Keesokan harinya, saya cuti kerja. Saya datangi klinik spesialis sebuah rumah sakit yang terdekat dari rumah. Kepada resepsionis, saya sampaikan bahwa saya mencari dokter obgyn "siapa saja yang available". Lalu, saya dipertemukan dengan seorang dokter yang biasa disapa dokter BJ.
Dokter BJ menyambut saya dengan ramah. Setelah saya ceritakan kronologi yang membuat saya mengunjunginya, beliau melakukan USG transvaginal.
Beliau menjelaskan sambil menunjuk gambar di monitor, "Saya tidak melihat ada benjolan, Sis. Tetapi memang dinding rahimmu menebal. Ini Namanya "hiperplasia endometrium". Kita bisa lakukan kuretase lalu kita biopsi. Jika tidak diperlukan, kita tidak angkat rahim."
Mencari third opinion   Â
Saya memutuskan untuk mencari third opinion. Seorang dokter obgyn di sebuah rumah sakit bersalin di Jakarta Utara menjadi pilihan saya.Â
Pasien dokter tersebut sangat ramai. Saya harus sabar menunggu selama beberapa jam sebelum bertemu.
Sang dokter mengonfirmasi bahwa saya memang mengalami "hiperplasia endometrium", bukan kanker rahim. Beliau menyarankan saya untuk kembali kepada dokter BJ guna menjalani kuretase.
Hiperplasia Endometrium
Dilansir klikdokter.com, "hiperplasia endometrium" umumnya terjadi karena hormon estrogen yang terlalu tinggi di dalam tubuh.Â
Hormon estrogen yang terus-menerus dalam keadaan tinggi mengakibatkan sel-sel yang menyusun endometrium semakin tebal dan banyak, dan menjadi berbentuk tidak normal.
Bila pertumbuhan sel endometrium tersebut berlangsung terus dan tak terkendali, lama kelamaan hiperplasia akan berubah menjadi kanker endometrium.Â
Dokter BJ menyarankan agar saya secepatnya dikuret. Beliau juga menyarankan agar sebagian jaringan hasil kuret diambil untuk biopsi.