Mengapa karyawan rata-rata hanya bertahan 1 tahun atau bahkan hanya menyelesaikan masa probation (percobaan), lalu pindah?
Jawaban singkatnya: karyawan tidak merasa engaged dengan perusahaan.
Percakapan di atas terjadi baru-baru ini. Benarkah masih ada fenomena karyawan hanya bertahan 1 tahun atau bahkan hanya menyelesaikan masa percobaan pada saat ini? Benarkah rasa tidak engaged dengan perusahaan menjadi biang keladinya?
Dalam konteks di atas, Anda tentu sepakat bahwa yang dimaksud adalah karyawan Gen Z. Menurut "The Deloitte Global 2021 Millenial and Gen Z Survey", Gen Z adalah mereka yang lahir antara Januari 1995 hingga Desember 2003. (1)
Jika seseorang memasuki dunia kerja saat lulus kuliah, maka Gen Z mulai meramaikan dunia kerja sekitar tahun 2017. Seorang teman, sebut saja namanya Inka, membuka catatan jumlah karyawan yang mengundurkan diri dari perusahaannya antara tahun 2017 -- 2021.
Secara mengejutkan, Inka menemukan bahwa memang ada beberapa yang tidak lulus masa percobaan namun tidak ada seorang pun yang mengundurkan diri sebelum masa kerja mencapai satu tahun dalam kurun waktu tersebut.
Terdapat 4 orang Gen Z yang masih aktif bekerja di perusahaan. Dari 4 orang tersebut, 1 orang bergabung sejak tahun 2017, 1 orang sejak tahun 2018 dan 2 orang sejak tahun 2019. Rentang masa kerja mereka saat ini adalah 3 -- 5 tahun.
Saya tidak ingin buru-buru menyimpulkan bahwa employee engagement di perusahaan Inka sangat baik. Meskipun employee engagement memengaruhi keputusan seseorang untuk mengundurkan diri, tidak semua karyawan yang bertahan lama di perusahaan adalah orang-orang yang engaged.
Dalam penelitian yang saya lakukan pada tahun 2015 saat menyusun tesis, terdapat beberapa responden dengan skor engagement yang rendah namun memilih bertahan karena khawatir tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik jika mereka mengundurkan diri.
Terlepas dari dampaknya terhadap tingkat pengunduran diri, karyawan yang engaged diyakini akan menghasilkan kinerja terbaik dan rela bekerja melampaui deskripsi pekerjaan mereka. Timbul pertanyaan, bagaimana cara meningkatkan engagement pada Gen Z?
Kevin Sheridan, seorang ahli employee engagement, mengemukakan 11 hal yang perlu dipahami agar Gen Z betah bekerja di perusahaan Anda. Saya merangkumnya menjadi 5 faktor utama seperti di bawah ini. (2)
Pertama, Gen Z sangat melek teknologi
Sebagai konsumen, mereka memiliki akses langsung terhadap banyak informasi dengan bantuan teknologi. Sebagai pegawai, mereka mengharapkan kemudahan yang sama.
Dari obrolan dengan beberapa orang Gen Z yang saya kenal, saya menyimpulkan bahwa mereka berharap perusahaan berani berinvestasi di bidang teknologi untuk membantu mereka menjadi produktif.
Memanfaatkan sisi positif teknologi dalam pekerjaan memang baik. Namun, sebagai pendatang baru, Gen Z belum berpengalaman. Mereka menyadari hal itu meskipun tidak begitu suka mengakuinya.
Ketika kami beralih kepada sistem perencanaan sumber daya perusahaan berbasis cloud, saya dengan senang hati belajar bersama para Gen Z di kantor. Mereka memperkaya pemahaman saya tentang teknologi, sementara saya membekali mereka dengan cara menganalisis data dan mengambil keputusan yang tidak dapat dilakukan oleh mesin.
Ya, teknologi dan pengalaman dapat menjadi sinergi ketika para senior mau secara terbuka mengakui kemampuan junior di bidang teknologi dan para junior bersedia dengan rendah hati menghargai pengalaman senior mereka.
Kedua, Gen Z sangat peduli keamanan finansial dan mendambakan pengembangan karier
Gen Z berusia remaja ketika resesi ekonomi melanda dunia pada tahun 2008. Beberapa di antara mereka mungkin harus menelan pil pahit melihat orangtua kehilangan pekerjaan akibat resesi.
Pengalaman tersebut tentu berbekas dalam benak mereka. Hal ini membuat Gen Z jauh lebih menghargai keamanan finansial dibanding generasi sebelum mereka.
Kepedulian akan keamanan finansial membuat mereka mempertimbangkan berulang kali ketika memikirkan rencana pindah kerja. Meskipun menghargai kebebasan seperti milenial, Gen Z lebih memilih stabilitas ketimbang risiko.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Deloitte mengungkapkan bahwa alih-alih bergabung dengan startup atau membangun bisnis sendiri, Gen Z umumnya lebih suka bekerja di perusahaan yang memiliki jenjang karier yang jelas dan menjanjikan pengembangan karier bagi mereka. (3)
Ketiga, Gen Z memiliki kesadaran sosial yang tinggi
Menurut Sheridan, 82% Gen Z menganggap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) sebagai faktor utama dalam memutuskan tempat bekerja.Â
Selain itu, 66% dari generasi ini bersedia menerima gaji yang lebih rendah untuk bekerja di perusahaan yang lebih bertanggung jawab secara sosial.
Survei Deloitte tahun 2021 mendukung temuan ini. Gen Z sangat peduli tentang isu lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan serta kesejahteraan keluarga mereka.
Keempat, Gen Z mendambakan kebermaknaan karier
Selain menghargai uang, pembelajaran dan pengembangan karier, Sheridan menuturkan 81% Gen Z percaya bahwa gelar sarjana diperlukan untuk mencapai tujuan karier seseorang. Selain itu, Gen Z jauh lebih siap untuk fokus pada karier di usia muda ketimbang Milenial.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Annie E. Casey Foundation pada tahun 2016 mengungkapkan 3 fakta menarik tentang Gen Z dibandingkan generasi sebelumnya. (4)
- Tingkat kehamilan remaja 40% lebih rendah
- Penyalahgunaan narkoba dan alkohol 38% lebih rendah
- Tingkat kelulusan dari sekolah menengah 28% lebih tinggi
Tiga fakta di atas menunjukkan kesiapan Gen Z untuk bekerja dengan serius. Sandeep Kohli, partner dan talent leader dari Ernst & Young India berkata, "Tumbuh dewasa di tengah darurat iklim dan pandemi global, Gen Z tidak hanya lebih terhubung secara digital. Mereka juga lebih sadar akan masalah lingkungan, lebih cenderung mengadvokasi orang lain, dan lebih optimis memandang peluang dalam dunia yang selalu berubah." (5)
Hal ini mungkin terkait dengan kesadaran sosial yang tinggi. Gen Z merasakan hidup mereka bermakna ketika karier yang dijalani berdampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
Kelima, Gen Z menghargai keragaman
Sekitar 16% Gen Z yang disurvei oleh Deloitte menyebut "keragaman dan diskriminasi" dalam daftar tiga besar isu yang menjadi keprihatinan mereka. Setidaknya satu dari lima orang merasa sering didiskriminasi secara pribadi karena satu atau beberapa aspek latar belakang mereka.
Etnis atau ras adalah penyebab diskriminasi yang paling umum. Selain itu, ada juga diskriminasi yang disebabkan status sosial ekonomi, disabilitas fisik atau mental, orientasi seksual, identifikasi gender, dan jenis kelamin.
Wasana kata
Selain 5 faktor yang diulas di atas, dari pengalaman pribadi, saya menyimpulkan bahwa Gen Z menghargai senior yang mau mendengarkan dan menghargai pandangan mereka. Dengan menyediakan lingkungan yang didambakan Gen Z, perusahaan akan menerima loyalitas sebagai balasannya.
Sudah saatnya perusahaan memberi tempat lebih untuk keragaman dan inklusi, berinvestasi pada teknologi untuk meningkatkan produktivitas, memberi kesempatan pelatihan dan pengembangan karier bagi karyawan, serta memberdayakan mereka untuk membuat perbedaan bagi lingkungan dan masyarakat.
Jakarta, 03 April 2022
Siska Dewi
Referensi:
- The Deloitte Global 2021 Millennial and Gen Z Survey
- 11 Things You Need to Know about Generation Z
- Welcome to Generation Z
- Generation Z Breaks Records in Education and Health Despite Growing Economic Instability of Families
- Eight in 10 Gen Z workers hopeful of finding meaningful work in 2030: Survey
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI