Hari ini, Kelas Khusus Menulis yang diselenggarakan oleh Kompasianer Penulis Berbalas (KPB) dan dipandu oleh Kompasianer Khrisna Pabichara (penulis buku Sepatu Dahlan), telah memasuki hari ketiga.
Hari ini adalah juga hari pertama pada bulan ketujuh saya berada di Rumah Besar Kompasiana. Pada tanggal 17 Juni 2020, untuk pertama kalinya saya memberanikan diri mengunggah sebuah artikel pendek di sini.
Saya memasuki dunia tulis-menulis karena kepepet. Sekitar 40 tahun yang lalu, sebagai pelajar SMEA yang bercita-cita ingin menjadi sarjana, saya harus memutar otak untuk mencari uang. Penghasilan mama saya sebagai penjahit konveksi saat itu hanya cukup untuk membiayai hidup kami berdua.
Untuk dapat membayar uang sekolah, saya memberi les privat kepada murid-murid SD dan SMP. Saya mencoba menulis puisi dan cerpen, lalu mengirimnya ke beberapa surat kabar dan majalah. Rasanya senang sekali ketika puisi dan cerpen saya mulai dimuat. Honor dari menulis puisi dan cerpen, saya tabung dan saya gunakan untuk membayar uang pendaftaran kuliah.
Cerpen saya terakhir tampil di majalah Anita Cemerlang pada tahun 1992. Setelah itu, kesibukan mengurus pekerjaan dan keluarga membuat saya meninggalkan kegiatan menulis. Setelah 3 dekade, atas dorongan dari beberapa teman, saya mencoba menulis lagi.
Namun, setelah genap 6 bulan di Kompasiana, hanya ada satu cerpen dan beberapa puisi yang berhasil saya anggit. Selebihnya, saya menulis artikel-artikel yang sesuai dengan minat saya, utamanya dalam bidang finansial dan humaniora. Saya bertanya pada diri sendiri, mengapa menulis fiksi menjadi demikian sulit bagi saya sekarang.
Pucuk Dicinta Ulam tiba
Seperti kata peribahasa “pucuk dicinta ulam tiba”. Pada saat saya sedang ingin kembali belajar menulis fiksi, sebuah artikel dengan judul “Khrisna Pabichara dan KPB Tutup Tahun” menarik perhatian saya.
Tujuan saya mengikuti kelas menulis ini adalah untuk memperbaiki tata bahasa dan memperkaya kosa kata. Saya menyadari bahwa sebagai penulis yang otodidak, penguasaan saya akan kedua hal tersebut masih sangat terbatas.
Selama ini, saya belajar dari artikel-artikel Pak Khrisna di Kompasiana. Dengan berinteraksi langsung di kelas ini, saya berharap dapat menerima saran dan masukan untuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruan yang masih sering saya lakukan.
Itulah jawaban saya untuk tugas kedua pada hari pertama, saat kami diminta menyampaikan tujuan mengikuti kelas ini dan apa yang kami harap akan kami dapatkan seusai mengikuti kelas ini.
Saya tertawa sendiri saat Pak Khrisna menjawab seperti ini, “Terima kasih, Ci. Semoga harapan Cici terpenuhi. Catatan: kosakata (digabung, mohon jangan pisahkan sesuatu yang mestinya bersatu).”
Mengapa saya tertawa? Ya, saya menertawakan diri sendiri.
Pertama, kesalahan menulis “kosakata” menjadi “kosa kata” bukan pertama kali saya lakukan. Saya ingat, Romo Bobby yang sering saya minta mereviu draft artikel saya, sudah pernah mengingatkan tentang hal ini. Ah, mungkin faktor usia membuat saya jadi pelupa.
Kedua, sejujurnya saya kurang percaya diri saat menanggapi artikel “Khrisna Pabichara dan KPB Tutup Tahun”. Saya merasa sedang berada di titik nol, terutama dalam hal menulis fiksi. Apakah saya tidak akan keteteran mengikuti kelas ini? Ketakutan yang tidak perlu karena ternyata Sang Guru mengoreksi kesalahan saya dengan gaya jenaka dan menyapa saya “Cici”.
Saya yakin, setelah ini, saya tidak akan melupakan cara penulisan “kosakata” yang benar. Itulah pelajaran hari pertama.
Mengenal Gaya Bahasa dan Belajar Menulis Puisi
Saya mengikuti pertemuan kedua dari sebuah RS di Jakarta Utara, sambil menemani suami menjalani pemeriksaan mata. Ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan sebelum bertemu dokter untuk konsultasi. Di sela-sela waktu tunggu dari satu pemeriksaan ke pemeriksaan yang lain, saya membaca pembahasan sambil mengerjakan tugas.
Karena tidak sepenuhnya berada di dalam kelas, maka saya perlu usaha ekstra untuk gulir ke atas dan gulir ke bawah. Hal ini sesuai nasihat Pak Khrisna agar seluruh peserta kelas unjuk gigih.
Pada pertemuan kedua ini, kami diajak mengenali gaya bahasa sendiri. Selanjutnya, kami diminta membuat tiga baris puisi. Puisi itu harus mengandung tiga kata, yakni batu, dinding, dan meja. Bingkai gagasannya adalah kenangan. Waktu yang diberikan adalah lima menit.
Tepat sesudah saya selesai membaca instruksi, nama suami saya dipanggil untuk bertemu dokter. Cepat-cepat saya memasukkan ponsel ke dalam tas dan sedikit berlari menyusul langkah suami saya masuk ke ruang praktek dokter. Tugas membuat puisi pun tidak dapat saya selesaikan tepat waktu. Itulah pertemuan kedua.
Belajar Membuat Lembar Karakter Tokoh
Pertemuan hari ini semakin menarik. Kami belajar tentang penokohan dalam cerita. Materinya dapat dibaca di sini. Selanjutnya kami diminta membuat lembar karakter tokoh. Saya merasa proses menulis cerpen sudah dimulai di sini. Ya, saya mulai membayangkan latar belakang, deskripsi fisik dan deskripsi karakter tokoh yang saya reka.
Dalam pertemuan ini, saya diingatkan untuk membiasakan diri menulis kata depan “pada” apabila diikuti keterangan waktu. Dua artikel Pak Khrisna yang ditaja di Kompasiana pada tahun 2018 akan menjadi bacaan saya akhir pekan ini. Kedua artikel tersebut dapat diakses di sini dan di sini
Reviu Tentang Model Belajar
Pada pertemuan pertama, kami juga dimintai pendapat mengenai model belajar seperti apa yang kami inginkan. Menurut saya, kelas yang menggunakan format grup whatsapp ini, cocok untuk introver seperti saya. Selain itu, format kelas seperti ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
- Dapat diikuti oleh Kompasianer dari berbagai tempat dan dengan berbagai kesibukan. Seperti yang saya ceritakan di atas, saya mengikuti pertemuan kedua dari sebuah RS sambil menemani suami saya menjalani pemeriksaan mata. Contoh lain:
- Lima belas menit menjelang berlangsungnya kelas tadi sore, Kompasianer Hennie Triana yang bermukim di Jerman baru selesai sarapan pagi.
- Kompasianer Widz Stoops yang tinggal di negara Paman Sam, tetap dapat mengikuti pelajaran meskipun untuk ini beliau memerlukan usaha ekstra. Ya, karena perbedaan waktu, Kompasianer Widz Stoops perlu gulir ke atas untuk membaca pembahasan yang telah dilakukan. Tidak demikian halnya jika pertemuan dilakukan via zoom, misalnya.
- Dalam setiap pertemuan, ada saja peserta yang hadir terlambat atau meninggalkan kelas lebih cepat karena sesuatu dan lain hal. Karena kelas berlangsung secara tertulis, mereka tetap dapat membaca materi yang telah dibahas, bahkan mengerjakan tugas. (Saya rasa kita pantas memberi salut kepada Pak Khrisna yang tetap melayani pertanyaan dan mengoreksi tugas yang disampaikan para peserta, meskipun kelas sudah selesai).
- Dapat disimpan untuk bahan referensi.
- Setelah kelas selesai, saya biasa membaca kembali seluruh pembahasan dengan gulir ke atas.
- Sambil gulir ke atas, saya membintangi bagian-bagian penting sehingga dapat saya baca kembali sebagai bahan referensi saat dibutuhkan.
Demikianlah kesan dan pesan saya setelah tiga kali menghadiri pertemuan Kelas Khusus Menulis ini. Sungguh suatu kesempatan berharga yang saya yakin akan membuat saya menjadi penulis yang lebih baik dari hari ini.
Terima kasih KPB. Terima kasih Pak KP.
Jakarta, 18 Desember 2020
Siska Dewi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H