Becak kami berhenti di pinggir jalan di seberang kelenteng. Hiruk pikuk suara motor dan klakson mobil ditingkahi teriakan petugas parkir yang berusaha mengatur ketertiban lalu lintas.
Sebelum memasuki pelataran kelenteng yang malam itu tampil laksana food court, suami saya sempat menjepretkan kamera ke arah papan selamat datang.
Meja-meja panjang disusun rapi di pelataran kelenteng, lengkap dengan kursi-kursinya. Para wisatawan yang telah selesai berkeliling kota naik becak, mulai berdatangan.
Saya terkesan dengan sebuah spanduk yang mengimbau pengunjung untuk mengambil makanan secukupnya. "Sumber makanan bukan milik kita sendiri, melainkan milik kita bersama untuk kehidupan yang lebih indah. Tuhan memberkati."Â
Beralih ke meja sajian, saya kembali terpukau. Makanan yang disajikan di meja prasmanan, sungguh memperhatikan kebutuhan gizi seimbang.
Ada karbohidrat dalam nasi, protein dalam udang dan ayam, serat dan vitamin dalam sayuran, dilengkapi air minum botolan.
Tidak hanya itu, para pengunjung juga diingatkan untuk menjaga kebersihan. Imbauan untuk membuang sampah serta meletakkan piring dan sendok pada tempatnya, tertempel pada setiap tiang.
Seorang warga senior yang tidak mau disebutkan namanya bercerita bahwa beberapa kelenteng menyelenggarakan dapur umum sebagai solusi bagi para wisatawan yang kesulitan mencari makanan. Selain Ce Kong Thua, Kelenteng Kwan Te Thua juga melakukan hal yang sama.