Hari ini cucu pertama saya, sebut saja namanya baby K, genap berusia empat bulan. Hingga saat ini, dia masih menikmati ASI eksklusif. Sungguh suatu anugerah yang patut disyukuri.
Dua bulan lagi, baby K akan dikenalkan pada MPASI. WHO dan Unicef memang menyarankan pemberian ASI hingga usia 2 tahun atau lebih. Namun, setelah anak berusia 6 bulan, ASI saja tidak cukup.
Dengan berlalunya waktu, ada banyak perubahan dalam praktik pemberian MPASI. Apa yang saya berikan kepada anak-anak sebagai MPASI pada dua atau tiga dekade yang lalu, saat ini mungkin tidak cocok lagi.
Agar dapat menjadi teman perjalanan yang kompak bagi baby K dan ibunya, saya mulai mencari informasi tentang hal-hal penting dalam pemberian MPASI. Tentu, dari sumber yang tepercaya.
Dari pencarian itu, saya menemukan beberapa makanan yang sebaiknya tidak diberikan kepada anak sebelum mencapai usia tertentu. Apa saja itu?Â
Pertama, MaduÂ
Dahulu, saya diajarkan bahwa madu bisa menjadi pemanis alami MPASI. Beberapa teman saya bahkan percaya bahwa memberikan madu kepada bayi dapat membantu mencegah penyakit dan meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Faktanya, pada tanggal 2 Juni 2010, Food Standards Agency of the United Kingdom (UK) mengeluarkan siaran pers yang mengingatkan para orangtua untuk tidak memberikan madu kepada bayi di bawah usia 1 tahun. Hal ini dilakukan menyusul ditemukannya kasus penyakit langka namun serius, yakni botulisme bayi. [1]
Botulisme bayi pertama kali ditemukan pada tahun 1976. Hal ini disebabkan oleh konsumsi spora Clostridium botulinum, yang kemudian berkecambah dan tumbuh di usus bayi dan melepaskan toksin.
Mengapa bayi bisa mengonsumsi spora Clostridium botulinum? Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa kemungkinan bayi tersebut mengonsumsi madu yang terkontaminasi spora.
Tidak diketahui bagaimana madu terkontaminasi spora. Clostridium Botulinum biasanya tumbuh subur di tanah dan debu. Mungkin spora tersebut diambil oleh lebah lalu dibawa ke sarang.
Botulisme jarang terjadi pada bayi di atas 1 tahun. Hal ini disebabkan sistem pencernaan mereka sudah berkembang lebih baik sehingga spora tidak dapat berkecambah.
Gejala awal botulisme pada bayi adalah konstipasi, bayi terlihat lesu, kesulitan makan, otot dan tangisan melemah. Meskipun sebagian besar kasus memerlukan rawat inap, namun kasus fatal jarang terjadi.
Jadi, bersabarlah hingga anak-anak Anda berusia satu tahun jika ingin memberikan madu atau makanan yang mengandung madu kepada mereka.
Kedua, Telur Setengah Matang
2]
Telur adalah makanan pertama yang baik untuk bayi. Selain merupakan sumber protein yang sangat baik, telur mudah dikunyah oleh bayi, dan mudah disiapkan oleh orangtua. [Anda dapat membuat telur orak-arik, pure telur, telur dadar, atau chawan mushi (telur kukus khas Jepang). Yang terpenting adalah memastikan telur dalam potongan kecil yang lembut. Potongan besar bisa berisiko bayi tersedak.
Sebuah penelitian yang dirilis oleh American College of Allergy, Asthma, and Immunology menemukan bahwa memperkenalkan telur lebih awal kepada bayi, kemudian memberikannya secara konsisten, dapat mengurangi risiko alergi telur pada anak usia 1 hingga 6 tahun. [3]
Perlu diperhatikan bahwa telur untuk MPASI hendaklah dimasak hingga matang. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengingatkan agar tidak memberikan telur setengah matang kepada anak sebelum berusia 5 tahun. Balita memiliki risiko infeksi salmonella yang lebih tinggi. [4]
Ketiga, Susu Sapi
Susu sapi dikenal sebagi pelengkap nutrisi harian. Susu sapi dapat dikonsumsi dalam bentuk segar atau melalui proses sterilisasi, misalnya di-pasteurisasi atau UHT.
The Dietary Guidelines for Americans menyebutkan susu sapi hanya dapat diberikan setelah anak berusia 1 tahun. Pemberian susu sapi kepada anak di bawah usia 12 bulan berisiko membuatnya mengalami pendarahan usus. Selain itu, juga memberinya terlalu banyak protein dan mineral yang dapat ditangani oleh ginjal. [5]
Konsumsi susu sapi dan susu alternatif oleh anak-anak berusia 12 hingga 23 bulan dibatasi hanya 1 hingga 2 cangkir setara susu sehari. Ini sudah termasuk susu sapi, yogurt, keju, minuman kedelai, dan yogurt berbasis kedelai.
Terlalu banyak minum susu sapi membuat anak merasa kenyang sehingga mengurangi asupan makanan lain yang mengandung nutrisi penting. Beberapa ahli mengatakan bahwa terlalu banyak mengonsumsi susu sapi dapat mempersulit tubuh anak menyerap zat besi dari makanan.
Keempat, Gula
Secara naluri, bayi dan balita memiliki preferensi bawaan untuk memilih makanan dengan rasa manis. Namun, Konsumsi gula secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan risiko obesitas, tekanan darah tinggi, dan karies gigi. [6]
Oleh karena itu, bayi perlu diberi cukup waktu untuk mengembangkan selera terhadap makanan yang tidak mengandung tambahan gula. Disarankan agar sama sekali tidak memberikan makanan dengan tambahan gula dan pemanis hingga anak berusia 1 tahun.
Anda dapat mempertimbangkan untuk menunda pemberian tambahan gula dalam makanan bayi hingga usia 2 tahun. Paparan gula secara dini dan sering dapat mengurangi keragaman makanan yang disukai anak dan meningkatkan risiko obesitas serta diabetes tipe 2 yang berdampak negatif pada kesehatan kardiovaskular. [7]
Menghindari tambahan gula dan pemanis saat mulai mengenal MPASI, dapat membantu bayi dan balita belajar menyukai rasa gurih serta makanan utuh yang manis alami seperti buah dan sayuran.Â
Untuk memberi rasa manis pada makanan bayi, Anda dapat mencampurkan sayuran atau buah-buahan segar yang mengandung serat, seperti pisang, stroberi, jagung, atau wortel.
Wasana Kata
Setiap bayi adalah unik dan tahap perkembangannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai nenek dari baby K, saya sadar bahwa yang paling mengetahui perkembangan bayi adalah ibunya.
Tentang menu MPASI, putri saya memilih untuk selalu berkonsultasi dengan dokter anak yang menangani baby K sejak baru lahir. Tentu saja, saya mendukung sepenuhnya pilihan ini.
 Apa pun pilihannya, WHO memberikan 4 pedoman dasar tentang MPASI. Pertama, diberikan secara tepat waktu yakni kebutuhan energi dan nutrisi melebihi apa yang dapat diberikan ASI eksklusif.
Kedua, memadai yakni mampu menyediakan energi, protein, dan zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak yang sedang tumbuh. Ketiga, aman yakni disimpan dan disiapkan secara higienis, diberi makan dengan tangan bersih menggunakan peralatan bersih.
Terakhir, diberikan dengan benar, yakni sesuai dengan sinyal nafsu makan dan rasa kenyang anak, dengan frekuensi dan pemberian makan sesuai usia. [8] Semoga bermanfaat!
Â
Jakarta, 23 Agustus 2022
Siska Dewi
Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8