Mohon tunggu...
Annajwa Maharani
Annajwa Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

22107030006 Mahasiswa ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan humaniora UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasal dan Alasan Mengapa Aceh Masih Menerapkan Hukum Qanun

15 Maret 2023   22:33 Diperbarui: 15 Maret 2023   22:44 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen foto dari: www.indonesiaplus.id

Pasal dan Alasan Mengapa Aceh Masih Menerapkan Hukum Qanun sebagai Penegak Hukum Peradilan di Aceh

 

Sebagaimana yang banyak orang ketahui, bahwa di Indonesia hanya Aceh yang masih menggunakan hokum Qanun sebagai penegakan hokum, berikut penjelasannya.

Aceh telah melahirkan Qanun Hukum Acara Jinayah, yaitu Qanun No. 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. Qanun ini disahkan oleh Pemerintah Aceh untuk melengkapi qanun hukum jinayah yang telah ada sebelumnya, yaitu Qanun No. 12 tahun 2013 tentang khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Berdasarkan namanya, ketiga qanun tersebut hanya mengatur tentang khamar, maisir (perjudian), dan khalwat (mesum).

 Kemudian, qanun jinayah tersebut disempurnakan lagi oleh Pemerintah Aceh dengan menambah tujuh perbuatan jarimah, sehingga perbuatan jarimah yang diatur dalam qanun hukum jinayat berjumlah 10 perbuatan jarimah. Kesepuluh perbuatan jarimah tersebut adalah: khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, liwath, musahaqah, dan pemerkosaan, dan qadzaf. Kesepuluh perbuatan jarimah ini diatur dalam Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

 Dengan berlakunya Qanun No. 6 tahun 2014 tersebut maka Qanun No. 12, 13, dan 14 tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Penutup pasal 74 Qanun No. 6 tahun 2014.Sebagai qanun hukum acara, tentu saja, Qanun No. 7 tahun 2013 turut mengatur tentang kesaksian. Ketentuan tenatng Menarik untuk dicermati bahwa saksi. Dari aspek pembuktian, jarimah zina dan qadzaf memiliki ketentuan tersendiri, yang berbeda dari delapan perbuatan jarimah lainnya. Jumlah saksi dalam jarimah selain zina tidak disyaratkan dengan jumlah saksi sebanyak empat orang, namun memadai dengan dua orang saksi; hal ini dapat dipahami dari pasal 182 ayat (2).

Sedangkan perbuatan jarimah zina harus dibuktikan dengan menghadirkan 4 (empat) orang saksi. Apabila si penuduh tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka penuduh tersebut dianggap telah melakukan jarimah qadzaf, yaitu menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang 4 (empat) orang saksi.

Perlu dijelaskan bahwa empat orang saksi dalam jarimah zina tidak disebutkan jenis kelaminnya, namun hanya menyebut empat orang saksi saja. Ketentuan pembuktian jarimah zina tersebut disebutkan dalam Pasal 182 Qanun Aceh No. 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. Pasal 182 ayat (5) Qanun ini berbunyi: "Khusus pada jarimah zina dibuktikan dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat secara langsung proses yang menunjukkan telah terjadi perbuatan zina pada waktu, tempat serta orang yang sama."

Apabila dirujuk kepada kitab-kitab fikih mazhab, maka selalu disebutkan secara jelas bahwa kesaksian terhadap kasus zina adalah dengan mendatangkan empat orang saksi laki-laki.[1]Penyebutan kata laki-laki mengindikasikan penolakan terhadap kesaksian empat orang perempuan.

Bahkan, jumhur ulama fikih melarang menerima kesaksian perempuan dalam kasus zina. Meski terdapat ulama yang menerima kesaksian perempuan dalam pembuktian jarimah zina, seperti Ibnu Hazm, namun Ibnu Hazm tidak mengakui kesaksian empat orang perempuan. Ibnu Hazm menyamakan kesaksian satu orang laki-laki dengan dua orang perempuan. Dengan demikian maka, kalau mengikuti pemikiran Ibnu Hazm, jumlah saksi perempuan dalam jarimah zina adalah delapan orang perempuan. 

Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa ketentuan kesaksian perempuan dalam kasus zina berbeda dengan ketentuan fikih mazhab. Perbedaan ini tentu saja dapat berdampak pada munculnya berbagai penafsiran, tergantung kepada pola pikir dan keyakinan aparat penegak hukum. Akibat lebih jauh adalah berpengaruh pada proses penyidikan, penuntutan, dan putusan hukum antara satu aparat penegak hukum dengan penegak hukum yang lainnya.

Orang yang hanya berpegang pada fikih mazhab akan menganggap bahwa empat orang saksi tersebut adalah saksi laki-laki. Namun, orang yang melihatnya dari kacamata kesetaraan dan keadilan gender akan berpendapat sebaliknya, yaitu empat orang tersebut dapat saja dari jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Perbedaan sudut pandang ini tentu saja berpengaruh pada nilai pembuktian dan nilai kemanusiaan yang dianut oleh bangsa dan Negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun