing dengan saldo yang bisa diisi ulang, bila mobil tanpa alat/saldo habis, maka secara otomatis tagihan akan dikirimkan ke pemilik mobil.
Terdengar keren dan canggih, tetapi tidak akan bisa diterapkan di Indonesia, karena apa? Karena tingkat pendidikan yang berbeda. Dijamin banyak yang tidak pasang alat/saldo habis, lalu pasang plat nomor palsu sehingga tidak teridentifikasi mobil siapa yang suka menobos tol, hahaha...
Solusi tol digratiskan juga terdengar hebat, sekaligus aneh. Dengan digratiskan, bukankah malah semakin gila volume kendaraan yang akan masuk tol?
Masalah utamanya bukan di pintu tol, pintu tol menghambat iya, tapi bukan berarti kalau gratis /bayar elektronik = kendaraan tidak numpuk. Tetap numpuk karena masalah utama ada di volume/jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas.
Jadi bagaimana alternatif solusinya?
1. Batasi kendaraan yang masuk jalan tol Cikampek
Bila pesawat, kapal laut, kereta api, bus, kita harus membeli tiket online jauh hari, maka berlakukan hal yang sama pada jalan tol = beli tiket online yang terbatas jumlahnya untuk masuk jalan tol jalur mudik. Bila kapasitas jalan tol dan pintu exit misalnya hanya 1 juta kendaraan/hari, maka jual tiket sesuai kapasitas. Tiket bisa dibagi tanggal dan jam keberangkatan, maupun periode pagi-siang-sore, supaya volume terbagi rata dan terprediksi.
Volume kendaraan yang terprediksi adalah kata kunci disini,sehingga tidak ada lagi alasan karena lonjakan tiba-tiba yang tidak terprediksi. Bagi yang tidak punya tiket mudik, dialihkan ke pantura/jalur biasa.
Solusi ini berbeda dengan yang diusulkan banyak orang untuk nomor ganjil genap dll, karena tanpa penjualan tiket terbatas jauh hari sebelumnya = tidak akan pernah bisa memberikan prediksi jumlah/volume mobil.
2. Sterilkan Jalur Tol Mudik hanya untuk keperluan mudik pada periode h-7 dan h+7
- Hanya bisa masuk tol jalur mudik dengan tiket di poin 1
- Semua kebutuhan perjalanan dekat dll silakan menggunakan jalur jalan biasa
- Bila memaksa masuk tol jalur mudik tanpa tiket mudik dan kondisi lapangan tidak memungkinkan untuk dipaksa putar balik, maka harus membayar tiket mudik + denda berlipat
3. Melancarkan transaksi/pengecekan tiket di pintu tol
- Dengan sistem tiket terbatas di poin 1, maka pintu tol yang dilalui semua kendaraan saat mudik hanya 1, saat masuk saja untuk validasi barcode tiket yang sudah dibeli sebelumnya.
- Sistem scan barcode menghilangkan transaksi tunai semaksimal mungkin, hanya yang tidak punya tiket dan tidak bisa putar balik yang tetap tunai.
- Samakan nilai tiket tunai + denda dengan nominal yang bulat, misalnya Rp 100.000, Rp 200.000, dst sehingga tidak perlu uang kembalian.
- Jemput bola, setiap pintu tol bila ditambah 10 petugas bersepatu roda misalnya untuk membantu validasi tiket/menerima pembayaran denda = kecepatan transaksi berlipat ganda.
Sekali lagi kuncinya sangat sederhana = jual tiket tol terbatas sesuai kapasitas tol jalur mudik dan pintu exitnya. Ibarat rumah makan berkapasitas 100orang, tidak mungkin dimasuki 10ribu orang pada saat bersamaan bukan? Karena tol adalah jalur tertutup, sudah masuk sulit keluar, beda dengan pantura atau jalur biasa.
Dengan sistem tiket jumlah terbatas, pengendara jadi tahu bahwa volume tol sudah maksimal saat dia kehabisan tiket online,maka dia akan mencari alternatif kendaraan umum lain (pesawat, kereta dll), maupun mengambil jalur pantura/biasa.
Secara teori, bila dulu kita bisa mudik lewat pantura tanpa terjadi apa-apa, macet memang, tetapi terkendali karena banyak "jalan tikus" atau jalur alternatif, makanan, posko kesehatan dan bensin berlimpah di kanan kiri.
Kenapa sekarang ditambah jalan tol = 2x kapasitas jalur lama = malah macet parah? Karena selain volume kendaraan semakin bertambah setiap tahunnya, juga tidak ada yang bertanggung jawab membagi volume kendaraan dengan jalur biasa/pantura!
Semua ingin instant, semua ingin mulus, semua ingin tol...
Kapasitas jalan/transportasi umum mau dibangun sebanyak apapun juga tetap akan berlomba dengan bertambahnya volume kendaraan dan volume orang yang mudik, karena itu solusi jangka panjang tentu pemerataan pembangunan, sehingga mudik tidak berpusat dari Jakarta saja, tetapi dari dan ke semua ibukota provinsi.
Bagaimana supaya arus balik tidak semakin banyak pendatang baru yang masuk Jakarta? Sebenarnya mudah, bila ada pendatang tanpa pekerjaan, maka kirim saja dia jadi TKI, biayanya balik modal kok, malah untung, kirim ke British boleh juga tuh, hehehe..
Selamat Idul Fitri 2016, Mohon Maaf Lahir Batin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H