[caption caption="Para mantan Ketum Golkar yang berasal dari Luar Jawa (gambar milik kompas.com)"][/caption]
Sebentar lagi, Partai Golkar akan melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Lokasinya belum diputuskan tapi untuk waktunya antara Maret-April 2016 atau tidak lebih dari Juni 2016. Karena, perpanjangan surat keputusan (SK) kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau 2009 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) hanya 6 bulan sampai Juni 2016. Jadi, sebelum kembali kadaluwarsa, harus sudah terpilih Ketua Umum dan kepengurusan baru.
Menarik disimak, pasca reformasi dan setelah berubah menjadi Partai, ada sebuah tren unik terkait kepemimpinan Golkar. Apa itu? Percaya atau tidak, Golkar selalu dipimpin kader-kader non-Jawa. Sebelumnya, saat orde baru selama 7 periode kepengurusan selalu didominasi kader-kader Jawa, mulai Djuhartono (1964-1969), Suprapto Sukowati (1969-1973), Amir Moertono (2 periode 1973-1983), Sudharmono (1983-1988), Wahono (1988-1993) dan Harmoko (1993-1998). Kader-kader non Jawa hampir tak ada kesempatan untuk memimpin Golkar. Selain memang masih sentralisasi, Golkar juga masih dibawah bayang-bayang Soeharto.
Namun itu semua berubah setelah kran reformasi dibuka lebar. Pada Munas 1998 yang berlangsung panas kader non-Jawa terbaik pertama; Akbar Tanjung berhasil menyingkirkan Edy Sudradjat & Sri Sultan Hamengkubuwono X. Saat itu pemilik hak suara hanyalah para ketua DPD I Golkar yang berada di 26 propinsi. Di utara kedua, Akbar Tandjung memperoleh 17 suara, sedangkan mantan Panglima TNI Edy Sudradjat hanya 10 suara. Kecewa, Edy mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
Pada Munas 2004 bahkan kader-kader yang maju memperebutkan kursi ketua umum seluruhnya berasal dari non-Jawa, yaitu Marwah Daud Ibrahim, Jusuf Kalla (JK) dan Akbar Tanjung. Di putaran pertama, Marwah hanya mendapat 13 suara, Akbar mendapat 191 suara dan JK 269 suara. Di putaran kedua, keunggulan JK yang saat itu menjabat wakil presiden semakin bertambah. Dia mengecundangi Akbar Tanjung dengan skor 323-156. Oh ya, di Munas 2004 ini atas perjuangan gerbong JK, ketua-ketua DPD II Golkar memperoleh hak suara.
Di Munas 2009, ada 4 calon ketua umum yang mengajukan diri yaitu; Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Yuddy Chrisnandi, Surya Paloh (SP) dan Aburizal Bakrie (ARB). Namun, kandidat kuat hanyalah 2 nama terakhir dan semua dukungan mengerucut ke mereka, yaitu: SP & ARB. Keduanya, lagi-lagi adalah kader-kader terbaik Golkar yang berasal dari luar Jawa, yaitu Aceh (SP) dan Lampung (ARB). ARB mengalahkan SP dengan 296 berbanding 240 suara. Kecewa, Surya Paloh pun hengkang dan mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Saya tidak ingin membahas Munas 2014 yang menimbulkan konflik berkepanjangan dan turbulensi politik yang luar biasa bagi partai Golkar. Tapi, dari 3 munas Golkar pasca Reformasi melahirkan para Ketua Umum yang secara kebetulan atau tidak adalah kader-kader terbaik non-Jawa, yaitu Akbar Tanjung (1998-2004), Jusuf Kalla (2004-2009) dan Aburizal Bakrie (2009-2014). Bahkan sengaja atau tidak, Dewan Penasehat pun dipimpin kader-kader senior luar Jawa, seperti BJ Habibie (1998-2004), Surya Paloh (2004-2009) dan Akbar Tanjung (2009-2014).
Ketiganya, dengan cara masing-masing berhasil mengukuhkan Partai Golkar sebagai partai kader yang terpandang pasca reformasi. Ini dibuktikan, tak bergantung pada ketokohan Golkar mampu tampil maksimal baik di legislatif maupun eksekutif. Bahkan kader-kader Golkar mewarnai mayoritas kepemimpinan daerah, baik sebagai gubernur, bupati maupun walikota.
Nah, menjelang Munaslub 2016 ini bermunculan beberapa kader-kader terbaik Golkar yang berasal dari luar Jawa. Mulai Azis Syamsudin (Lampung), Mahyudin (Kaltim), Idrus Marham (Sulawesi Selatan) hingga Setya Novanto (Nusa Tenggara Timur). Tanpa mengesampingkan kader-kader terbaik dari Jawa seperti Ade Komarudin (Jawa Barat), Bambang Soesatyo (Jawa Tengah), Priyo Budi Santoso (Jawa Timur) hingga Siti Hediati (Titiek Soeharto, Yogyakarta). Karena, selain faktor tren unik tadi, para pemilik suara baik yang berasal dari ketua DPD-DPD I maupun DPD-DPD II mayoritas berasal dari luar Jawa.
Setya Novanto adalah anggota DPR 3 periode dari daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT). Mantan Ketua DPR RI yang mengundurkan diri karena desakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ini pernah menjadi Bendahara Umum DPP Partai Golkar di periode sebelumnya. Kini dia menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI. Azis Syamsudin adalah anggota DPR 2 periode dari dapil Lampung. Mantan Ketua Umum DPP KNPI ini pernah menjadi Ketua DPP Partai Golkar di periode sebelumnya. Kini dia menjabat sebagai Sekretaris FPG DPR RI mendampingi Setya Novanto.
Idrus Marham adalah mantan Ketua Umum DPP KNPI yang juga pernah menjadi anggota DPR RI. Jabatan terakhirnya di Partai Golkar adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen), sehingga dia sudah cukup mumpuni untuk urusan administratif partai. Terakhir adalah Mahyudin, putra asli Kalimantan yang menjabat Wakil Ketua MPR RI ini sudah menjadi anggota DPR RI 2 periode dari dapil Kalimantan Timur (Kaltim). Sebelum menjabat Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, dia pernah menjabat Ketua DPP Partai Golkar bidang Organisasi, Ketua DPD I Kaltim dan Ketua DPD II Kutai Timur (Kutim). Dia juga pernah menjabat Wakil Ketua DPRD Kutim, Wakil Bupati dan Bupati Kutim.