Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kisahku: Antara Kanker Rahim dan Hiperplasia Endometrium

23 April 2021   20:22 Diperbarui: 24 April 2021   13:58 3244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kuretase - foto: popmama.com

Pagi itu matahari bersinar cerah. Cahayanya menerobos masuk ke dalam ruang kerja saya melalui dua jendela kaca yang cukup lebar.

Ada tiga alasan yang membuat saya mensyukuri keberadaan kedua jendela kaca itu. Pertama, menghemat biaya listrik karena saya tidak perlu menyalakan lampu sepanjang hari kecuali pada musim hujan dan langit mendung.

Kedua, dengan menghemat listrik, selain berkontribusi terhadap efisiensi biaya kantor, saya juga berkontribusi dalam gerakan mencintai bumi. 

Ketiga, saya dapat menyerap vitamin D dari sinar matahari yang menerpa tubuh saya saat membuka jendela setiap pagi.

Salah satu pojok ruang kerja saya - foto: dokumentasi pribadi
Salah satu pojok ruang kerja saya - foto: dokumentasi pribadi
Ada apa dengan tubuh saya?

Pagi itu, hari Kamis terakhir bulan Juni tahun 2008. Saya sedang mempersiapkan bahan presentasi untuk rapat direksi yang akan digelar pada siang hari ketika tiba-tiba miss V menyemburkan cairan panas dalam jumlah yang sangat banyak hingga membasahi rok saya.

Tergesa saya meraih pembalut dan panty yang ada di laci meja kerja. Itu adalah hari ke-12 menstruasi dan darah yang keluar cukup banyak. Karena itu, saya menyediakan kedua benda tersebut di dalam laci.

Setengah berlari saya menuju kamar kecil yang (untungnya) berada di dalam ruang kerja. Saya menarik nafas panjang, berusaha menurunkan kecepatan detak jantung yang tiba-tiba seperti lepas kendali.

Badan saya sedikit gemetar ketika saya melepas pembalut yang sudah basah dan berat serta panty yang sudah penuh noda darah, lalu menggantinya dengan yang baru. Setelah agak tenang, saya menelepon suami yang sedang berada di kampus.

Ilustrasi menelepon - foto: freepik/diana.grytsku
Ilustrasi menelepon - foto: freepik/diana.grytsku
Saat itu, semua anak saya sedang berada di sekolah. Di rumah hanya ada ibu dan dua asisten rumah tangga. 

Saya tidak ingin membuat ibu khawatir. Jadi, saya meminta bantuan suami untuk pulang ke rumah, menyiapkan baju kerja saya, dan membawanya ke kampus. Saya akan meminta sopir untuk ke kampus guna mengambil baju tersebut.

Kemudian saya menelepon sopir, memintanya ke kampus untuk mengambil titipan dari suami buat saya. Lalu saya menelepon manajer keuangan yang ruang kerjanya tepat di sebelah ruang kerja saya. Sebut saja namanya Wina.

Saya meminta Wina mengunci pintu ruang kerja saya. Kepada Wina, saya juga meminta bantuan untuk menerima baju ganti dari sopir dan membawakan kepada saya. 

Sesudah itu, saya menunggu di dalam kamar kecil. Tidak mungkin saya duduk kembali di kursi kerja karena rok sudah basah oleh darah.

Detik-detik penantian tersebut terasa sangat mencekam. Apa sesungguhnya yang terjadi pada diri saya? 

Saya memang sedang menstruasi dan darah yang keluar memang banyak, tetapi belum pernah keluar darah sedemikian banyak hingga membasahi sebagian besar rok saya.

Ketukan di pintu menyadarkan saya dari lamunan. Ketika saya membuka pintu, Wina mengangsurkan sebuah tas kertas berisi pakaian dan memandang saya dengan khawatir.

"Yakin tidak mau pulang, Bu?"

"Rapat direksi tidak mungkin dibatalkan, Win. Lagi pula, saya merasa baik-baik saja. Saya akan pulang setelah rapat direksi selesai." Saya beri dia seulas senyuman.

"Ibu harus ke dokter."

"Ya, saya memang berencana langsung ke dokter dalam perjalanan pulang nanti. Terima kasih, Win."

Saya divonis kanker Rahim

Ilustrasi ginekolog - foto: Shutterstock/AnnaVel
Ilustrasi ginekolog - foto: Shutterstock/AnnaVel
Sore itu, selesai rapat direksi, saya langsung menuju tempat praktik seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi. 

Tiga bulan sebelumnya, seorang kolega terdeteksi kanker rahim dan dokter ini mengoperasinya dengan sukses.

"Kamu harus dioperasi," kata dokter setelah melakukan pemeriksaan.

"Operasi? Kenapa, Dok?", tanya saya dengan ekspresi seperti orang bodoh.

"Ada benjolan di rahim kamu. Itu kanker. Rahimmu harus diangkat."

Vonis yang diucapkan dengan ekspresi datar itu mengharubirukan perasaan saya. Rasanya seperti mimpi buruk.

"Tidak ada opsi lain, Dok?", tanya saya berusaha menawar.

"Tidak. Kamu harus memutuskan dalam 24 jam. Ini serius. Secepatnya kita harus jadwalkan untuk operasi pengangkatan rahim."

"24 jam? Secepat itu? Saya perlu diskusi dengan suami dan keluarga dulu, Dok."

"Mana suamimu? Penyakitmu serius. Kenapa datang sendiri tanpa didampingi suami?"

"Dok, saya dalam perjalanan pulang dari kantor. Saya merasa sehat dan saya pikir ini hanya pemeriksaan biasa. Tidak apa-apa kan, tidak didampingi suami? Tetapi jika saran dokter adalah operasi pengangkatan rahim, itu adalah keputusan besar. Saya harus mendiskusikan dengan suami terlebih dahulu."

"Baik. Jangan lupa. Harus cepat ambil keputusan sebelum penyakitmu bertambah parah."

Mencari second opinion   

Ilustrasi USG transvaginal - foto: Alomedika.com
Ilustrasi USG transvaginal - foto: Alomedika.com
Entah mengapa, saya merasa tidak yakin dengan vonis dokter tersebut. Barangkali ini yang dinamakan fase penyangkalan. Saya merasa diri saya baik-baik saja. Ah, mungkin dokter salah diagnosis!

Keesokan harinya, saya cuti kerja. Saya datangi klinik spesialis sebuah rumah sakit yang terdekat dari rumah. Kepada resepsionis, saya sampaikan bahwa saya mencari dokter obgyn "siapa saja yang available". Lalu, saya dipertemukan dengan seorang dokter yang biasa disapa dokter BJ.

Dokter BJ menyambut saya dengan ramah. Setelah saya ceritakan kronologi yang membuat saya mengunjunginya, beliau melakukan USG transvaginal.

Beliau menjelaskan sambil menunjuk gambar di monitor, "Saya tidak melihat ada benjolan, Sis. Tetapi memang dinding rahimmu menebal. Ini Namanya "hiperplasia endometrium". Kita bisa lakukan kuretase lalu kita biopsi. Jika tidak diperlukan, kita tidak angkat rahim."

Mencari third opinion       

Ilustrasi USG - foto: alodokter.com
Ilustrasi USG - foto: alodokter.com
Penjelasan dokter BJ membuat saya bernafas lega. Namun, karena diagnosis dokter BJ berbeda dengan dokter pertama, timbul pro-kontra dalam keluarga saya. Bagaimana jika diagnosis dari dokter pertama yang benar? Bukankah penanganan terhadap kanker harus dilakukan secepatnya?

Saya memutuskan untuk mencari third opinion. Seorang dokter obgyn di sebuah rumah sakit bersalin di Jakarta Utara menjadi pilihan saya. 

Pasien dokter tersebut sangat ramai. Saya harus sabar menunggu selama beberapa jam sebelum bertemu.

Sang dokter mengonfirmasi bahwa saya memang mengalami "hiperplasia endometrium", bukan kanker rahim. Beliau menyarankan saya untuk kembali kepada dokter BJ guna menjalani kuretase.

Hiperplasia Endometrium

Dilansir klikdokter.com, "hiperplasia endometrium" umumnya terjadi karena hormon estrogen yang terlalu tinggi di dalam tubuh. 

Hormon estrogen yang terus-menerus dalam keadaan tinggi mengakibatkan sel-sel yang menyusun endometrium semakin tebal dan banyak, dan menjadi berbentuk tidak normal.

Bila pertumbuhan sel endometrium tersebut berlangsung terus dan tak terkendali, lama kelamaan hiperplasia akan berubah menjadi kanker endometrium. 

Dokter BJ menyarankan agar saya secepatnya dikuret. Beliau juga menyarankan agar sebagian jaringan hasil kuret diambil untuk biopsi.

Ilustrasi kuretase - foto: popmama.com
Ilustrasi kuretase - foto: popmama.com

Penanaman IUD di dalam Rahim

Dokter BJ menjelaskan bahwa "hiperplasia endometrium" dapat berulang. Beliau menyarankan agar saya menggunakan sejenis alat KB IUD yang terbuat dari plastik dan di dalamnya terdapat salah satu bentukan hormon progestin.

IUD ini ditanam di dalam rahim. Ketika hormon estrogen saya terlalu tinggi, IUD ini akan menyemprotkan hormon progestin untuk menetralkannya. Alat ini bertahan selama lima tahun.

Awal Juli 2008, saya menjalani kuretase pertama. Sungguh bersyukur bahwa hasil biopsi tidak memperlihatkan tanda-tanda kelainan sehingga saya tidak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Tidak lama setelah kuretase, saya menjalani penanaman IUD pertama.

Ilustrasi IUD yang tertanam di dalam rahim - foto: www.fpv.org.au
Ilustrasi IUD yang tertanam di dalam rahim - foto: www.fpv.org.au

Dikuret untuk kedua kalinya

Awal Juli 2013, saya menjalani pelepasan IUD. Saat itu saya belum menopause. Namun, saya memutuskan untuk tidak langsung memasang IUD pengganti. Niat saya, ingin membiarkan tubuh berproses.

Dua bulan kemudian, gejala "hiperplasia endometrium" muncul lagi. Darah menstruasi jauh lebih banyak dari yang biasa dialami. 

Menstruasi berlangsung lebih dari sepuluh hari. Jarak antara haid pertama bulan ini dengan haid pertama di bulan berikutnya kurang dari 21 hari.

Saat itu anak kedua saya sedang kuliah di Malaysia. Atas saran seorang tante, saya memutuskan untuk konsultasi dengan dokter obgyn langganannya di Malaka.

Dokter mengonfirmasi bahwa dinding rahim saya memang sudah kembali menebal dan menyarankan agar segera dikuret. Beliau juga menyarankan agar sebagian jaringan yang dikuret diambil untuk biopsi. 

Syukur kepada Allah, hasil biopsi tidak menunjukkan tanda-tanda keganasan. Namun, pada kontrol berikutnya sepuluh hari kemudian, tampak lagi tanda-tanda penebalan dinding rahim.

Dokter menyarankan agar saya memasang IUD sekali lagi. Kami sepakat pemasangan IUD dilakukan di tempat praktik dokter BJ agar saya tidak perlu bolak-balik Jakarta-Malaka untuk kontrol.

Kembali dari Malaysia, saya kembali menjalani pemasangan IUD. Pertengahan tahun 2018, IUD kedua dilepas. Saya bersyukur bahwa setelah itu tidak ada lagi gangguan hingga saat ini.

Hikmah yang saya petik dari pengalaman ini

Pertama, tidak apa-apa mencari second opinion

Saat divonis kanker rahim, saya tidak panik. Karena tidak yakin dengan diagnosis dokter pertama, saya mencari opini kedua. Karena opini kedua berbeda dengan opini pertama, saya mencari opini ketiga.

Bagaimanapun, dokter juga manusia. Setiap manusia ada kemungkinan melakukan kesalahan. Jika kita ragu dengan diagnosis seorang dokter, adalah hak pasien untuk mencari second opinion.

Kedua, jangan abaikan pemeriksaan rutin Kesehatan

Di tempat kerja saya, pegawai wajib menjalani medical check-up (MCU) dua tahun sekali. Untuk pegawai yang sering bertugas ke proyek dan pegawai yang sudah berusia 40 tahun ke atas, MCU diwajibkan setahun sekali.

Dengan melakukan MCU, kita dapat mengetahui sejak dini penyakit apa saja yang sudah bersarang atau kemungkinan menyerang tubuh kita. Penyakit yang terdeteksi lebih dini akan lebih mudah diobati.

Ketiga, jaga asupan makanan dan kendalikan berat badan

Berat badan ideal perlu tetap dijaga agar tidak menimbulkan berbagai penyakit metabolik, dan tidak mencetuskan kejadian penyakit yang sudah ada.

Pengendalian berat badan perlu dilakukan dengan benar dan asupan makanan bergizi tetap perlu dijaga. Hal ini untuk meningkatkan daya tahan tubuh kita.

Keempat, usahakan melakukan aktivitas fisik secara teratur

Aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan daya tahan tubuh. Latihan dan aktivitas fisik memberikan oksigen dan nutrisi ke jaringan dan membantu sistem kardiovaskular bekerja lebih teratur.

Demikian sekelumit kisah yang saya alami ketika divonis menderita kanker rahim. Semoga bermanfaat.

Referensi: satu

Baca juga: 

  1. Anugerah yang Terindah
  2. Permata Hati, Anugerah dan Amanah dari Sang Pencipta (1)
  3. Permata Hati, Anugerah dan Amanah dari Sang Pencipta (2)
  4. Permata Hati, Anugerah dan Amanah dari Sang Pencipta (3)

Jakarta, 23 April 2021

Siska Dewi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun