Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Imlek 2021 dan Rencana Pulang Kampung yang Tertunda

12 Februari 2021   23:08 Diperbarui: 13 Februari 2021   09:45 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelenteng Ing Hok Kiong berhias cahaya lampion di malam hari (sumber: tangyar YouTube Neo-Geo)

Ada atau tiada Corona, Bagansiapiapi tetap berdandan cantik menyambut Tahun Baru Imlek. Lihatlah cantiknya "Ing Hok Kiong", warisan budaya kebanggaan kota kelahiran kita, bermandikan cahaya lampion di waktu malam.

Itu bunyi pesan dari seorang teman saya. Pesan tersebut dikirim melalui WA. Bersama pesan tersebut, ia mengirim utas YouTube sebuah video.

Menyaksikan video tersebut, dendang rindu bertalu-talu di dalam hati saya. Sudah berapa tahun saya meninggalkan kampung halaman?

Empat setengah dekade! Ya, empat puluh lima tahun sudah saya meninggalkan Bagansiapiapi, kota kecil yang terletak di muara Sungai Rokan, di pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir.

Berapa kali saya pulang kampung setelah merantau selama empat setengah dekade? Hanya dua kali!

Pertama kali saya pulang atas permintaan Managing Partner di Kantor Akuntan Publik tempat saya bekerja. Beliau adalah atasan langsung sekaligus dosen pembimbing saya pada saat itu.

Gemas melihat skripsi saya yang sedikit terbengkalai akibat ulah saya yang terlalu memprioritaskan kerja, beliau menginstruksikan saya pulang kampung untuk menyelesaikan skripsi.

Pertengahan tahun 1989, saya kembali untuk menjenguk kakek yang sedang sakit keras. Saya tinggal sekitar dua minggu hingga mengantar kakek pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Itulah kali terakhir saya menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Lebih dari tiga dekade telah berlalu. Ada kerinduan untuk mengajak suami dan anak-anak mengunjungi tanah kelahiran saya, sambil melakukan perjalanan napak tilas mengenang cerita masa kanak-kanak di sana.

"Tahun depan yuk, pulang bareng." Itu ajakan saya kepada Mardi, sepupu saya, awal tahun 2020. 

Ibu Mardi adalah satu-satunya tante saya yang masih tinggal di kota kecil kami hingga kini. Karena itu, Mardi cukup sering pulang kampung untuk mengunjungi kedua orangtuanya.

Saya sudah membayangkan perjalanan napak tilas yang mengesankan dengan Mardi sebagai pemandu kami yang mumpuni. Dengan wawasannya yang luas tentang warisan budaya dan kuliner di Bagansiapiapi, Mardi akan menjadi teman perjalanan yang pas untuk keluarga saya.

"Yuk, atur waktu dan sesuaikan jadwal. Kita nikmati Festival Cap Go Meh yang meriah di sana." Mardi antusias menyambut ajakan saya.

Festival Cap Go Meh di Bagansiapiapi kini

Festival lampion di kelenteng tua Ing Hok kiong tahun 2020 (sumber: marwahkepri.com)
Festival lampion di kelenteng tua Ing Hok kiong tahun 2020 (sumber: marwahkepri.com)

Festival Cap Go Meh di Bagansiapiapi kini telah menjadi event wisata. Sebagai anak Bagan, saya merasa sedih karena belum pernah menyaksikan kemeriahannya dengan mata kepala sendiri. 

Cap Go Meh merupakan malam bulan purnama pertama dalam kalender lunar. Cap Go Meh juga merupakan hari terakhir dari rangkaian Perayaan Tahun Baru Imlek di Bagansiapiapi.  

Sebuah pemandangan indah berkelebat di benak saya. Lampion warna-warni dengan aneka bentuk dipasang di teras-teras rumah, menyemarakkan suasana malam dengan cahayanya.

Menyaksikan cahaya bulan di langit dan cahaya lampion di bumi, menimbulkan sensasi tersendiri di dalam hati saya. Cahaya hadir mengusir kegelapan. Cahaya adalah simbol pengharapan.

Saat ini, Cap Go Meh di Bagansiapiapi bukan hanya dimeriahkan oleh etnis Tionghoa saja. Berbagai ormas ikut ambil bagian dalam perayaan ini.

Pawai lampion dalam Festival Cap Go Meh biasa diawali dari kelenteng Ing Hok Kiong. Tahun lalu, sekitar 20 kelenteng, Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP), drumband, paguyuban, ormas hingga warga mengikuti pawai lampion ini.

Peserta dengan penuh semangat berkeliling kota Bagansiapiapi mulai dari Jalan Kelenteng, Jalan Aman, Jalan Sumatera, Jalah Pahlawan, Jalan Merdeka, Jalan Perniagaan, Jalan Perdagangan, Jalan Sentosa dan berakhir di depan Kelenteng Ing Hok Kiong.

Festival Cap Go Meh tidak hanya menampilkan warisan budaya Tionghoa seperti "Parade Tatung" dan "Barongsai" melainkan juga warisan budaya etnis lainnya seperti reog Ponorogo dan tarian Melayu.

Parade Tatung dalam Festival Cap Go Meh di Bagansiapiapi pada tahun 2017 (sumber: FB Mardi Wu)
Parade Tatung dalam Festival Cap Go Meh di Bagansiapiapi pada tahun 2017 (sumber: FB Mardi Wu)

Imlek di rumah saja

Pandemi Covid-19 membuat saya dan Mardi terpaksa menunda rencana pulang kampung. Tahun ini, saya dan keluarga merayakan Tahun Baru Imlek di rumah saja. Tidak ada acara reuni keluarga besar seperti tahun-tahun sebelumnya.

Anak sulung kami yang baru menikah akhir tahun 2019, datang bersama suaminya. Demikian juga calon suami anak kami yang kedua.

Seharian kami menghabiskan waktu di rumah dengan saling bertukar cerita. Sepintas suasana tampak seperti hari-hari biasa. Hanya menu makanan yang lebih istimewa dari biasa, angpau yang kami berikan kepada anak-anak yang belum menikah, dan angpau yang kami terima dari anak yang sudah menikah; yang menandai bahwa kami sedang merayakan "Sincia".

Namun kami tetap bersyukur bahwa kami dapat berkumpul dalam kondisi sehat. Kesempatan berkumpul bersama yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga adalah suatu anugerah. Karena kesibukan kerja masing-masing, kumpul bersama seluruh anggota keluarga bukanlah hal yang dapat terjadi setiap hari.

Satu hal menarik yang saya catat dari cerita calon menantu saya adalah tentang protokol kesehatan yang diterapkan oleh keluarganya. Neneknya sudah berusia 80 tahun. Setiap anggota keluarga yang ingin "Pai Cia" kepada sang nenek wajib menjalani Swab Antigen. 

Hanya mereka yang sudah terkonfirmasi negatif Covid-19 dari hasil Swab Antigen yang akan diperkenankan mengunjungi nenek tercinta. Di kediaman sang nenek, mereka wajib mematuhi protokol kesehatan: memakai masker, menjaga jarak, tidak berkerumun, tidak melakukan kontak fisik, serta sering-sering mencuci tangan.

Saya kira, disiplin menerapkan protokol kesehatan seperti ini layak ditiru. Bagaimana menurut Anda?

Jakarta, 12 Februari 2021

Siska Dewi

Sumber: satu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun