Pada tahun 1993, masih banyak daerah terpencil di Indonesia yang belum tersentuh oleh pembangunan. Listrik di sana belum ada.
“Mereka menyentuh saya, seolah ingin memastikan bahwa saya sungguh-sungguh manusia. Mereka bercerita bahwa terakhir kali dikunjungi dokter Belanda pada era 1940-an. Saya adalah dokter pertama yang mengunjungi mereka setelah lebih dari 50 tahun berlalu.” Kata dokter Ignas mengenang pertemuan yang mengharukan tersebut.
Para tua-tua adat bercerita bahwa Puskesmas terdekat jaraknya hanya sekitar 12 km dari tempat mereka. Namun, medan yang harus dilalui sangat berat. Dari lembah, mereka harus ke bukit lalu menyeberangi sungai. Setelah itu, jalan lagi lewat kebun-kebun, baru bisa ke jalan desa mencari angkutan desa setelah berjalan sekian lama.
“Kalau ada yang sakit, mereka harus menggotong pasien dengan pikulan dan membawanya melalui medan yang berat tersebut hingga sampai di Puskesmas terdekat. Saya menangis dalam hati mendengarnya. Saat itu, barulah saya merasakan makna sesungguhnya dari menjadi seorang dokter. Emosi saya tergerak. Saya termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi.” Cerita dokter Ignas lagi.
Ya, sentuhan para tetua, ekspresi takjub dan bahagia di wajah mereka, letupan harapan yang terpancar dari binar mata mereka, semua itu menyatu dalam sebuah luapan rasa di hati Ignas. Ia mendengar alunan nada indah, sebuah kidung cinta membahana di hatinya.
Dengan sepasang mata berkaca-kaca dan senyum tulus di wajahnya, ia berjanji dalam hati untuk melakukan yang terbaik bagi siapa pun pasien yang akan Tuhan bawa kepadanya. Inilah aku, Tuhan, dengan segala keterbatasan yang ada pada diriku, kupersembahkan semuanya untuk Kau pakai sesuai kehendakMu.
Tiga tahun PTT di desa Besikama adalah masa yang kaya akan pengalaman batin. Laksana kawah candradimuka, di sanalah dia ditempa hingga menjadi dewasa.
Selama tiga tahun, dia sungguh merasakan keajaiban perbuatan tangan Tuhan. Lewat kasus-kasus sulit yang berhasil ditangani dengan fasilitas yang sangat minim, Tuhan menunjukkan kuasa dan kesetiaanNya.
Bersama para suster yang bekerja membantunya dalam melayani pasien, Ignas mengalami satu demi satu jawaban doa.
“Pernah kami menangani kasus persalinan yang sangat sulit. Setelah berjuang lebih dari satu hari dalam doa yang tak kunjung putus, Tuhan berkenan menyelamatkan ibu dan anak lewat tangan-tangan kami. Hb si ibu cuma 2.5 sesaat sesudah persalinan! Namun, dia selamat setelah dirawat selama 3 minggu.”
Di akhir masa tugas Ignas, banyak penduduk turun ke Besikama, bertemu dan mengadakan pesta adat untuknya. Sesudah itu, mereka mengantarnya hingga ke Dilli.
Dari Dilli, dia berangkat ke Kupang, mengurus surat selesai masa tugas. “Saya sungguh bersyukur, Tuhan memberi saya masyarakat yang mencintai saya apa adanya. Dia membuka mata pikiran dan hati bahwa saya bisa berguna di masyarakat seperti ini.”
Kini, lebih dari seperempat abad telah berlalu. Dokter Ignas masih setia pada panggilannya. Selain praktik di dua RS di Jakarta Utara, dia juga mengajar di Almamaternya. Di salah satu RS tempat praktiknya, ia menyediakan diri untuk melayani pasien BPJS pada jadwal-jadwal tertentu.
Kidung cinta dari Besikama, momen ketika ia pertama kali menyadari makna menjadi seorang dokter yang sesungguhnya, terpateri erat di dalam hati, menjadi dasar setiap pelayanannya.
Memiliki istri dari profesi yang sama, keluarga kecil mereka kini dianugerahi sepasang putri dan putra. Di tengah segala kesibukan melayani pasien dan mengajar, dia berusaha mengatur jadwal agar pada hari-hari tertentu dapat pulang lebih awal dan menikmati waktu berkualitas bersama keluarga.