Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar kata “pulkam”? Tahukah Anda bahwa ada tiga event dalam setahun yang menggerakkan anak rantau dari Bagansiapiapi untuk pulang kampung?
Ketiga event tersebut adalah “Cap Go Meh”, yakni hari kelima belas bulan pertama dalam penanggalan lunar, “Qingming” atau “Cheng Beng” yang dikenal juga dengan istilah “sembahyang kubur”, dan tentunya “Go Ge Cap Lak”, yakni hari keenam belas bulan kelima dalam penanggalan lunar.
Event “Cap Go Meh” di Bagansiapiapi ditandai dengan festival lampion yang sangat meriah. Sementara “Cheng Beng” merupakan kesempatan berkunjung ke kuburan leluhur untuk memberi penghormatan kepada mereka, dan “Go Ge Cap Lak” dimeriahkan oleh ritual bakar tongkang.
Ketika Ng Bie Lei, seorang teman SD, mengajak saya pulkam bersama teman-teman sekolah pada event “Go Ge Cap Lak” tahun ini, hati saya melonjak girang. Meskipun sudah pulkam setahun yang lalu setelah kurang lebih empat dekade meninggalkan kampung halaman, saya membayangkan pengalaman yang sangat berbeda jika perjalanan dilakukan bersama teman-teman lama.
Mengapa Pulkam Saat “Go Ge Cap Lak”?
Bie Lei, panggilan akrab teman yang menggagas perjalanan ini, rutin pulkam 2 kali setahun dalam 15 tahun terakhir. Namun, pandemi COVID-19 yang membatasi ruang gerak umat manusia selama kurang lebih 3 tahun, membuatnya terpaksa menghentikan rutinitas tersebut untuk sementara.
Bie Lei bercerita bahwa tujuan utamanya adalah merayakan ulang tahun Ong Ya Kong (sebutan umum untuk Ki Hu Ong Ya). Ia bercerita bahwa sekitar 17 tahun yang lalu, ia pulkam dan sembahyang kepada Ki Hu Ong Ya agar keluarganya diberi kesehatan dan rezeki. Harapannya terkabul dan ia berjanji pada diri sendiri untuk pulkam setiap tahun merayakan ulang tahun Ki Hu Ong Ya sebagai wujud terima kasih.
Selain itu, ia juga ingin mengambil bagian dalam ritual bakar tongkang dan bernostalgia bersama teman-teman mengenang masa sekolah. “Sebetulnya sudah sejak 4 tahun yang lalu, saya ingin mengajak teman-teman sesama Alumni Perguruan Methodist untuk pulkam bersama. Sangat bahagia, niat itu terwujud pada tahun ini,” cerita Bie Lei dengan mata berbinar-binar.
Sembahyang kepada Ki Hu Ong Ya juga merupakan tujuan utama hampir semua teman perjalanan saya kali ini. Bonusnya, menyaksikan event bakar tongkang dan bernostalgia bersama teman-teman.
“Menurut saya, tradisi sembayang ini bagus untuk mempererat tali persaudaraan. Di Bagan, masih banyak saudara jauh yang belum pernah berhubungan, bahkan belum saling kenal. Dengan pulkam, relasi jadi tersambung kembali,” cerita A Hong yang terakhir kali pulkam pada tahun 2014 namun baru berkesempatan menyaksikan event bakar tongkang pada tahun ini.
“Karena ini pertama kali ikut sembayang, saya cuma berdoa untuk keselamatan bangsa dan keluarga. Saya sangat bahagia pulkam bersama teman-teman, jadi merasa seperti keluarga. Event seperti ini sungguh mempererat persaudaraan dan pertemanan. Harapan saya, kita semua selalu diberi kesehatan,” demikian kesan dan pesan A Hong.
Seperti A Hong, Beng Ha yang meninggalkan kampung sejak tahun 1983 dan terakhir kali pulkam pada tahun 2002 juga baru pertama kali menyaksikan event bakar tongkang. Demikian juga Sok Hui yang sempat beberapa kali pulkam untuk sembahyang Cheng Beng.
Jika Bie Lei, A Hong, Beng Ha dan Sok Hui kini tinggal di Jakarta, ada juga beberapa teman yang datang dari Cirebon, Bandung, dan Surabaya. Mereka tiba di Jakarta pada tanggal 30 Juni 2023 untuk terbang ke Pekanbaru bersama kami pada tanggal 1 Juli 2023 pagi.
Ang Chui Phing, teman yang kini tinggal di Cirebon, meninggalkan kampung halaman pada tahun 1980-an dan sempat pulkam bersama orangtua sekitar tahun 2008-an. Chui Phing bercerita bahwa ia pulkam karena ingin sembahyang Ong Ya Kong, juga ingin melihat langsung event bakar tongkang dan bernostalgia bersama teman-teman sekolah. Ia juga berharap selalu sehat dan banyak rezeki agar tahun-tahun berikutnya dapat melakukan perjalanan bersama teman-teman lagi.
Catatan Pulkam, Bagan Punya Cerita
Momen pulkam tahun ini meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Selain dapat bernostalgia bersama teman-teman, dalam perjalanan kali ini, saya ditemani suami, anak, dan menantu kedua.
Di Pekanbaru, kami berkesempatan menyisihkan sedikit waktu untuk mengunjungi adik keenam dari ayah saya. Ini merupakan perjumpaan pertama menantu saya dengan tante saya yang disapanya lakkopo.
Ketika teman-teman kami melakukan ritual sembahyang, Yusuf, seorang sahabat yang tinggal di Bagansiapiapi, berkenan mengantar kami mengunjungi tempat-tempat wisata dan berbagi cerita tentang sejarah Bagan.
Ada banyak catatan pulkam yang saya rangkum dalam rangkaian tulisan “Bagan punya cerita”. Tentang kebiasaan makan enam kali sehari dan kerinduan akan kuliner kesukaan yang tidak semuanya dapat kami nikmati, tentang nostalgia seru bersama teman-teman di SMP Methodist, tentang peresmian kelenteng “Ing Hok Kiong” yang telah bersalin rupa, tentang kompleks pemerintahan di Batu Enam, tentang Anak Misioner Bagansiapiapi yang membuat saya terkesan, tentang baksos dan kepedulian anak rantau, tentang kegigihan komunitas Bagan Tempo Doeloe melestarikan sejarah dan budaya Bagan …
Kepada anak Bagan, mari merapat dan bernostalgia. Kepada seluruh rekan Kompasianer dan siapa saja yang berkesempatan membaca tulisan ini, semoga berkenan mengikuti rangkaian tulisan “Bagan punya cerita”, kisah dari ibu kota Kabupaten Rokan Hilir yang pada zaman kejayaannya sempat dikenal sebagai penghasil ikan nomor dua di dunia. Kota yang juga dikenal sebagai Ville lumière, kota Cahaya yang penuh pesona …
9 Juli 2023
Siska Dewi
Anak Bagan yang kini terdampar di tengah belantara kota Jakarta
Catatan: seluruh foto dalam artikel ini merupakan dokumen pribadi, kecuali 2 foto yang diambil dari halaman Facebook Bagan Tempo Doeloe dengan seizin pengurusnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H