“Saya dididik untuk berbakti kepada orangtua, Bu. Jadi, setiap kali ayah saya minta uang, saya harus mentransfer sejumlah uang sesuai permintaannya.”
Gadis muda di hadapan saya menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Air matanya berlinang membentuk aliran sungai kecil di pipinya.
Saya mendorong sekotak tissue di meja saya ke arahnya. Dia menarik selembar tissue dan menghapus air matanya.
Sejurus kemudian, dia berbisik lirih, “Maaf, Bu, jadi curhat masalah pribadi.”
“Tidak apa-apa,” saya tersenyum menenangkan dirinya. “Yang penting, setelah curhat, kamu merasa lega.”
***
Gadis muda itu, sebut saja namanya Tiwi, adalah pegawai di salah satu perusahaan afiliasi kami. Dia baru saja mendapat kenaikan tunjangan.
Namun, Tiwi merasa hal tersebut tidak sesuai dengan ekspektasinya. Pertama, yang dia harapkan adalah kenaikan gaji, bukan tunjangan.
Kedua, tambahan take home pay yang diberikan kepadanya tidak sebesar yang diharapkannya. Oleh sebab itu, atasannya meminta saya memberinya sesi konseling.
Saya sudah mempelajari data remunerasi yang diterima Tiwi. Gaji pokoknya 10% di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta. Masa kerjanya dua tahun lebih tiga bulan, pendidikan terakhirnya D3.
Terdampak oleh pandemi Covid-19, bisnis perusahaan mengalami penurunan sebesar 80%. Perusahaan terpaksa mengurangi jumlah pegawai, terutama fungsi administrasi.
Kini, Tiwi menangani kegiatan administrasi pembukuan, keuangan, pembelian, dan personalia. Dia merasa beban kerjanya bertambah dan menghadap atasannya untuk meminta kenaikan gaji.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, atasannya memutuskan untuk memberinya tunjangan sebesar 35% dari gaji pokoknya. Dengan demikian, total take home pay Tiwi kini berjumlah 48% di atas UMP Jakarta.
Menurut atasannya, beban kerja Tiwi sebetulnya tidak bertambah, jika tidak ingin dikatakan berkurang. Namun, dia memaklumi bahwa pekerjaan Tiwi saat ini lebih kompleks dibanding sebelumnya, karena jenis pekerjaannya lebih beragam.
Saya bertanya berapa besar kenaikan take home pay yang diharapkan Tiwi. Dia menyebut satu angka yang membuat saya terdiam sejenak.
Sejujurnya ekspektasi Tiwi tidak sebanding dengan kontribusi yang dia berikan, terlalu tinggi menurut saya. Akhirnya saya paham mengapa atasannya meminta saya memberinya sesi konseling.
Ekspektasi gaji: kontribusi versus kebutuhan
Saya mulai dengan bertanya mengapa Tiwi berpikir bahwa dia layak diberi remunerasi sebesar ekspektasinya.
Saya sampaikan bahwa total take home pay yang dia terima saat ini sudah dalam range ideal. Saya ingin memahami, hasil kerja yang mana yang membuat Tiwi merasa bahwa dia masih underpaid.
“Saya hanya coba-coba saja saat menyebut angka tersebut kepada atasan saya dan kepada ibu." jawabnya jujur.
“Coba-coba? Maksudmu, kalau dikabulkan syukur, kalau tidak dikabulkan tidak apa-apa?”
“Kalau tidak dikabulkan, saya sedang berpikir apakah saya akan take it or leave it.”
“Take it or leave it? Apakah kamu sudah mendapat tawaran kerja lain yang menawarkan paket remunerasi yang lebih baik?”
“Tidak, Bu. Saya bahkan belum melamar ke mana-mana.”
“Tiwi, kamu boleh cerita kepada saya jika kamu ada masalah. Saya merasa kamu sebetulnya tahu bahwa take home pay kamu sekarang sudah pas dengan kontribusi yang kamu berikan kepada perusahaan. Kamu juga tahu bahwa di luar sana, belum tentu kamu bisa mendapakan remunerasi seperti yang kamu terima saat ini. Apa yang mendorong kamu coba-coba meminta lebih?”
“Bu, saya butuh uang. Adik bungsu saya tahun ini lulus SMP dan ingin melanjutkan ke SMA. Saya khawatir tidak cukup uang untuk membayar uang pendaftaran dan uang sekolah.”
“Maaf, Tiwi, kalau boleh saya tahu, apakah orangtuamu masih ada?”
“Ibu saya meninggal empat tahun yang lalu, Bu.”
Oh, saya menelan ludah, “Ayahmu?”
“Pergi meninggalkan kami setelah usahanya bangkrut akibat pandemi.”
“Oh, berarti belum lama …”
“Iya, kurang lebih setahun.”
“Kamu anak sulung, ya? Adikmu berapa orang?”
“Iya, Bu, saya anak sulung. Adik saya dua orang. Yang bungsu tahun ini lulus SMP dan ingin melanjutkan ke SMA. Yang tengah sudah lama putus sekolah. Dia hanya lulus SD. Sejak lulus SD hingga saat ini, dia menganggur saja.”
“Adik-adikmu tinggal di mana?”
“Di kampung, Bu.”
“Siapa yang membiayai hidup mereka?”
“Saya.”
Ya, Tuhan! Saya pandangi gadis muda yang kini tertunduk di depan saya. Usianya belum tiga puluh tahun. Tiwi, dalam usia yang masih relatif muda, dengan semua beban hidup yang harus dia tanggung, masih sempatkah memikirkan dirinya sendiri?
“Kamu dan adik-adik masih ada kontak dengan ayah? Apa pekerjaan ayahmu sekarang?”. Dengan bertanya demikian, saya berharap mendapat jawaban bahwa sedikit banyak Tiwi masih dapat berbagi beban dengan ayahnya.
“Ayah terkadang masih kontak saya, Bu. Hanya jika beliau ingin minta uang!”
Deg! Sungguh jawaban yang di luar dugaan saya. “Apakah kamu ikuti permintaannya?”
“Saya dididik untuk berbakti kepada orangtua, Bu. Jadi, setiap kali ayah saya minta uang, saya harus mentransfer sejumlah uang sesuai permintaannya.”
Konsep “bakti kepada orangtua” dan “tanggung jawab anak sulung” yang salah kaprah?
Saya mencoba membayangkan bagaimana Tiwi mengatur keuangannya. Tiwi bercerita bahwa sudah tiga bulan atasannya membayarkan katering makan siang dan makan malam untuk dirinya. Dengan demikian, dia dapat menghemat biaya makan.
Alokasi gaji Tiwi untuk dirinya sendiri hanya membeli pulsa, membayar kost dan transpor pulang pergi ke kantor.
Dia mengaku tidak setiap tahun membeli baju baru. Seluruh sisa gaji Tiwi habis untuk membiayai hidup adik-adiknya dan memenuhi permintaan ayahnya.
Saya sarankan agar dia mendorong adik-adiknya untuk bekerja. Saya juga sarankan agar dia sesekali tidak perlu memenuhi permintaan ayahnya.
Namun, berulang kali dia mengatakan bahwa dia dididik untuk berbakti kepada orangtua dan sebagai anak sulung dia harus bertanggung jawab atas adik-adiknya.
Remunerasi: perhitungkan benefit in kind
Atasan Tiwi mengatakan kepada saya bahwa katering yang diberikannya secara cuma-cuma tidak akan ditarik selama Tiwi masih bekerja dalam tim yang dipimpinnya. Selain itu, perusahaan juga memberikan asuransi rawat inap bagi setiap pegawai.
Saya minta Tiwi menghitung biaya makan yang dihematnya dengan adanya katering tersebut dan menambahkan ke dalam penghasilannya. Dia agak terkejut mendapati bahwa total remunerasi yang diterimanya sudah mendekati ekspektasinya.
Kepada Tiwi, saya berikan pengertian bahwa jika saat ini dia tidak merangkap pekerjaan, maka beban kerjanya hanya 20% dari kondisi sebelum pandemi. Saya yakin dia akan jenuh karena banyak menganggur.
Dengan merangkap pekerjaan, Tiwi mendapat kesempatan belajar banyak hal. Pelajaran dan pengalaman yang diperoleh, juga perlu dihitung sebagai benefit in kind.
Berikan kail, bukan ikan
Akan halnya adik Tiwi yang putus sekolah, saya minta dia mendorongnya agar mau mencari pekerjaan.
Usia adik Tiwi sudah hampir dua puluh tahun. Usia yang cukup dewasa untuk menyadari bahwa dia tidak mungkin selamanya menggantungkan hidup kepada kakaknya.
Saya berikan link artikel tentang perjuangan hidup Kompasianer Alfira Azzahra untuk dibagikan kepada adiknya. Artikel tersebut dapat dibaca di sini.
Saya yakinkan Tiwi bahwa jika Fira bisa, maka adik Tiwi pasti bisa juga. Kata kuncinya hanya dua: kemauan dan usaha.
“Semua anak saya pernah magang saat libur panjang setelah lulus SMA sebelum mulai kuliah. Kenapa? Karena saya ingin mereka merasakan dunia kerja. Saya memberi mereka kail dan mendorong mereka untuk belajar memancing, agar mereka mampu bertahan pada saat saya sudah tidak mampu lagi memberi mereka ikan.”
***
Sesi konseling berakhir dan Tiwi tersenyum lega. Dia memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan adik-adiknya dan mendorong mereka agar mulai belajar mandiri.
“Akhirnya saya mengerti bahwa selama ini saya salah di dalam menunjukkan kasih sayang kepada adik-adik saya. Apa yang saya pikir baik untuk mereka, ternyata buruk karena tidak mendidik.” katanya.
Saya bersyukur melihat Tiwi menyadari kekeliruan pandangannya tentang tanggung jawab anak sulung terhadap adik-adiknya. Akan hal ayahnya, saya memutuskan tidak terlalu banyak mengintervensi.
Saya mengerti bahwa Tiwi membutuhkan waktu untuk proses discernment. Saya sarankan kepada Tiwi agar ia mendengarkan suara hatinya, agar ia dapat melihat dengan jernih konsep "berbakti kepada orangtua". Saya akan berdoa semoga Tiwi dapat membuat keputusan yang bijak.
Di mata saya, Tiwi adalah gadis muda yang tangguh, pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Hanya saja, didikan salah kaprah tentang konsep "berbakti kepada orangtua" dan "bertanggung jawab atas adik-adik" telah membuatnya melupakan target hidupnya sendiri.
Saya sarankan kepada Tiwi untuk mulai memikirkan dirinya sendiri. Usianya kini hampir 28 tahun. Sudah saatnya dia mulai memikirkan target hidupnya dan menyusun rencana aksi untuk mencapai target tersebut serta mengimplementasikannya.
Saya berdoa semoga Tiwi berani mengambil keputusan yang tepat, untuk sebuah masa depan yang lebih baik.
Jakarta, 27 April 2021
Siska Dewi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H