Terakhir, kerusuhan Muslim dan Hindu meletus di Delhi tanggal 23 -25 Februari 2020. Kerusuhan ini bermula dari unjuk rasa kaum muslim yang memprotes Amandemen Undang-Undang kewarganegaraan yang kental nuansa anti Islam. Amandemen tersebut berbunyi bahwa imigran Sikh, Budha, Hindu hingga Kristen dari tiga negara tetangga yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan diperbolehkan menjadi warga negara India dengan syarat yang dipermudah. Bila sebelumnya regulasi naturalisasi jadi warga negara India mensyaratkan wajib tinggal di India selama 11 tahun, dengan amandemen ini syaratnya menjadi enam tahun saja.
Para politisi BJP (Bharatiya Janata Party) yang menopang kekuasaan Perdana Menteri India Narendra Modi, membela amandemen tersebut. Pengecualian terhadap muslim, lantaran di tiga negara itu mayoritas Muslim dan tidak semestinya menjadi imigran ilegal di India. Banyak pihak yang menyimpulkan amandemen itu justru akan mendelegitimasi warga Muslim.
Pengamat politik Universitas Brown, Bahni Joshi menyatakan bahwa kerusuhan massa anti Islam itu memang didukung oleh polisi. Kerusuhan cenderung kearah genosida terhadap Muslim seperti pada kerusuhan 1984 dan 2002. Dalam tiga hari kerusuhan di Delhi tersebut menewaskan 20 warga muslim.
Sepertinya ajaran Mahatma Gandhi perlu dibuka kembali dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sepertinya kita perlu mengingat kembali apa ajaran satyagraha, ahimsa, Aparigraha, hartal dan swadesi. Ajaran mulia dari Mahatma Gandhi hendaknya menjadi pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Toleransi dengan sesama umat beragama perlu ditegakkan sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap agama tertentu.
Ajaran lain dari Gandhi antara lain: self kontrol, self awareness dan hoamony with nature. Gandhi mengajarkan agar manusia mampu mengendalikan diri dan memiliki nalar yang panjang. Gandhi juga mengajarakan agar manusia memiliki kesadaran diri mengenai siapa manusia itu dan untuk apa manusia diciptakan. Gandhi juga mengajarkan agar manusia bisa menjaga keseimbangan alam. Berbagai kerusakan, bencana hingga virus yang berkembang saat ini mungkin karena ketiadaan keseimbangan dari alam.
Gandhi pun memberikan arahan mengenai beberapa karakter yang harus dihindari antara lain: kekayaan tanpa kerja, pengetahuan tanpa karakter, pengetahuan tanpa kemanusiaan, Politik yang tidak punya prinsip/ visi, politik yang dijadikan pekerjaan/karier utama, kesenangan tanpa kesadaran, perdagangan tanpa moral dan beribadah tapi tidak ikhlas dan penuh kepentingan.
Era revolusi industri 4.0 ini memberi gambaran bahwa tenaga manusia akan tergantikan oleh mesin/ teknologi. Bagaimana sikap Gandhi terhadap teknologi? Gandhi menggambarkan bahwa tubuhnya seperti mesin yang rumit.Gandhi tidak membenci mesin, namun membenci kesukaan yang berlebihan terhadap mesin. Gandhi tidak suka mesin yang melemahkan kekuatan manusia.Pengembangan teknologi hari ini, menggantikan posisi manusia apakah sudah memperhatikan orang yang bekerja? Â Jadi dia menolak mesin yang tidak mendatangkan manfaat bagi manusia. Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang ini, dimana manusia sangat tergantung dengan gagdet, maka ihal tersebut bertentangan dengan ajaran Gandhi. Manusia pada saat ini hampir seluruh hidupnya diatur oleh Gadget, setiap detik dia akan melihat gadget, sampai kemudian ada femonema sebuah keluarga yang makan malam diluar namun masing-masing anggota keluarga tersebut sibuk dengan gagdetnya masing-masing. Betapa banyak orangtua yang asyik dengan smartphonenya dan kurang perhatian terhadap anak-anaknya. Betapa banyak suami istri yang lebih banyak asyik dengan gagdet daripada berbincang-bincang dengan pasangan.
Teknologi baru jangan sampai memiliki efek negatif, antara lain: Jangan sampai sepenuhnya mengganti manusia dengan mesin, materialis anti human, lahirnya mesin-mesin canggih jangan sampai melahirkan eksploitasi ekonomi, memunculkan disintegrasi sosial dan Jangan sampai menimbulkan keserakahan. Teknologi memiliki sisi posisitf, namun juga memiliki dampak negatif jika tidak mampu memanfaatkan dengan baik. Gandhi mengajarkan agar manusia menggunakan teknologi ini sewajarnya saja, jangan sampai menilbulkan efek negatif yang telah disebutkan diatas. Teknologi tetap dimanfaatkan, namun pengembangannya tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.
Revolusi Industri 4.0 saat ini dan menuju 5.0 memberi konsekuensi akan tergantikannya tenaga manusia ke tenaga mesin. Hampir seluruh kehidupan manusia saat ini telah tergantikan oleh mesin. Masa pandemi ini telah memaksa kita untuk semakin akarab dengan mesin, termasuk dalam bidang pekerjaan dan pendidikan. Kebijakan Work From Home (WFH) yang diterapkan di perkantoran telah memaksa para karyawan untuk akrab dengan rapat online menggunakan media laptop. Kini, bekerja tak lagi di dalam gedung, namun cukup dirumah masing-masing dengan menggunakan internet. Bahkan, dalam bidang pendidikan, peran guru lambat laun telah tergantikan oleh mesin. Murid tak lagi bertatap muka secara langsung dengan guru, namun hanya dapat menatap gurunya di layar komputer atau laptop. Hal inipun mendatangkan amsalah baru bagi dunia pendidikan. Anak- anak lebih banyak bermain gadget daripada mengerjakan kegiatan lainnya. Permainan tradisional kini tergeser dengan berbagai aplikasi game di gadget.
Dalam bidang perdagangan juga demikian. Untuk membuka usaha, tidak lagi memerlukan kios namun seseorang dapat membuka usaha dirumah masing-masing. Semua bidang sekarang ini berfokus pada rumah. Perdagangan secara manual kini mulai ditinggalkan, diganti dengan perdagangan secara online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H