Senin siang tanggal 18 Juli 2022. Terik matahari terasa membakar tubuh saat kami tiba di depan rumah Kapitan. Salah satu ikon wisata budaya berlokasi di Jalan Gg. Merdeka nomor 40b, belakang Hotel Lion, Bagansiapiapi.
Untuk mencapai beranda, kami mendaki undakan tangga. Sepintas, rumah panggung ini terlihat seperti rumah Melayu pada umumnya. Beratap pelana dan memiliki ornamen.
Namun, terdapat juga ciri arsitektur tradisional Tionghoa yang dapat dilihat dari tata letak bangunan yang simetris, karakteristik warna merah dan kuning, serta ukiran Fu Lu Shou (Dewa Keberuntungan, Dewa Kekayaan, dan Dewa Panjang Umur) di sekitar pintu.
Perpaduan budaya Melayu dan Tionghoa menjadi keunikan tersendiri. Bangunan yang juga dikenal dengan nama tua chu (rumah besar) ini merupakan peninggalan Oei Hi Tam, kapitan pertama Bagansiapiapi.
Kami beruntung berjumpa dengan Kartono Huang, canggah (keturunan keempat) Sang Kapitan. Pemuda berusia 25 tahun ini menerima kami dengan ramah, bahkan berkenan mengantar kami berziarah ke makam buyutnya.Â
Seperti apa kisah hidup Oei Hi Tam? Apa saja kebajikan yang dapat kita teladani dari beliau?
Oei Liong Tan (Wee Leong Tan), ayah Oei Hi Tam, Kapitan Pertama Bengkalis
Kapitan biasanya dipilih dari keluarga yang berpengaruh, baik secara material maupun spiritual. Sebagai ketua adat dan pemimpin, mereka dimintai pertimbangan dan penyelesaian permasalahan, baik antara orang-orang Tionghoa sendiri maupun persoalan dengan suku bangsa lain.
Di samping itu, pemerintah Hindia Belanda memberi mereka tanggung jawab memungut cukai yang dikenakan kepada orang-orang Tionghoa. Seorang kapitan juga memiliki privilese untuk mendapat hak monopoli perdagangan komoditas tertentu.
Oei Liong Tan lahir tahun 1833, berasal dari daerah Amoy di daratan Cina. Pada tahun 1871, pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya menjadi Kapitan Tionghoa (Kapiteins der Chinezeen) untuk memimpin orang-orang Tionghoa di Afdeeling Siak, Keresidenan Riau, berkedudukan di Bengkalis.
Atas jasa-jasanya mengabdi kepada Belanda selama lebih kurang 29 tahun, pada tahun 1900, ia mendapat penghargaan Imperial Order dan sebuah medali emas dari Ratu Wihelmina, serta dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Tionghoa di Bengkalis. Kediamannya di Kelapapati merupakan bangunan batu pertama yang dibangun di Pulau Bengkalis. [1]
2]
Oei Liong Tan meninggal dunia di Bengkalis pada tahun 1913 dalam usia 78 tahun. Ia meninggalkan 4 anak laki-laki (Wee Koom Poy, Wee Kim Cheng, Wee Ann Kee, dan Wee Chim Yean) dan seorang anak perempuan (Wee Kim Lian). [Jejak Oei Hi Tam dalam Sejarah Industri Perikanan di BagansiapiapiÂ
3]
Ternyata, tidak mudah mencari nama Oei Hi Tam di Internet. Saya akhirnya menemukan nama Oey I Tam dalam sebuah artikel berjudul "The Salt Farm and the Fishing Industry of Bagansiapiapi" karya John G. Butcher yang diterbitkan oleh Cornell University Press pada tahun 1996. [Dikisahkan bahwa pada tahun 1896, Bagansiapiapi mengekspor 8,7 juta kg ikan kering. Awal tahun 1901, mulai diproduksi terasi dan udang kering. Garam merupakan salah satu kebutuhan utama untuk kegiatan produksi tersebut. Oey I Tam adalah pengusaha garam pada saat itu. [4]
Suplai garam memungkinkan produksi ikan kering, terasi, dan udang kering berlangsung dalam skala besar dan berkembang pesat. Para nelayan membentuk kelompok-kelompok yang masing-masing dipimpin oleh seorang towkay bangliau.
Towkay bangliau memiliki perahu, perangkap, dan platform pengeringan, serta menyediakan akomodasi bagi para nelayan ketika mereka tidak melaut. Mereka menjual hasil tangkapan kepada pedagang yang kemudian mengawetkan dan mengekspornya.
Artikel yang sama mencatat bahwa sekitar tahun 1910, terjadi perebutan bisnis garam. Seorang Residen melaporkan dalam sepucuk surat kepada pemerintah Hindia Belanda.
Melansir Wikipedia, pada zaman penjajahan Belanda, Residen adalah penguasa penjajahan tertinggi sekaligus mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di wilayah kekuasaannya. [5] Residen tersebut melaporkan adanya sindikat saingan dalam bisnis garam.
Menurut Residen, sindikat saingan bukan saja bertujuan menguasai bisnis garam, melainkan juga menghancurkan pengusaha garam pada saat itu. Residen menggambarkan pengusaha garam tersebut sebagai "Kapitan Tionghoa Oei Koen Poey yang mantap dan tepercaya. Di bawah kepemimpinannya, Bagansiapiapi telah berkembang menjadi daerah industri perikanan yang penting".
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Oey I Tam dan Oei Koen Poey merujuk kepada orang yang sama. Hal ini senada dengan cerita Rio Almusata, Ketua Bagansiapiapi Tempoe Doeloe, bahwa Oei Hi Tam terlahir dengan nama Oei Koen Poey.
Jejak Kebajikan Oei Hi Tam di Luar Industri Perikanan
Mengenang kebajikan buyutnya, Kartono bercerita tentang kiprah Oei Hi Tam di Bagansiapiapi yang mencakup bidang pendidikan, kesehatan, keuangan, hingga kerohanian.
Dalam bidang pendidikan, beliau ikut mendirikan sekolah bernama King Tjun agar masyarakat bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Â Sekolah King Tjun merupakan cikal-bakal Perguruan Wahidin, salah satu sekolah swasta di Bagansiapiapi saat ini.Â
Dalam bidang kesehatan, beliau ikut memberi dukungan ketika dr. Raden Mas Pratomo hendak mendirikan rumah sakit yang kini dikenal sebagai RSUD dr. RM. Pratomo. Selain itu, beliau juga ikut membangun Panti Sosial di Jalan Batu Hampar.
Masih berhubungan dengan kesehatan, Oei Hi Tam merelakan sebidang tanah miliknya di Jalan Siak digunakan untuk membangun water leading sebagai sarana pengadaan air bersih bagi masyarakat.
Dalam bidang keuangan, pada tanggal 14 September 1915, Oei Hi Tam bersama beberapa tokoh Tionghoa dan Melayu sepakat mendirikan asosiasi Bank Bagan Madjoe. Asosiasi ini bertujuan memberikan kredit dengan bunga rendah kepada para nelayan.Â
Setelah mendapat dukungan modal dari pemerintah Hindia Belanda, Bank Bagan Madjoe resmi beroperasi dengan nama De VisscherijBank Bagan Madjoe pada tanggal 1 Februari 1917. [6] Bank Bagan Madjoe kemudian menjadi cabang ke-2 Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Indonesia pada masa kemerdekaan.
Dalam bidang kerohanian, Oei Hi Tam ikut merehabilitasi Kelenteng Ing Hok Kiong. Kelenteng ini dibangun pada tahun 1823 dan merupakan pusat keagamaan umat Kong Hu Cu di Bagansiapiapi. [7]
Peringatan 100 Tahun Wafatnya Oei Hi Tam
Pada tahun 1920, istana milik Oei Hi Tam terbakar hebat hingga mengalami kerugian senilai 4 juta gulden. Oei Hi Tam bersama keluarganya lalu pindah ke tua chu yang kini dikenal dengan nama Rumah Kapitan hingga meninggal pada tahun 1922.
Selain nama Oey I tam, Oei Koen Poey [4], dan Wee Koom Poy [2], ada juga catatan yang menyebut namanya sebagai Wee Hee Hoon seperti pada kutipan iklan dukacita di bawah ini.
Dari tanggal wafat, atribut Kapitan Tionghoa dan usia, dapat disimpulkan bahwa kutipan di atas merupakan iklan wafatnya Oei Hi Tam. Â
Menurut Kartono, Oei Hi Tam wafat pada tanggal 17 Maret 1922 akibat diracun. Peristiwa tragis yang mengingatkan pada kejamnya persaingan bisnis. Setelah kematiannya, pada tahun 1934 usaha Oei Hi Tam dinyatakan pailit oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 21 Maret 2022, diperingati seabad wafatnya Oei Hi Tam di area makam beliau. Meneladan kebajikan Sang Kapitan, dalam peringatan tersebut diadakan bakti sosial pengobatan gratis, vaksinasi serta donor darah. Selain itu, juga ada 70 paket bantuan sosial kepada masyarakat sekitar, ritual dan doa bersama keluarga.
Melestarikan Rumah Kapitan
Sebagai generasi kelima dari Sang Kapitan, Kartono terpanggil untuk melestarikan warisan budaya leluhurnya. Hal ini tentu memerlukan ketelatenan dan biaya yang tidak sedikit.
Kini, Kartono menjalankan bisnis kopi dengan merek "Oei Hi Tam". Selain melayani pesanan dari beberapa kedai kopi yang ada di Bagansiapiapi, ia juga menjual produknya secara daring ke luar kota. Sungguh suatu kehormatan, Kartono berkenan menjamu kami dengan kopi racikannya sendiri.Â
Wasana Kata
Perpaduan budaya Melayu dan Tionghoa di Rumah Kapitan mengingatkan pentingnya hidup dalam toleransi, tentang menyatukan perbedaan dalam suatu kesatuan yang harmoni.Â
Berbagai ornamen dan pola ukiran dengan motif khusus yang terinspirasi budaya Tionghoa dan Melayu di rumah ini juga dapat dijadikan referensi bagi para mahasiswa arsitektur tentang pentingnya akulturasi budaya dalam konteks lokal. [8]
Semoga kelestarian bangunan ini tetap terawat. Semoga kehadirannya sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah dapat menginspirasi banyak orang tentang indahnya menanam kebajikan dan memanen keharmonisan.
Jakarta, 27 Juli 2022
Siska Dewi
Â
Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H