Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mardi Wu: Musafir yang Sukses Jadi CEO

9 November 2020   00:00 Diperbarui: 29 April 2021   22:40 6892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mardi (kanan) bersama kakak dan adik (dokpri)

Berasal dari Bagansiapi-api, Mardi kecil bercita-cita menjadi guru. Kegagalan meraih beasiswa S2 membuatnya terpuruk.  Permenungan panjang pada malam menjelang Peringatan Wafat Isa Almasih di tahun 1995 membawanya bangkit dari keterpurukan. Mardi menyadari bahwa mungkin Tuhan sedang membelokkan jalannya.

Kini, Mardi dikenal sebagai CEO sebuah perusahaan yang menginspirasi gaya hidup sehat, sekaligus musafir yang hobi mengeksplorasi jalur-jalur yang jarang dilalui orang lain. Ikuti kisah suksesnya di bawah ini.

Aku Ingin Jadi Guru                     

Mardi lahir di Bagansiapi-api, sebagai anak tengah dari tiga bersaudara. Ayahnya memiliki UMKM produsen mie dan toko kelontong. Di masa mudanya, ayah Mardi menjadi relawan guru, mengajar di "sekolah malam".

Sebelum menikah, ibu Mardi adalah guru di Sinaboi, sebuah desa nelayan yang terletak sekitar 16,5 Km di sebelah utara Bagansiapi-api. Sekolah tersebut adalah satu-satunya sekolah di desa itu. Karena transportasi sangat terbatas, beliau tinggal di asrama guru dekat sekolah.

Lahir dalam keluarga guru, menginspirasi Mardi kecil memupuk cita-cita menjadi guru. Baginya, pengetahuan adalah mutiara-mutiara berharga. Ia ingin membagikan mutiara-mutiara yang dimilikinya kepada anak-anak di kota kecilnya, juga anak-anak dari desa-desa tetangga.

Mardi (kanan) bersama kakak dan adik (dokpri)
Mardi (kanan) bersama kakak dan adik (dokpri)
Juara Umum SMA Kolese Loyola, Semarang

Mardi bersekolah di "Bintang Laut". Pada tahun 1980-an, mayoritas sekolah di Bagansiapi-api hanya sampai SMP. Untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, harus pergi merantau.

Mardi memilih SMA Kolese Loyola di Semarang. Alasannya sangat sederhana. Sekolah ini terkesan bagus dan menghargai kebebasan, cocok dengan jiwanya yang bebas.

Pertama kali menginjakkan kaki di Loyola, ia sedikit gentar. Rata-rata NEM SMP teman-teman seangkatannya berkisar 54, sementara NEM-nya hanya 52. Selain itu, sebagai anak yang baru datang dari kampung, Bahasa Indonesianya masih terbata-bata.

Mardi bercerita bahwa di awal masuk SMA, catatan Kimianya selalu kosong. Bukan karena ia tidak memperhatikan pelajaran, tetapi karena gurunya mengajar dalam Bahasa Jawa. Agar dapat mengikuti pelajaran, ia membuat kamus saku Bahasa Jawa - Indonesia.

Setiap hari, ia meminta teman-temannya menulis kosakata Bahasa Jawa dalam kamus saku dan menghafalnya. Dalam beberapa minggu, ia sudah dapat mengikuti pelajaran Kimia dan berkomunikasi dengan Bahasa Jawa Ngoko.

Mardi juga bercerita tentang guru Sejarah yang suka memberi ulangan mendadak. Ulangan pertama, ia dapat nilai 4. Suatu pukulan besar baginya yang selalu juara dari SD hingga SMP. Mardi berjanji akan belajar lebih sungguh-sungguh.

Usaha kerasnya berbuah manis. Mardi merasa bagaikan mimpi. Anak kampung yang datang ke Loyola dengan Bahasa Indonesia yang masih terbata-bata, yang harus berusaha keras agar dapat mengikuti pelajaran Kimia, yang mendapat nilai 4 saat pertama kali ulangan Sejarah, menjadi juara se-SMA Kolese Loyola saat pembagian rapor semester pertama!

Mardi (paling kanan) bersama kakek nenek, ayah ibu, kakak dan adik (dokpri)
Mardi (paling kanan) bersama kakek nenek, ayah ibu, kakak dan adik (dokpri)
Mardi tahu, untuk membiayai sekolahnya, orang tuanya perlu bekerja ekstra. Ia berjanji pada diri sendiri untuk sukses agar tidak mempermalukan keluarga. Karena bekal dari orang tuanya sangat terbatas, Mardi memberi les privat. Pertama ia memberi les privat pada siswa SD, kemudian siswa SMP. Saat duduk di kelas tiga, ia memberi les privat kepada siswa SMA!

Di kelas 3, Mardi memberi tantangan pada diri sendiri. Ia ingin menjadi lulusan terbaik se-Loyola dan mengumpulkan nilai 10 sebanyak-banyaknya. Ia berhasil lulus SMA dengan predikat Juara Umum Loyola dan NEM tertinggi se-Jawa Tengah, dengan nilai 10 di ijazah untuk Matematika, Fisika dan Kimia.

dokpri
dokpri
Nyaris Tidak Dapat Kuliah

Mardi mendaftar ke Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB. Ia mendaftar lewat jalur undangan. Saat pendaftaran, ia diminta memperlihatkan SBKRI. Mardi sudah mengurus SBKRI sejak kelas 6 SD namun dokumen tersebut belum diterimanya hingga saat itu.

"Tanpa SBKRI, tidak dapat diterima di sini," komentar staf panitia penerimaan mahasiswa baru terdengar bagaikan petir di telinganya. Haruskah semua kerja kerasnya berakhir sia-sia hanya karena ia tak dapat menunjukkan selembar kertas yang entah terselip di meja siapa?

Namun Mardi pantang berputus asa. Dicarinya kantor Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK). Ditunggunya hingga jam pulang kerja. Saat Kepala BAAK berjalan menuju mobil, Mardi menjejeri langkahnya.

"Pak, saya mohon dispensasi diterima tanpa SBKRI," Mardi membuka pembicaraan. "Saya lulus SMA dengan NEM tertinggi se-Jawa Tengah. Saya punya 3 nilai 10 di ijazah. Namun, saya terancam tidak dapat kuliah karena tidak dapat menunjukkan SBKRI."

Terbukti bahwa jalan akan terbuka jika kita mau berusaha. Kepala BAAK mengangguk-angguk. Beliau meminta Mardi datang kembali keesokan harinya dan memberikan  surat dispensasi yang diminta.

Tuhan, Apa yang Kau Inginkan dari Saya?

Tahun 1994, Mardi lulus cum laude dari IPB. Ia melamar beberapa beasiswa S2. Sambil menunggu pengumuman beasiswa, ia bekerja sebagai peneliti honorer di lab Pusat Antar Universitas IPB.

Pada saat itu, di seluruh PTN di Indonesia, perekrutan dosen baru dibekukan, kecuali untuk menggantikan dosen yang pensiun atau wafat. Hampir setahun ia menunggu lowongan dosen dibuka kembali, namun hal itu tak kunjung terjadi.

Memasuki April 1995, surat penolakan beasiswa datang satu per satu. Surat penolakan terakhir diterimanya tepat pada Kamis Putih, 13 April 1995.

Tuhan, apa yang Kau inginkan dariku? Takbolehkah aku mengabdi negara lewat jalur edukasi? Mengapa Kau tutup semua jalanku? Mau menjadi dosen, lowongan tak kunjung dibuka. Mau melanjutkan studi, beasiswa tak dapat!

Mardi saat bekerja di PAU-IPB (dokpri)
Mardi saat bekerja di PAU-IPB (dokpri)
Mungkinkah Tuhan Sedang Membelokkan Jalan Saya?

Lamat-lamat bunyi lonceng gereja menuntun langkah Mardi ke gereja terdekat. Selesai Misa Kamis Putih, ia memutuskan ikut Tuguran. Renungan yang didengarnya saat Tuguran, serasa jawaban Tuhan atas pertanyaannya.

Diceritakan ada orang berkeluh kesah kepada Tuhan. Orang itu ingin berbuat baik namun tidak dibukakan jalan. Tuhan menjawab bahwa di situlah letak kesombongannya. Mardi merefleksikan kepada dirinya sendiri.

Hingga lulus S1, ia selalu ingin menjadi pengajar dan peneliti. Ia selalu berpikir bahwa dunia edukasi jauh lebih baik daripada dunia usaha. Ia merasa dunia usaha kotor dan gelap, tidak cocok untuk dirinya yang idealis.

dokpri
dokpri
Malam itu, ia menyadari bahwa dirinya terlalu sombong. Ia merasa sangat yakin dengan rencananya, merasa pasti akan mendapat beasiswa karena prestasi akademiknya. Apalagi, Prof. Samuel Kaplan dari University of Texas Health Science Center di Houston pernah berkunjung ke lab tempat kerjanya dan ikut merekomendasikan dirinya.

Perusahaan yang Menginspirasi Gaya Hidup Sehat Itu Memikat Hatinya

Setelah menyadari bahwa Tuhan mungkin punya rencana lain baginya, Mardi melamar ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan dan minuman kesehatan. Ia melamar ke Bagian SDM, namun ditempatkan di Bagian R&D.

"Mungkin karena saya datang dengan kondisi mental yang terpukul habis, saya merasa lebih realistis, lebih rendah hati, lebih terbuka, lebih mau belajar, lebih mau mendengarkan, lebih percaya jalan Tuhan.

Saya merasa cocok di bidang SDM, tetapi perusahaan melihat dari prestasi akademik dan menempatkan saya di R&D. Jadi saya setujui saja. Setelah menjawab 'ya', saya merasa damai, tenang, positif, dan excited. Mungkin ini yang namanya discernment. Di sinilah panggilan saya."

Meskipun ditempatkan di R&D, Mardi banyak dilibatkan dalam kegiatan pelatihan. Dia senang dengan gaya kepemimpinan yang sangat humanis di perusahaan itu. Tahun berikutnya, dia melamar beasiswa lagi dan mendapat beberapa tawaran.

Pilihannya jatuh pada S2 bisnis di Purdue University. Ia ingin lebih mendalami manajemen, terutama belajar bagaimana membangun budaya kerja yang lebih humanis sehingga karyawan lebih engaged dan bahagia.

sdm
sdm
Mardi bersyukur atas pilihan yang membawanya hingga ke puncak karier sebagai CEO. Meski awalnya menolak dan butuh beberapa bulan untuk menetapkan pilihan, ia yakin bahwa inilah panggilannya.

Mardi sadar bahwa jabatan selalu datang dengan tanggung jawab, hidupnya akan lebih bebas tanpa menjadi CEO. Namun, doa dan permenungan membawanya pada kesadaran bahwa dengan menjadi CEO, ia dapat memberi dampak lebih besar.

Ia dapat meneruskan legenda di rumah kedua yang membesarkannya, membangun budaya organisasi yang memanusiakan manusia. Ia dapat menginisiasi berbagai gerakan positif, membantu banyak orang hidup lebih sehat, lebih peduli lingkungan, dan membuat perusahaan menjadi role model bagi berbagai organisasi lain dalam soal budaya organisasi.

Mewujudkan Impian Berbagi Mutiara Pendidikan

Berkecimpung di dunia usaha tidak membuat Mardi melupakan mimpi kanak-kanaknya. Ia ikut mengajar di "Kelas Inspirasi" yang diinisiasi "Gerakan Indonesia Mengajar", menjadi profesional yang turut mengambil peran dalam Pendidikan anak bangsa.

untitled-03-5fa773dfd541df40e2385512.jpg
untitled-03-5fa773dfd541df40e2385512.jpg
dok. Mardi
dok. Mardi
Selain mengajar di “Kelas Inspirasi”, Mardi juga terlibat berbagi ilmu mengenai karier di berbagai kesempatan, mulai dari kampus hingga webinar. Ia juga memenuhi beberapa undangan wawancara untuk menginspirasi kaum muda, seperti contoh di bawah ini.


dok. Mardi
dok. Mardi

Musafir di Jalur-jalur yang Jarang Dilalui

Dalam blog pribadinya, Mardi menamakan diri “musafir dunia”. Lewat perjalanan ke berbagai jalur yang jarang dikunjungi, ia menemukan api cinta Tuhan dalam setiap ciptaanNya. Ia menjaga lentera energinya tetap menyala.

Salah satu perjalanan yang berkesan adalah ketika di Ethiopia, ia bertemu satu anak kecil di Lalibela. Kepala anak itu penuh dihinggapi lalat. Di Lalibela sangat banyak lalat. Penduduk setempat biasa membawa pengibas lalat ke mana-mana.

Anak yang dijumpai Mardi di Lalibela (dok. Mardi)
Anak yang dijumpai Mardi di Lalibela (dok. Mardi)
Anak itu mungkin sudah terbiasa dihinggapi lalat, sehingga tidak merasa terganggu. Saat Mardi mengibaskan lalatnya, Anak itu merasa sangat bahagia. Mungkin sudah lama dia tidak merasakan terbebas dari lalat.

Mardi diingatkan bahwa bahagia itu sederhana. Terkadang kita terbiasa dan terkurung dalam ketidakbahagiaan sampai kita lupa untuk berjuang mencari kebahagiaan tersebut. Jiwa yang bebas akan membawa kita terbang dengan bahagia.

Jakarta, 9 November 2020

Siska Dewi

Memaknai hari kebebasan sedunia, berbagi kisah inspiratif tentang jiwa yang terbang bebas menebar kebajikan menuai kebahagiaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun