Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pentingnya Menjadi Insan Terpercaya di Dunia Kerja

1 November 2021   07:30 Diperbarui: 3 November 2021   23:08 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menyepakati target kerja (foto oleh fauxels dari Pexels)

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh The Workforce Institute at UKG terhadap 4000 pegawai dan pemimpin organisasi di 11 negara pada akhir tahun 2020 menyimpulkan bahwa budaya saling percaya merupakan fondasi imperatif bagi setiap organisasi.

Dapatkah budaya saling percaya tumbuh pada hari kerja pertama?

Hasil penelitian bertajuk “Trust in the Modern Workplace” tersebut melaporkan bahwa hanya 25% pemimpin organisasi mengatakan “saya percaya kamu” pada hari kerja pertama seorang pegawai baru.

Demikian pula, hanya 29% pegawai baru mengatakan “aku merasa dipercaya” pada hari kerja pertama. Secara global, 63% responden (pemimpin organisasi dan pegawai) mengatakan bahwa budaya saling percaya memerlukan perjuangan.

Seorang pemimpin perlu berjuang agar anggota tim memandang dirinya sebagai “Pemimpin Terpercaya”. Seorang pegawai baru perlu berjuang agar perusahaan dan atasan memandang dirinya sebagai “Insan Terpercaya”.

Dr. Chris Mullen, Ph.D., SPHR, SHRM-SCP, direktur eksekutif The Workforce Institute at UKG mengingatkan bahwa budaya saling percaya harus terus dipupuk. 

Budaya saling percaya dapat meningkatkan keterlibatan pegawai (employee engagement) dan rasa memiliki (sense of belonging) yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan.

Refleksi tentang menumbuhkan dan menjaga “rasa percaya”

Ilustrasi kopi (foto oleh Anna Urlapova dari Pexels)               
        googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-412');});
Ilustrasi kopi (foto oleh Anna Urlapova dari Pexels) googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-412');});
Refleksi ini menghadirkan kembali dalam kenangan saya sebuah pembicaraan antara seorang gadis menjelang remaja dengan kakeknya di sebuah kedai kopi sekitar empat puluh lima tahun yang lalu. Gadis menjelang remaja tersebut adalah saya.

Saat itu, beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Kakek menasihati saya agar berusaha menjadi insan terpercaya.

Tidak mudah mendapatkan kepercayaan seseorang yang baru kita kenal, kata kakek saya saat itu. Kepercayaan akan kita peroleh setelah kita menunjukkan sikap dan membuktikan bahwa kita adalah seorang yang layak dipercaya.

Lebih tidak mudah lagi, menjaga kepercayaan yang sudah kita peroleh. Karena itu, sekali kita mendapatkan kepercayaan dari seseorang, kita harus menjaganya dengan baik.

Menumbuhkan “rasa percaya” dari hal-hal kecil

Bagi seorang siswa yang baru lulus SD pada saat itu, nasihat untuk menumbuhkan “rasa percaya” tentunya berkaitan dengan hubungan antara murid dan guru. 

Usahakan berangkat ke sekolah lebih awal agar tidak terlambat, perhatikan saat guru mengajar, jangan lupa mengerjakan pe-er.

Selain itu, kakek juga menasihati saya agar selalu jujur. “Jika ya, katakan ya. Jika tidak, katakan tidak.”

“Melakukan kesalahan adalah manusiawi,” kata kakek saya. “Namun, ketika kamu menyadari bahwa dirimu telah berbuat salah, segeralah mengaku. Jangan menutupi kesalahan dengan kebohongan. Jangan pula berusaha mencari kambing hitam.”

Beberapa usaha untuk mendapatkan kepercayaan dari atasan baru

Setelah memasuki dunia kerja, saya berusaha menerjemahkan nasihat kakek tentang menumbuhkan dan menjaga “rasa percaya” ke dalam tindakan nyata. 

Inilah beberapa hal kecil yang saya lakukan.

Pertama, menjaga kredibilitas dengan menampilkan diri apa adanya

Ilustrasi wawancara kerja (foto oleh MART PRODUCTION dari Pexels)
Ilustrasi wawancara kerja (foto oleh MART PRODUCTION dari Pexels)
Saya memahami bahwa CV adalah sarana untuk mempromosikan kualitas diri seseorang pada saat melamar pekerjaan. Namun, saya tidak akan melebih-lebihkan kualifikasi saya hanya demi sebuah CV yang mengesankan.

Saat wawancara, beberapa kali saya dihadapkan pada kalimat, “ceritakan apa kontribusi yang telah kamu berikan pada pekerjaan terdahulu.” 

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya biasa menggunakan metode STAR (Situation-Task-Action-Result) secara ringkas.

Dalam hal action melibatkan kerja tim dan kontribusi orang lain, saya memilih untuk tidak mencuri kredit mereka. Saya akan sampaikan secara terus terang bahwa hasil yang dicapai bukanlah jasa saya seorang diri.

Kedua, menjaga reliabilitas dengan menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saya

Sebagai anggota tim yang baru, saya berusaha memahami apa yang diharapkan oleh atasan ketika saya menerima suatu penugasan. Jika ada target yang kurang terukur atau tidak saya pahami, saya tidak akan malu bertanya.

Ketika saya sudah memahami dengan jelas apa yang diharapkan atasan, saya berkomitmen mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Bagi saya, memenuhi tenggat waktu dan menjaga kualitas kerja sama pentingnya.

Saya juga tidak akan menjanjikan sesuatu yang saya tahu tidak mampu saya penuhi. Rasanya sangat tidak elok membuat atasan senang dengan janji-janji manis di awal hanya untuk melihatnya kecewa dengan hasil yang saya berikan kemudian.

Sebaliknya, saya akan merasa sangat bahagia melihat atasan tersenyum senang ketika saya menyerahkan hasil kerja yang melebihi ekspektasi awalnya.

Ilustrasi menyepakati target kerja (foto oleh fauxels dari Pexels)
Ilustrasi menyepakati target kerja (foto oleh fauxels dari Pexels)

Ketiga, membuka diri terhadap atasan dan rekan kerja

Seiring dengan bertambahnya masa kerja, atasan dan bawahan perlu saling membuka diri agar dapat saling mengenal. Dengan saling mengenal, akan tumbuh rasa saling percaya.

Sebagai seorang introver, saya menyadari bahwa butuh waktu bagi saya untuk menjalin hubungan pertemanan. Namun, sepanjang perjalanan karier, saya bertemu beberapa rekan kerja yang memiliki nilai-nilai hidup yang sama, yang kemudian menjadi teman baik saya bahkan setelah kami tidak lagi bekerja di perusahaan yang sama.

Keempat, berani mengambil risiko

Dalam segala keputusan atau tindakan, selalu ada risiko yang mengiringi. Terkadang, mengatakan kepada atasan tentang apa yang sebenarnya kita pikirkan juga mengandung risiko.

Menurut saya, seseorang perlu memiliki keberanian untuk mengakui situasi yang tidak nyaman secara jujur dan sopan, atau menyampaikan berita sulit dengan bijaksana, sekalipun itu kepada atasan.

Ketika atasan tahu bahwa Anda mengatakan yang sebenarnya, bahkan dalam situasi yang tidak nyaman, hubungan dapat berkembang. Dengan demikian, reputasi Anda di mata atasan pun bertambah baik.

Kelima, berani berterus terang mengenai hal yang belum dikuasai

Dari pengalaman, saya belajar bahwa bersikap jujur mengenai hal yang belum kita kuasai bukanlah sesuatu yang memalukan. Dengan melakukan hal ini, beberapa kali saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan sebelum menerima suatu penugasan.

Akhir kata, mari belajar mendapatkan kepercayaan dari perusahaan dan atasan dengan cara-cara yang mulia. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 November 2021

Siska Dewi

Referensi: satu

Baca juga: Mengenal 9 Ciri Kepribadian Insan Terpercaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun