"Kamu harus dioperasi," kata dokter setelah melakukan pemeriksaan.
"Operasi? Kenapa, Dok?", tanya saya dengan ekspresi seperti orang bodoh.
"Ada benjolan di rahim kamu. Itu kanker. Rahimmu harus diangkat."
Vonis yang diucapkan dengan ekspresi datar itu mengharubirukan perasaan saya. Rasanya seperti mimpi buruk.
"Tidak ada opsi lain, Dok?", tanya saya berusaha menawar.
"Tidak. Kamu harus memutuskan dalam 24 jam. Ini serius. Secepatnya kita harus jadwalkan untuk operasi pengangkatan rahim."
"24 jam? Secepat itu? Saya perlu diskusi dengan suami dan keluarga dulu, Dok."
"Mana suamimu? Penyakitmu serius. Kenapa datang sendiri tanpa didampingi suami?"
"Dok, saya dalam perjalanan pulang dari kantor. Saya merasa sehat dan saya pikir ini hanya pemeriksaan biasa. Tidak apa-apa kan, tidak didampingi suami? Tetapi jika saran dokter adalah operasi pengangkatan rahim, itu adalah keputusan besar. Saya harus mendiskusikan dengan suami terlebih dahulu."
"Baik. Jangan lupa. Harus cepat ambil keputusan sebelum penyakitmu bertambah parah."