Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Politik

(Friday Ideas-10) Kartini dan Politik Candu

22 April 2016   11:19 Diperbarui: 22 April 2016   11:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kartini dan Politik Candu, sumber gambar : brilio.net"][/caption]Memperingati Hari Kartini 21 April kemarin, yang kita ingat hanya emansipasi wanita, permasalahan pernikahan dini dll terkait wanita, yang sayangnya, seringkali berhenti hanya sampai pembahasan dan peringatan..

Pernikahan dini sudah dibahas di banyak media, dimana solusinya semudah menaikkan angka usia boleh menikah di UU dari 16 tahun menjadi 21 tahun, bagaimana bila tetap menikah sebelum 21 tahun? ini juga semudah kenakan saja denda. Dengan adanya UU dan denda, maka setidaknya semua mulai belajar kenapa pernikahan dini itu tidak baik dari segi kesejahteraan maupun kesehatan reproduksi.

Yang menarik, ternyata yang diperjuangkan Kartini bukan hanya emansipasi wanita, tetapi melepaskan bangsa ini dari politik candu. Ya politik candu!

Menurut Harian Kompas 21 April hal 12, dengan jelas dijabarkan bahwa perjuangan utama Kartini justru di masalah politik candu Kolonial Belanda saat itu = memproduksi candu sebanyak2nya agar dikonsumsi rakyat Indonesia, yang tentu tujuannya selain profit, adalah agar kita terbelenggu candu dan mudah dijajah, tidak produktif sehingga menjadi miskin dan bodoh.

Saat itu candu yang dipergunakan adalah opium, dimana salah satu pabrik opium yang terkenal, terletak di gedung yang sekarang digunakan untuk Fakultas Ekonomi UI Salemba.

Kartini terus menerus berjuang menolak produksi dan distribusi opium tersebut hingga akhir hayatnya, sayangnya beliau harus meninggal di tahun 1904 setelah melahirkan anak pertama.

Produksi opium semakin menggila, bahkan rel kereta api dibangun untuk membantu distribusi dan akhirnya baru ditutup 1950.

Yang lebih miris, meski ditutup 1950, ternyata candu itu berubah wujud menjadi candu modern bernama rokok, yang saat ini justru merajalela dan tetap membelenggu bangsa kita.

Bukan "Habis Gelap terbitlah Terang", tetapi "Habis Opium terbitlah Rokok", hahaha...

Kenapa rokok? Karena jelas ada zat aktif candu disana, dimana tubuh kita secara tidak sadar diikat dan terus menginginkannya. Beda dengan kecanduan games dll, tidak ada zat aktif yang masuk ke tubuh kita dari games.

Kita tidak perlu berdebat masalah kesehatan, karena mau didebat bagaimanapun juga, perokok tetap merasa sehat dengan rokoknya. Sekarang yang bisa diperdebatkan adalah 2 :

1. Asap yang terhirup orang lain = orang bukan perokok memiliki hak asasi untuk udara bersih, karena itu pembatasan area merokok harus semakin masif.

2. Dana BPJS untuk membiayai Perokok, bila dulu terserah Anda merokok sebanyak2nya, karena Anda sakit, bayar sendiri, mati sendiri. Sekarang harus menjadi kepedulian kita bersama, karena UANG PAJAK KITA rakyat yang digunakan untuk membiayai perokok sakit!

3. Dan yang paling mencolok, adalah kemiskinan yang ditimbulkan.Dengan konsumsi rokok Rp 20.000/hari (2pak) = Rp 600.000/bulan, setahun Rp 7,2 juta. Sangat cukup untuk mensekolahkan dan memberi gizi anak hingga kuliah!

Apa yang terjadi sekarang? Anak-anak tidak sekolah, bodoh, kurang gizi, tetap miskin, dan parahnya malah diajarin merokok dan mengulang siklus kemiskinan!

Karena itu hari Kartini harusnya menjadi peringatan bagi kita semua, bagaimana seorang wanita sudah berjuang untuk memerangi candu sejak 1900-an, dan kita 100 tahun kemudian ternyata begitu bodohnya tetap saja terlilit candu, bahkan mau meningkatkan produksinya terus menerus dengan harga semurah mungkin.

Solusi dari ini semua hanya 1 : naikkan cukai dan harga rokok!

Dengan kenaikan cukai dan harga rokok :

1. Secara otomatis konsumsi batang per orang akan berkurang = jangka panjang lebih sehat = dana BPJS untuk perokok dan keluarga berkurang = dana BPJS lebih produktif ke penyakit lain yang lebih membutuhkan.

2. Cukai dapat digunakan untuk membuka lapangan kerja baru = tidak ada alasan PHK industri rokok adalah momok, itu pendapat para elit saja yang entah sudah punya berapa rekening di Panama, hahaha...

3. Cukai dapat digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan yang sekarang minim sekali, percuma BPJS berjalan, bila RS, dokter, obat tidak ada semua di daerah. Semua hanya ilusi, terlihat berjalan, tetapi hanya di kota2 besar, tidak dirasakan hingga daerah.

4. Cukai dapat digunakan untuk membangun kualitas SDM/pendidikan, wajib belajar 12 tahun bisa berjalan. Bukan malah membiarkan industri rokok membuat yayasan dengan nama merk rokok lalu memberikan beasiswa dan iklan kemana2, hahaha so silly...

Jadi kenapa harga rokok di Indonesia "sengaja" tetap dibuat murah, sedangkan di negara tetangga Malaysia >Rp 4000/batang dan di Singapura malah >Rp 10.000/batang?

Dari contoh 2 negara diatas,harga rokok sangat mencerminkan kualitas negara dan penduduknya bukan?

Jangan-jangan bukan hanya opium yang berubah kemasan menjadi rokok, tetapi Kolonial Belandapun "berubah kemasan" menjadi elit politik di negeri ini??? hahaha...

Hanya mereka dan Pak Jokowi sendiri yang dapat menjawab...

#FridayIdeas

Ingat Kartini, jangan lagi hanya mengingat emansipasi wanita, apalagi hanya ingat berdandan baju daerah, itu semua bagus, tetapi mari kita ingat yang lebih penting yaitu POLITIK CANDU dan fakta bahwa kita masih terbelenggu di dalamnya sebelum harga rokok setidaknya sama seperti negara tetangga.

Mudah-mudahan para ahli ekonom UI yang tiap hari menempati gedung bekas pabrik opium, bisa sadar penuh efek candu rokok terhadap ekonomi kita dan melakukan sesuatu... amin.

Artikel terkait : 

Cukai Rokok Solusi Defisit BPJS, Infrastruktur Kesehatan, Pendidikan dan Lapangan Kerja Baru di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun