Di masa muda, beliau pernah mengabdi beberapa tahun menjadi guru sekolah di Sinaboi. Pergolakan politik pada tahun 1965 memupus harapannya mencerahkan masa depan anak-anak Sinaboi. Sekolah ditutup, tante saya harus kembali ke Bagansiapiapi.
Kisah hidup om, suami tante, tidak kalah berliku. Pada tahun 1936, orangtuanya datang ke Bagansiapiapi dari Quan Zhou di daratan Cina.
Bersama beberapa teman, sang ayah membangun usaha memproduksi dan menjual misoa. Misoa adalah mie halus berwarna putih yang panjangnya dapat mencapai 180 cm.
Dalam tradisi Tionghoa, misoa melambangkan panjang umur. Misoa kuah sering ditemukan dalam perayaan ulang tahun, tahun baru Imlek, hingga pernikahan.
Pada tahun 1938, para teman kembali ke Cina karena ada keluarga di sana yang menunggu. Ayahnya membeli dan mengembangkan usaha tersebut.
Dalam kesulitan ekonomi di tahun 1950an, kakaknya meneruskan usaha orangtua mereka. Pada saat itu, om yang sudah lulus SD, ikut membantu membuat misoa karena tidak dapat melanjutkan pendidikan SMP akibat keterbatasan keuangan keluarga.
Usaha misoa berkembang dan mereka mulai memproduksi varian lain seperti mie dan ke tiau ciam (kwetiau kering). Usaha tersebut diberi merek "Tunas" dengan logo "Shuang Xi" (囍) pada tahun 1960an.
"Shuang Xi" (囍) melambangkan kebahagiaan. "Tunas" melambangkan benih yang tumbuh. Secara sederhana, merek dan logo tersebut mengandung harapan agar benih yang ditanam kelak tumbuh menjadi pohon cinta kasih yang berbuah kebajikan dan memberi kebahagiaan bagi lingkungan.
Om tidak menyerah pada keadaan. Beliau tetap melanjutkan SMP di sekolah malam setelah selesai bekerja. Akhirnya, beliau juga mengabdi sebagai guru di sekolah malam tersebut. Kegigihan om diwarisi oleh anaknya yang pernah saya ceritakan di sini.
Tunas yang dirawat om dan tante kini telah tumbuh menjadi pohon cinta kasih yang berbuah subur. Usaha mie "Tunas" milik om kini dikelola oleh generasi ketiga. Meneladan kedua orangtua, anak-anak mereka kini melanjutkan usaha menebar kebajikan sesuai panggilan hidup masing-masing.
Tidak Melupakan Akar
Melintasi zaman, tunas itu telah tumbuh menjadi pohon cinta kasih dan berbuah kebajikan. Namun, tentu saja sebagai bagian dari pohon itu, kami tidak boleh melupakan akar.