Usaha kerasnya berbuah manis. Mardi merasa bagaikan mimpi. Anak kampung yang datang ke Loyola dengan Bahasa Indonesia yang masih terbata-bata, yang harus berusaha keras agar dapat mengikuti pelajaran Kimia, yang mendapat nilai 4 saat pertama kali ulangan Sejarah, menjadi juara se-SMA Kolese Loyola saat pembagian rapor semester pertama!
Di kelas 3, Mardi memberi tantangan pada diri sendiri. Ia ingin menjadi lulusan terbaik se-Loyola dan mengumpulkan nilai 10 sebanyak-banyaknya. Ia berhasil lulus SMA dengan predikat Juara Umum Loyola dan NEM tertinggi se-Jawa Tengah, dengan nilai 10 di ijazah untuk Matematika, Fisika dan Kimia.
dokpriNyaris Tidak Dapat Kuliah
Mardi mendaftar ke Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB. Ia mendaftar lewat jalur undangan. Saat pendaftaran, ia diminta memperlihatkan SBKRI. Mardi sudah mengurus SBKRI sejak kelas 6 SD namun dokumen tersebut belum diterimanya hingga saat itu.
"Tanpa SBKRI, tidak dapat diterima di sini," komentar staf panitia penerimaan mahasiswa baru terdengar bagaikan petir di telinganya. Haruskah semua kerja kerasnya berakhir sia-sia hanya karena ia tak dapat menunjukkan selembar kertas yang entah terselip di meja siapa?
Namun Mardi pantang berputus asa. Dicarinya kantor Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK). Ditunggunya hingga jam pulang kerja. Saat Kepala BAAK berjalan menuju mobil, Mardi menjejeri langkahnya.
"Pak, saya mohon dispensasi diterima tanpa SBKRI," Mardi membuka pembicaraan. "Saya lulus SMA dengan NEM tertinggi se-Jawa Tengah. Saya punya 3 nilai 10 di ijazah. Namun, saya terancam tidak dapat kuliah karena tidak dapat menunjukkan SBKRI."
Terbukti bahwa jalan akan terbuka jika kita mau berusaha. Kepala BAAK mengangguk-angguk. Beliau meminta Mardi datang kembali keesokan harinya dan memberikan  surat dispensasi yang diminta.
Tuhan, Apa yang Kau Inginkan dari Saya?
Tahun 1994, Mardi lulus cum laude dari IPB. Ia melamar beberapa beasiswa S2. Sambil menunggu pengumuman beasiswa, ia bekerja sebagai peneliti honorer di lab Pusat Antar Universitas IPB.
Pada saat itu, di seluruh PTN di Indonesia, perekrutan dosen baru dibekukan, kecuali untuk menggantikan dosen yang pensiun atau wafat. Hampir setahun ia menunggu lowongan dosen dibuka kembali, namun hal itu tak kunjung terjadi.
Memasuki April 1995, surat penolakan beasiswa datang satu per satu. Surat penolakan terakhir diterimanya tepat pada Kamis Putih, 13 April 1995.