Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Friday Ideas-2) Kantong Plastik Berbayar, Kebijakan Setengah Hati?

26 Februari 2016   13:25 Diperbarui: 26 Februari 2016   14:01 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Solusi Sampah Plastik, sumber gambar : republika.co.id"][/caption]Kebijakan kantong plastik berbayar telah berlaku per 21 Februari 2016, kita patut mengapresiasi kebijakan ini. Tetapi sayangnya kebijakan ini terkesan setengah hati, alias tidak tuntas ke akar masalah. Kenapa?

1. Harga Terlalu Murah/Mahal
Dengan harga Rp 200, dijamin semua tetap pakai kantong plastik. Bila dinaikkan jadi Rp 2000-5000, maka malah muncul calo-calo penjual kantong plastik disekitar supermarket, karena selisih harga yang tinggi dengan plastik grosiran. Selain itu tidak jelas selisih harga plastik kemana (uang rakyat  hanya berpindah ke pengusaha ritel modern).

Bila harga ribuan, lebih baik supermarket/minimarket memberikan kantong kain saja, karena harga pokok kantong kain bahan spunbond ukuran besar juga 2000-an, pemberian kantong kain juga secara tidak langsung mengedukasi masyarakat.

2. Implementasi Terbatas
Hanya bisa berlaku di supermarket/minimarket modern, tidak mungkin berlaku di jutaan toko tradisional. Siapa yang mau mengawasi jutaan toko tersebut?

3. Edukasi tidak Maksimal
Edukasi bahwa plastik tidak ramah lingkungan dan butuh ratusan tahun untuk terurai juga tidak mungkin dijelaskan oleh kasir, kasir paling hanya menjelaskan ini peraturan pemerintah, titik. Artinya kita bergantung pada media, yang juga pasti hanya 1-2minggu awal-awal saja memberitakannya.

Kebijakan khas Indonesia memang, bombastis, sulit implementasi dan pengawasannya. Padahal sebenarnya kalo niat mengurangi sampah plastik dari kantong belanja, cukup 1 kebijakan, JANGAN DIPRODUKSI lagi !

Lebih mudah mana tinggal buat 1 aturan ke pabrik plastik yang jumlahnya terbatas, dibandingkan menyadarkan 250 juta orang untuk tidak menggunakan kantong plastik belanja?

Larang produksi kantong plastik belanja (yang dibicarakan untuk dilarang disini bukan semua jenis plastik, tetapi spesifik untuk belanja = kresek), maka mau tidak mau semua orang beradaptasi dan mencari jalan dengan kantong kain, kardus dll.

Intinya, selama kantong plastik belanja itu masih ada, diproduksi dan dijual murah sekali, maka semua celah tetap akan ada dan kebijakan tidak akan pernah berjalan maksimal!

Pabrik plastik tentu akan protes, plastik kami ramah lingkungan, blablabla. Masalahnya bukan hanya ramah lingkungan/tidak, tetapi kantong plastik belanja itu sebenarnya bukan kebutuhan, hanya praktis saja. Problemnya, di jaman modern ini semua orang ingin praktis.

Kita perlu melihat kebijakan di negara lain bagaimana, oklah kalau melarang 100% dianggap extreem, maka masih ada alternatif lain yang sekaligus bisa menuntaskan akar masalah untuk semua produk tidak ramah lingkungan, yaitu :

1. Wajibkan produsen HANYA memproduksi plastik/produk ramah lingkungan lainnya, bila produksi/impor/mengedarkan plastik/produk non ramah lingkungan, maka bisa dianggap pidana.

2. Wajibkan produsen membangun pabrik/tempat daur ulangnya atau kenakan cukai lingkungan hidup untuk produk-produk tidak ramah lingkungan, dan cukai bisa digunakan oleh BUMN/BUMD untuk membangun fasilitas daur ulang di daerah masing-masing.

Simpel sekali bukan? Anda yang produksi, Anda yang untung dari produk Anda, maka Anda yang harus turut bertanggung jawab mendaur ulang produk-produk tersebut!

Wah kalo produk ramah lingkungan itu mahal ongkos produksinya, plus kena cukai lagi, makin mahal donk? Ntar ga laku dan blablabla alasan segunung lainnya.

Praktis itu memang ada harganya, kalo praktis tidak harganya, ya jadi seperti popok bayi. Popok bayi dulu alami menggunakan kain saja, sekarang orang miskinpun pakai pampers sekali buang, yang selain membebani keuangan rumah tangga, juga jangka panjang menimbulkan masalah sosial/beban biaya yang jauh lebih besar bagi pemerintah untuk mengurus jutaan popok bayi yang tidak bisa terurai hingga ratusan tahun (terinspirasi artikel mb Christie Damayanti DISINI).

Contoh lain, bila dulu kita menjamu tamu-tamu dengan piring biasa, sekarang kita lebih banyak menggunakan piring plastik/styrofoam, kenapa? Karena praktis dan murah! Itu semua tidak apa-apa bila sistem dan fasilitas daur ulangnya memang ada.

Kebijakan harus tuntas hingga ke akar masalah (hingga ke masalah daur ulang bila untuk produk tidak ramah lingkungan). Kebijakan juga harus mudah diimplementasikan dan diawasi.

Bukan membuat kebijakan lalu "hit and run", diserahkan ke 250juta orang yang suruh sadar dan implementasi sendiri, itu namanya kebijakan yang dari awal memang sudah setengah hati = dijamin hasilnya hanya 1/4 hati, hehe.

 

#FridayIdeas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun