Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bos Jempolan Mendidik Saya untuk Taat Pajak

14 Juli 2021   10:42 Diperbarui: 25 Februari 2023   14:17 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perhitungan Pajak. (Shutterstock.com via kompas.com)

Tahun ini adalah tahun ke-38 dalam perjalanan karier saya. Ada beberapa bos jempolan yang telah berjalan bersama saya dalam perjalanan sepanjang kurang lebih 450 bulan itu.

Bos jempolan yang akan saya ceritakan dalam artikel ini adalah pemilik sebuah pabrik kimia. Saya bekerja di perusahaan milik beliau  sejak tanggal 1 September 1990 sampai dengan 31 Desember 2003.

Beliau berasal dari generasi veteran, yakni kelahiran tahun 1925-1946. Dibesarkan dalam situasi ketidakpastian ekonomi dan politik pada masa Perang Dunia II, beliau terbiasa bekerja keras.

Sejak usia remaja, beliau sudah bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Setelah terkumpul modal yang cukup, beliau mendirikan pabrik pembuatan sabun batangan. Itulah bisnis beliau yang pertama.

Berikutnya, beliau membangun pabrik asam sulfat. Pabrik kimia tempat saya bekerja adalah pabrik ketiga yang didirikannya. 

Ada beberapa pegawai dari pabrik asam sulfat yang menjadi pemegang saham minoritas di pabrik kimia ini. Menurut bos saya, begitulah cara beliau mengapresiasi pegawai yang baik dan loyal.   

Dalam merekrut tenaga kerja, beliau turun tangan sendiri mewawancarai kandidat yang terseleksi. Saya masih ingat kata-kata beliau saat kami pertama kali bertemu.

"Saya sudah mempelajari hasil tes psikologi kamu. Saya harap kamu betah bekerja di sini dan saya ingin kamu tahu bahwa posisi "Chief Accountant" hanya langkah awal untukmu. Saya melihat potensi dalam dirimu untuk dikembangkan menjadi seorang "Finance and Accounting Manager" dan mungkin lebih. Tentu saja kita perlu bekerja sama dalam hal ini."

Saat menulis artikel ini, pertemuan pertama itu kembali melintas di benak saya bagaikan adegan film. Seorang pria di akhir usia 50-an, menjabat erat tangan seorang gadis muda menjelang usia 25 tahun. Saya melihat pijar mata dan senyum penuh harapan di wajah mereka. 

"Di perusahaan ini, kita menerapkan sistem kekeluargaan. Kamu boleh menyapa para senior, termasuk atasanmu dengan 'Mbak' atau 'Mas' agar terkesan lebih akrab. Sapaan 'Bapak' atau 'Ibu' hanya untuk mereka yang seusia kedua orangtua kamu."

Begitulah cara bos jempolan itu mengenalkan salah satu budaya perusahaan kepada saya. Budaya kekeluargaan.

Ilustrasi Hari Pajak Nasional (sumber: twitter Ditjen Pajak via Kompas.com)
Ilustrasi Hari Pajak Nasional (sumber: twitter Ditjen Pajak via Kompas.com)

Beliau juga adalah seorang yang visioner. Pada tahun 1990-an, ketika mayoritas pemilik perusahaan hanya memandang fungsi akuntansi sebagai fungsi pencatatan dan pengolahan data, beliau menyampaikan kepada saya sebuah harapan yang tidak lazim pada saat itu.

"Saya ingin kamu bukan hanya mencatat dan mengolah data, melainkan juga menganalisis dan menginterpretasi data. Jangan takut menyampaikan jika kamu melihat ada indikasi penyimpangan terhadap prosedur ataupun peluang perbaikan dan pengembangan."

Seiring bertambahnya masa kerja, saya mulai memahami gaya kepemimpinan bos saya. Beliau cenderung menerapkan gaya kepemimpinan otoritas (komando dan kontrol yang ketat), termasuk dalam hal perpajakan.

"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. "

Beliau mengucapkan kalimat di atas sambil tersenyum memandang saya. Kalimat yang membuat saya terpana. Beliau adalah seorang Buddhis, tetapi beliau mengutip ucapan Yesus dengan sangat lugas.

"Jadi, kita harus taat pajak. Administrasikan dengan rapi seluruh PPN, demikian juga PPh 21. Pegawai kita pasti suatu hari ingin memiliki rumah, mobil, dan aset lainnya. Jika kita tidak taat menyetor dan melapor PPh 21, bagaimana cara para pegawai mempertanggungjawabkan asal usul uang yang mereka gunakan untuk membeli aset mereka?"

Kini, setelah 18 tahun meninggalkan perusahaannya, didikan beliau agar saya selalu taat pajak, masih terpatri erat dalam hati saya. Kartu NPWP saya adalah bukti yang kasat mata bahwa saya pernah bekerja untuk seorang bos jempolan yang luar biasa.

Pada kartu NPWP saya tertera kata-kata "Tanggal terdaftar: 24-09-2001". Pada tahun 2001, belum banyak individu yang memiliki NPWP. 

Kami adalah sedikit dari pegawai yang langsung mengurus NPWP pada saat pertama kali pemerintah mewajibkan mereka yang berpenghasilan di atas PTKP untuk memiliki NPWP, meskipun hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja.

Saya sungguh bersyukur bahwa Tuhan pernah mempertemukan saya dengan bos yang mendidik saya untuk menjadi orang bijak. Ya, orang bijak taat pajak.

"Selamat Hari Pajak Nasional".

Jakarta, 14 Juli 2021

Siska Dewi

Baca juga: 

  1. Pada Usia 25 Tahun, Saya Melepas Karier yang Sudah Mapan
  2. Ini Syarat agar Deviden Bebas Pajak
  3. Cara Menghitung PPh 21 Menggunakan Microsoft Excel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun