Mohon tunggu...
Anna Rahmawati
Anna Rahmawati Mohon Tunggu... profesional -

Hidup ini indah

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Harga Diri

24 Oktober 2014   06:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:55 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enrico, 10 tahun. Muncul dari ruang tengah, berjalan menuju area belakang. Nafasnya memburu. Bahunya melengkung dan selembar kain bali berumbai-rumbai tersampir di bahunya. Kedua tangannya terkulai di samping tubuhnya. setiap langkah kakinya menghentak kuat beradu dengan lantai dan yang paling ngeri adalah: bola api di kedua matanya. Terbayangkan seekor singa perang yang siap menyerang. Dia menuju pondok belakang rumah, naik ke atasnya dan duduk di salah satu pojoknya. Begitu duduk, tangan kirinya meraih kain bali berumbai-rumbai ke arah wajahnya untuk menutupi jempol kanan yang telah masuk ke mulutnya. Seperti satu paket gerakan alamiah ketika terjadi "sesuatu" atas dirinya.

Aku, 44 tahun. Enrico memanggilku "mamak". Aku bergabung dengannya di pondok dan duduk sejarak sejangkauan tangan darinya. Kuperhatikan, bola api itu masih membara di kedua matanya. Hmm, saatnya bicara.

"Aku tahu kenapa kau marah. Kau itu terlahir dengan takdir harga diri sebesar dunia. Dengan harga diri sebesar itu, kau tak sudi diperlakukan semaunya. Kau kepingin meledak sekarang kan? Tapi itulah hebatmu Enrico, kau anak cerdas yang belum sadar telah memiliki bibit-bibit kecerdasan emosional dalam dirimu. Kau ingin meledak, tapi kau memilih duduk di sini sambil ngocop untuk menenangkan diri."

Ketegangan wajahnya mengendur dan bola api di matanya meredup.

"Sekarang aku tanya, apa kau sendiri yang buat dirimu ingin meledak? Atau orang lain yang bersikap gak enak samamu, yang buat kau kepingin kali meledak? Gak semua sikap orang itu enak ke kita. Tapi yang penting itu kau mau pilih yang mana, mau sakit hati ato EGP "emang gue pikirin". Kayak gini lho, misalnya ada yang nawarin kau madu sama racun. Kalau kau pilih racun lalu kau minum, ya mati, minimal tersiksa sengsara kayak kau sekarang ini."

Bola api di matanya padam, berubah wujud menjadi sebutir bening air mata mengalir di pipi kirinya, tanpa isak. Hanya mengalir saja. Hatiku haru memandang air mata harga diri itu. Kuhapus dengan kain balinya sambil membelai pipi kanak-kanaknya yang lembut.

"Jadi begitulah Enrico. Kita gak bisa tentukan semua orang harus bersikap baik ke kita. Tapi kita bisa belajar gimana caranya menerima sikap-sikap yang gak enak atau gak baik ke kita. Dirimu itu milikmu sendiri, kau rawat baik-baik, jaga baik-baik, jangan biarkan siapa pun bikin kau sengsara kayak gini. Tapi kayak gini pun, kau sudah termasuk hebat. Kau bisa jadi orang hebat nanti."

Kurang dari lima menit kemudian, Enrico mulai bercakap-cakap seperti biasa. Harga dirinya telah pulih dan sisa hari dilewatinya dengan ceria. Persoalan dengan kakaknya sejenak lepas dari ingatan.

Malamnya, aku dikejutkan dengan pertanyaannya yang ajaib: "Mak, kenapa malaikat punya sayap?" Kali ini aku kehabisan kata-kata dan mulai tertawa. Dia pun tertawa mendengar tawaku dan kami pun tertawa berderai-derai sampai sakit perut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun