“Aku marah dan sedih. Aku telah berusaha mengikuti semua kemauan ibu. Terkadang aku merasa seperti pretzel, diuleni, dipelintir, dipanggang … I have gone through such a long and painful process … aku bahkan seringkali merasa tidak bebas menjadi diriku, hanya untuk menyenangkan hati ibu.
Lalu, ketika menstruasiku tidak lancar akibat ketidakseimbangan hormon, ketika aku sakit dan membutuhkan dukungan … ibuku mengira aku melakukan perbuatan tak terpuji, beliau mengira aku hamil di luar nikah.
Setiap kali dimarahi dan dipukul ibu, aku berusaha memahami apa yang melatarbelakangi kemarahannya. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semua itu dilakukannya karena cinta. Toh, aku bisa mengambil nilai-nilai positif seperti jangan salah langkah, harus kerja keras …
Tetapi setelah semua didikannya yang demikian keras, ibuku tetap tidak percaya bahwa aku memegang teguh semua nilai positif yang ditanamkannya. Aku kecewa, namun lagi-lagi aku memilih diam. Bersyukur saja, bahwa penyakitku terdeteksi dan aku mendapatkan pengobatan yang kuperlukan.”
Refleksi Tentang Cinta Ibu
Saya mengajak Swanny berefleksi bersama tentang cinta ibu. Kami sepakat bahwa semua ibu mencintai anak-anak mereka. Hanya saja, ada ibu yang karena sesuatu dan lain hal, tidak dapat mengekspresikan cintanya dengan cara yang tepat.
Satu hal yang menurut kami dapat meringankan kekecewaan terhadap ibu adalah merefleksikan pengorbanan ibu yang rela mengandung anak selama kurang lebih 9 bulan di dalam rahimnya serta mempertaruhkan nyawa untuk memberi kehidupan kepada anaknya. Pengorbanan ini adalah bukti cinta.
Hal lain adalah prinsip bahwa semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Sangat tidak adil melabeli orang tua yang keliru dalam mengekspresikan cinta, sebagai orang tua yang toksik atau tidak menyayangi anak.
“Rasanya aku harus mohon ampun pada ibu karena telah melakukan kebodohan besar dengan melabeli beliau "toxic mother" dan mengklaim bahwa beliau mewariskan toksisitas kepadaku.
Refleksi membantu aku menyadari bahwa ‘toxic mother’ itu timbul dari persepsi kita. Ketika kita memandang cinta dan pengorbanan ibu serta niat baiknya, semua perlakuan yang dikatakan ‘toksik’ itu dapat dimaklumi.
Lalu, bagaimana jika anakmu menganggapmu toksik? Saya dan Swanny sepakat bahwa satu-satunya pilihan adalah tetap mencintai dan mendoakan mereka. Jika anak merasa perlu mengambil jarak, beri mereka kesempatan melakukannya. Itu adalah hak mereka yang harus dihargai.