Ada banyak mitos tentang “kekayaan” yang sering kita dengar. Mitos-mitos tersebut mengaitkan kekayaan dengan warisan, keberuntungan, keberanian mengambil risiko (ekstrimnya: berbuat nekad), dan gaji yang tinggi. Benarkah demikian?
Selama 7 bulan, Chris Hogan, seorang ahli keuangan, melakukan penelitian terhadap 10.000 jutawan (orang yang memiliki nilai kekayaan bersih >USD1,000,000.00) di Amerika. Ia menemukan fakta-fakta menarik yang mematahkan mitos-mitos tentang “kekayaan”.
Menurut Hogan, memercayai mitos-mitos ini justru berpotensi menghambat orang di dalam membangun kekayaan. Ia membagikan fakta-fakta yang ditemukannya dalam buku “Everyday Millionaires: How Ordinary People Built Extraordinary Wealth―and How You Can Too” yang mulai beredar sejak tanggal 7 Januari 2019.
Mari kita simak hasil penelitian Hogan:
Mitos 1: Kekayaan Berasal dari Warisan
Fakta:
- Responden yang kaya karena warisan kurang dari 25%
- Hanya 3% responden yang mendapat warisan sebesar satu juta dolar
- Sekitar 16% responden mendapat warisan sebesar seratus ribu dolar
Artinya, lebih dari 75% jutawan yang disurvei oleh Hogan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Menurut Hogan, orang-orang ini menjadi kaya karena kerja keras, pengorbanan dan terbiasa melakukan perencanaan.
Senada dengan temuan ini, sebuah artikel yang dipublikasikan oleh Foundation for Economic Education mengatakan bahwa 9 dari 10 orang terkaya di dunia adalah self-made. Mereka membangun usaha bukan dari warisan.
Dari Indonesia, kita juga mengenal banyak miliarder yang memulai usaha dari nol. Sebut saja nama Chairul Tanjung, Bob Sadino, Susi Pudjiastuti, dan banyak yang lainnya.
Mitos 2: Kekayaan Berasal dari Keberuntungan
Fakta:
- Banyak jutawan yang membangun kekayaan mereka dari NOL
- Lebih dari 75% responden mengatakan bahwa kedisiplinan dan kerja keras adalah kunci yang dapat menjadikan kita kaya
Selain kerja keras dan kedisiplinan, Hogan menambahkan resiliensi dan ketekunan sebagai karakter yang perlu dimiliki oleh seseorang jika ingin menjadi kaya.
Hasil penelitian Hogan ini berlawanan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh dua fisikawan, Alessandro Pluchino dan Andrea Rapisarda, serta ekonom Alessio Biondo pada tahun 2018.
Dalam jurnal berjudul “Talent vs Luck: the role of randomness in success and failure” yang diterbitkan oleh Cornell University, tiga peneliti asal Italia itu menyimpulkan bahwa orang tersukses adalah orang yang paling banyak memiliki keberuntungan.
Studi lain oleh ekonom Robert Frank dalam buku “Success and Luck: Good Fortune and the Myth of Meritocracy” menyebutkan bahwa momen keberuntungan membuat orang menjadi lebih murah hati dan lebih terbuka untuk berkontribusi pada kepentingan bersama.
Merangkum ketiga penelitian di atas, menurut saya, adalah penting menerapkan prinsip “ora et labora”. Berdoa sebagai ungkapan bahwa saya tidak berdaya tanpa berserah kepada Allah, bersyukur atas semua anugerah yang diberiNya, dan disiplin bekerja keras dengan daya tahan dan daya juang yang prima.
Mitos 3: Kekayaan Berasal dari Investasi yang Berisiko Tinggi
Fakta:
- Mayoritas responden sangat berterima kasih atas program pensiun yang mereka peroleh dari tempat kerja
- Beberapa responden mengatakan mereka mengumpulkan hasil dari strategi investasi yang sederhana dan berisiko rendah
Di Indonesia, saat ini sudah banyak perusahaan yang mengikutsertakan karyawannya dalam program Jamsostek yang memberikan “jaminan hari tua” dan “jaminan pensiun”. Program ini memberikan sejumlah “kekayaan” kepada seorang karyawan saat ia pensiun.
Chris Hogan menambahkan, “Para jutawan memahami bahwa risiko adalah sesuatu yang harus dikelola, bukan dihindari. Mereka melangkah dengan hati-hati, menimbang risiko dan potensi imbalannya. Kemudian, bergerak maju dengan hati-hati dan percaya diri.”
Kata kunci di sini adalah "keseimbangan". Portfolio investasi yang ideal perlu mempertimbangkan keseimbangan antara risiko dan imbal hasil untuk mencapai tujuan investasi tersebut.
Mitos 4: Berani Mengambil Risiko Bodoh Membuat Orang Cepat Kaya
Fakta:
- Hasil penelitian Hogan menyimpulkan bahwa dibutuhkan perjuangan selama puluhan tahun untuk menjadi kaya
- Hanya 5% responden yang menjadi kaya dalam waktu kurang dari 10 tahun
- Lebih dari 50% responden menjadi kaya ketika sudah berusia 50 tahun ke atas
Menurut Hogan, membangun kekayaan adalah "permainan jangka panjang". Sebagian besar repondennya mengumpulkan kekayaan sedikit demi sedikit dan dalam waktu lama. “Mereka menyeimbangkan risiko dan imbalan dengan pola pikir jangka panjang. Setelah puluhan tahun, mereka duduk manis menikmati hasilnya.”
Hogan menambahkan bahwa salah satu cara terbaik untuk membangun kekayaan adalah memanfaatkan bunga majemuk, di mana saldo dan pendapatan bunga dalam jangka panjang menghasilkan lebih banyak bunga dari waktu ke waktu. Semakin cepat Anda menabung di rekening tabungan berbunga, semakin banyak bunga majemuk yang dapat Anda kumpulkan.
Mitos 5: Para Jutawan Memiliki Pendidikan dari Sekolah Bergengsi
Fakta:
- Banyak responden bukan alumni sekolah bergengsi
- Lebih dari 50% adalah alumni sekolah umum
- Hampir 10% bahkan bukan alumni perguruan tinggi
Yang menarik adalah temuan Hogan tentang keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Sebagian besar responden terlibat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler saat duduk di sekolah menengah. Mereka memiliki dorongan untuk maju dan inisiatif untuk mencapainya.
Temuan ini agaknya terkait dengan tujuan kegiatan ekstrakurikuler, yakni agar siswa dapat mengembangkan kepribadian, bakat, dan kemampuannya di berbagai bidang di luar bidang akademik.
Mitos 6: Kekayaan Berasal dari Gaji yang Tinggi
Fakta:
- Sekitar 33% responden menghasilkan kurang dari USD100,000.00 per tahun
- Sekitar 31% responden menghasilkan rata-rata USD100,000.00 per tahun
“Gaji adalah salah satu faktor pembangun kekayaan, tetapi bukan merupakan faktor terbesar,” kata Hogan.
“Para jutawan mengetahui persis bahwa yang penting bukanlah berapa besar penghasilanmu melainkan apa yang kamu lakukan dengan penghasilan tersebut.” Hogan mengingatkan untuk menabung setidaknya 20% dari gaji yang diterima.
Dalam masyarakat, sering orang membuat korelasi antara gaji yang tinggi dengan “kekayaan”. Seakan-akan orang yang gajinya tinggi pasti akan kaya.
Temuan Hogan mengingatkan bahwa “kekayaan” sesungguhnya adalah berapa banyak uang yang kita tabung, bukan berapa banyak uang yang kita hasilkan atau berapa banyak uang yang kita gunakan.
Wasana Kata
Penelitian Hogan menyoroti “kekayaan” dalam arti materi. Kekayaan bersih di sini adalah nilai bersih dari harta dikurangi hutang seseorang. Temuan penelitian Hogan mematahkan beberapa mitos yang berpotensi membuat orang merasa diri tidak memiliki potensi untuk menjadi kaya.
Temuan penelitiannya dapat memotivasi bahwa kekayaan materi dapat diusahakan oleh semua orang, dengan kedisiplinan, kerja keras, dan perencanaan yang matang serta memperhatikan keseimbangan antara risiko dan hasil.
Namun demikian, kekayaan dalam arti luas bukan hanya berupa materi. Manusia dianugerahi pancaindra, kesehatan, kebijaksanaan, persahabatan, ilmu pengetahuan dan bakat. Semua itu adalah kekayaan.
Alangkah indahnya jika semua orang dapat saling berbagi “kekayaan” yang dimilikinya dengan murah hati.
Jakarta, 13 Desember 2020
Siska Dewi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H