Bekerja, menurut Mardi, bukan sekedar sebagai cara mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, melainkan juga sebagai sarana untuk mencapai potensi pribadi secara menyeluruh. Di saat semua kebutuhan ini telah terpenuhi, bekerja akan dinilai sebagai sebuah panggilan hidup yang membuat hidup seseorang menjadi bermakna.
“Ketika pekerjaanmu membuat kamu merasa excited; ketika kamu dapat mengekspresikan dirimu dan merasa bahwa potensi dirimu dapat terus berkembang melalui pekerjaan yang kamu lakukan; dan ketika kamu menemukan makna di dalam pekerjaan tersebut, di situlah kamu menemukan work-life balance yang sesungguhnya.”
Apa yang akan terjadi jika work-life balance tidak tercapai?
Menurut Mardi, ketika work-life balance individu tidak tercapai, maka seseorang tidak dapat engage dengan pekerjaan/lingkungan pekerjaannya. Potensinya tidak berkembang dan motivasi intrinsiknya menjadi rendah. Pada akhirnya, hal ini akan memicu stres dan demotivasi.
Mardi menuturkan bahwa kondisi ini akan berdampak negatif bagi perusahaan, antara lain:
- Turnover rate menjadi tinggi karena job satisfaction yang rendah dari masing-masing karyawan.
- Kemampuan perusahaan untuk berinovasi menjadi terbatas karena karyawan tidak dapat mengekspresikan diri untuk berkreasi menciptakan peluang inovasi.
- Lingkungan kerja menjadi transaksional karena dengan motivasi intrinsik karyawan yang rendah, perlu ada iming–iming reward dari perusahaan agar karyawannya dapat mencapai suatu target tertentu.
- toxic working environment.
Seperti apa budaya organisasi yang menumbuhkan work-life balance?
Mardi memberikan dua kata kunci, yakni “Respect” dan “Excellence”.
- Respect. Memahami bahwa setiap anggota tim merupakan individu yang unik dengan value yang dipercaya masing-masing dan potensi yang beragam satu sama lain. Selain itu, setiap anggota baik junior maupun senior perlu diberikan kesempatan untuk berkontribusi sesuai potensinya masing-masing di dalam lingkungan kerja. Dengan merayakan keberagaman di dalam organisasi dan memberikan kesempatan kepada setiap anggota untuk berkontribusi, pengembangan potensi masing-masing anggota tim dapat terfasilitasi oleh lingkungan kerja.
- Excellence. Selain memfasilitasi setiap anggota tim untuk berkontribusi sesuai potensinya masing-masing, organisasi juga harus terus memfasilitasi anggotanya untuk terus mengembangkan potensi masing-masing . Dengan demikian, mereka akan terus termotivasi untuk mengembangkan diri.
Akhirulkalam, saya ingin mengutip kata-kata Nicolas Orlando, salah satu pegawai di perusahaan yang Mardi pimpin. “Belajar dan bertumbuh, itulah yang terus aku rasakan selama 3,5 tahun di ‘Rumah Kedua’ ini. Bukan hanya tentang otak tapi jauh lebih dari itu, tentang hati. Tentang bagaimana kita bekerja bukan hanya sekedar karena materi, tapi karena kita ingin terus menginspirasi orang-orang untuk hidup lebih sehat. Tentang bagaimana kita menghormati dan menyayangi setiap orang, tentang bagaimana kita memanusiakan manusia.”
Itulah kisah Mardi dan “Rumah Kedua”-nya. Bagaimana kisah Anda?
Jakarta, 31 Januari 2021.
Siska Dewi
Referensi: satu
Catatan: seluruh foto ilustrasi artikel ini digunakan dengan seizin pemiliknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H