Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung tahap kedua akan berlangsung bulan depan; Februari 2017 dan akan dilaksanakan di 101 lokasi. Tepatnya di 7 propinsi, 18 kotamadya dan 76 kabupaten. Namun, panasnya persaingan politik di DKI Jakarta membuat hiruk pikuk pesta demokrasi seakan hanya berada di ibukota, bukan di tempat lain. Baik di propinsi yang berdekatan, yaitu: Â Banten ataupun propinsi yang jauh, yatu: Â Papua Barat.
Bahkan, hampir di tiap kesempatan saya berjumpa rekan-rekan pers yang ditanya tidak jauh-jauh seputar pendapat saya tentang Ahok, keputusan Golkar mendukung Ahok atau peluang Ahok di Pilkada 2017. Tak pelak, ketika melakukan sosialisasi empat pilar MPR maupun kunjungan ke daerah saya ikut tertular bercerita info-info terkini Pilkada dKI Jakarta. Karenanya saya ingin mengulasnya dalam tulisan ini.
Awalnya saya sempat pesimis ada yang berani menghadapi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilkada DKI Jakarta. Karena, selain popularitasnya tertinggi diantara calon-calon yang ada, Ahok juga sukses memobilisasi dukungan independen masyarakat berbasis KTP. Syukur, akhirnya muncul 2 kuda hitam sekaligus untuk menandingi Ahok, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (Agus) dan Anies Baswedan (Anies).
Agus yang didampingi Sylviana Murni diusung Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN. Ahok yang berduet dengan Djarot Syaiful Hidayat (Djarot) disokong koalisi raksasa PDI Perjuangan, Partai Golkar, Nasdem dan Hanura. Karena partai saya Golkar, berdasarkan keputusan musyawarah daerah (musda) mendukung Ahok maka sayapun demikian. Sedangkan Anies menggandeng Sandiaga Uno dijagokan 2 partai oposisi; Partai Gerindra dan PKS.
Ahok, Kinerja Bagus Vs Mulut Offside
Saya kenal Ahok saat sama-sama menjadi anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) baik di DPR maupun MPR. Saat itu saya legislator dari daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Timur, sedangkan Ahok dari dapil Bangka Belitung. Selama interaksi di parlemen, saya lihat kinerjanya cukup baik. Ahok juga individu yang tergolong pintar dan cerdas.
Saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017, kinerjanya juga tetap baik. Apalagi, sebagai eksekutif rekam jejak hasil kerjanya lebih jelas terlihat berupa pembangunan sistem maupun infrastruktur. Berbagai terobosan berani pun dibuat, seperti penggusuran Kalijodo dan penyediaan rumah susun bagi masyarakat yang tempat tinggalnya digusur baik untuk pengendalian banjir maupun penghijauan.
Namun, menurut saya pribadi sopan santunnya dalam berbicara masih minim. Saya sering menyebut mulutnya offside, artinya terkadang apa yang dibicarakannya tidak terlebih dulu dipikirkan masak-masak. Akhirnya menimbulkan masalah, seperti yang sekarang ramai disidangkan sebagai dugaan penistaan agama. Padahal, mungkin saja Ahok tidak bermaksud demikian.
Ahok juga kerap tampil meledak-ledak dan temperamental. Sehingga, masyarakat melihatnya seakan-akan marah. Saya pernah sentil Ahok agar tidak terlalu emosional, karena sosoknya sudah layak jadi pemimpin teladan. Lebih sabar. Saya juga pernah menyarankan, kalau perlu Ahok sekalian saja ikut sosialisasi empat pilar MPR agar lebih mendalami etika sopan santun sebagai salah satu nilai Pancasila.
Fenomena Kengototan Nusron Wahid
Beberapa bulan lalu, Nusron Wahid menjadi sosok fenomenal di dunia perpolitikan tidak hanya DKI Jakarta tapi nasional. Bahkan, sosok politisi muda Golkar ini menjadi viral di media sosial dengan berbagai kontroversinya. Salah satunya, ketika dirinya jadi sasaran bully netizen karena mati-matian pasang badan untuk Ahok. Padahal, saat itu Ahok sedang dihantam sentimen negatif.