"Sikapmu terhadap diri sendiri itu bukan hemat. Kamu pelit!" Komentar ini sering saya dengar dari kolega dan atasan saya, sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu.
"Jangan terlalu keras terhadap diri sendiri!" Ini adalah saran dari seorang sahabat saya pada saat itu.
Mengapa para kolega mengatakan saya 'pelit' dan mengapa sahabat saya mengingatkan saya untuk tidak terlalu 'keras' terhadap diri sendiri? Inilah cerita saya.
Hidup ini keras, jangan foya-foya!
Saya masih ingat, saat duduk di kelas dua SMP, seorang teman sekelas meminta saya menjadi teman belajar bagi dirinya. Dia meminta saya datang ke rumahnya seminggu tiga kali saat pulang sekolah, sesuai jadwal pelajaran matematika.
Di rumahnya, kami mengerjakan pekerjaan rumah. Sering kali dia minta saya menjelaskan kepadanya hal-hal yang dia kurang mengerti. Untuk kegiatan tersebut, dia memberi saya honor layaknya seorang guru les. Awalnya saya menolak, tetapi dia memaksa saya menerima. Itu adalah cara dia mengapresiasi saya, katanya.
Pada hari ulang tahun saya, bersama seorang teman yang lain, dia mentraktir saya makan di restoran bakmi favoritnya dan nonton bioskop. Saya masih ingat komentar ibu saya pada saat itu, "Begitulah cara anak orang kaya menghamburkan uang orangtua mereka. Mama izinkan kamu, hanya untuk sekali ini saja. Hidup ini keras, jangan foya-foya!"
Ibu saya tak pernah memanjakan dirinya
Hingga beliau menutup mata untuk selamanya, saya tidak pernah melihat ibu saya memanjakan dirinya. Sesekali beliau membuat baju baru, tetapi saya tahu bahwa hal itu bukan dalam rangka memanjakan diri, namun karena beliau memang butuh.
Sebelum saya menikah, saya tidak pernah membeli baju untuk diri sendiri. Sesekali, para om dan tante menghadiahi saya baju. Selain baju-baju hadiah tersebut, hampir semua baju yang saya pakai adalah hasil jahitan ibu. Terkadang ibu membelikan saya baju di pasar dekat rumah, jika beliau menemukan baju yang menurut beliau bagus dan murah.
Saya sering digelayuti rasa bersalah
Bagi saya, memilih kebutuhan sandang untuk diri sendiri adalah hal yang paling sulit. Entah membeli baju, tas, atau sepatu, saya selalu membutuhkan seseorang untuk memberi pendapat. Apakah model ini cocok untuk saya? Apakah harganya tidak terlalu mahal?
Sebelum menikah, seluruh gaji yang saya peroleh, saya serahkan kepada ibu. Beliau akan memberikan sejumlah uang kepada saya untuk kebutuhan makan siang di kantor.
Jika saya butuh baju baru, beliau menjahit untuk saya. Jika saya butuh tas dan sepatu baru, beliau akan mengajak saya ke pasar. Di sana, saya dibelikan tas dan sepatu yang menurut beliau bagus dan murah.