Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dokter Indra Wijaya dan Sumbangsih Milenial

30 Oktober 2020   06:27 Diperbarui: 17 Mei 2022   09:57 2568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Testimoni pasien (sumber: IG Dr. Indra)

Hari Kamis, empat hari menjelang Tahun Baru Imlek 1982. Susy Christina memandang bayi dalam gendongannya. Dia baru saja membersihkan diare anak sulungnya itu. Seorang bayi laki-laki yang hadir saat usia Susy sudah tidak muda lagi.

Susy menikah saat usianya sudah melewati angka tiga puluh. Sebelum membangun rumah tangga, Susy dan suaminya menabung selama beberapa tahun untuk mengumpulkan biaya.

Anak sulung mereka hadir saat usia pernikahan Susy dengan suaminya sudah menginjak tahun ke enam. Bukan karena Tuhan tidak berkenan memberi mereka momongan lebih awal, melainkan karena mereka sepakat menunda kehamilan.

Suami Susy sempat mencicipi bangku sekolah SMA, namun hanya sampai kelas dua. Kondisi keluarga memaksanya putus sekolah karena harus mencari nafkah. Susy sungguh bersyukur, meskipun tidak lulus SMA, suaminya diberi kepercayaan menjadi tenaga akuntansi di sebuah perusahaan swasta, berkat kejujuran dan ketekunannya.

Dengan kondisi ekonomi seperti itu, mereka sepakat menabung terlebih dahulu. Mereka ingin memiliki tabungan yang cukup agar kelak dapat memberi pendidikan yang layak kepada anak-anak. Alangkah bahagianya mereka, ketika Tuhan menganugerahkan seorang anak laki-laki yang mereka namai “Indra”.

Hari itu, Susy dan suaminya membawa Indra yang baru berusia satu minggu ke dokter anak di RSIA Harapan Kita. Dokter mengatakan bahwa Indra menderita “intoleransi laktosa”. Tak dapat dilukiskan sedihnya hati Susy.

Karena ASI Susy tidak produktif, ia memberi Indra susu formula. Setelah terdiagnosis menderita “intoleransi laktosa”, buah hatinya itu tak dapat lagi diberinya susu formula. Indra kecil terpaksa hanya diberinya minum teh manis dan air tajin saja.

Aku Ingin Menjadi Dokter

Saat berusia 4 tahun (sumber: IG Dr. Indra)
Saat berusia 4 tahun (sumber: IG Dr. Indra)

Hingga usia 7 tahun, Indra harus bolak-balik berobat ke dokter anak di RSIA Harapan Kita. Selain sakit intoleransi laktosa, ia juga mengalami batuk berkepanjangan. Saat anak-anak yang lain menikmati kegembiraan bermain, Indra harus menjalani terapi asma, terapi TBC hingga fisioterapi paru.

Sosok “malaikat” berjas putih yang selalu ramah dan dengan penuh kasih membantu meringankan penderitaannya akibat sakit, terpatri kuat  di hatinya. Indra kecil memupuk cita-cita menjadi dokter. Ia ingin menjadi “malaikat” berjas putih. Ia ingin menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan untuk meringankan penderitaan orang-orang sakit.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Tekad Indra untuk menjadi dokter semakin bulat. Lulus SMA, ia melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.

Saat memasuki masa ko-ass, setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, ia diterima di Program S2 Farmakologi Universitas Padjadjaran. Indra harus pandai-pandai membagi waktu antara jaga malam di RS dan mengerjakan tugas-tugas kuliah.

Satu dekade dan sewindu berlalu sejak Indra mendeklarasikan cita-cita menjadi dokter, kerja kerasnya berbuah manis. Indra meraih gelar “dokter” dan “Master Kesehatan (Farmakologi)”, saat ia menginjak usia dua puluh lima.

Melanjutkan Perjalanan di Jalur Endokrinologi

Tahun 2008, Indra melanjutkan perjalanannya di dunia kedokteran dengan mengambil spesialisasi penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gelar “Sp.PD” diperolehnya pada tahun 2012. Sejak saat itu, ia tercatat sebagai anggota FINASIM (Fellow of the Indonesian Society of Internal Medicine).

Selama lima tahun berikutnya, Indra mengabdikan diri menjadi internis di sebuah jaringan RS yang beroperasi di Jakarta dan Tangerang. Ia juga mengajar di Fakultas Kedokteran di universitas yang dikelola oleh grup usaha pemilik jaringan RS tersebut. 

Pada tahun 2016, ia memutuskan untuk mendalami profesi endokrinologi. Pendidikan profesi endokrinologi ditempuhnya di Universitas Indonesia. Ia meraih gelar “Konsultan Endokrin-Metabolik-Diabetes (KEMD)” pada tahun 2019.

Testimoni pasien (sumber: IG Dr. Indra)
Testimoni pasien (sumber: IG Dr. Indra)
Tahun 2016, Indra juga mendapat beasiswa S3 di bidang gizi dan endokrinologi dari  Universitas Hasanuddin, Makassar. Baginya, studi S3 ini adalah perjalanan yang sulit, panjang, dan berkesan.

Dari tahun 2016-2019, ia harus bolak-balik Jakarta-Tangerang-Makassar. Indra bekerja melayani pasien di dua RS swasta. Satu di Jakarta Utara, lainnya di BSD, Tangerang. Sambil bekerja, ia menjalani kuliah profesi endokrinologi di UI dan S3 di UNHAS.

Menjawab pertanyaan mengapa tertarik mendalami endokrinologi, Indra menuturkan, “Angka kejadian/populasi diabetes di dunia tidak akan berkurang. Sebaliknya, angka ini akan terus meningkat. Prevalensi diabetes melitus (DM) secara global berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) adalah sekitar 463 juta orang (9.3%) pada tahun 2019. Angka ini diprediksi meningkat menjadi 700 juta orang pada tahun 2045.

Selain itu, angka kematiannya juga tinggi, yaitu sebesar 4.2 juta penduduk (10,7%) pada tahun 2019. Indonesia menempati urutan-7 dengan estimasi jumlah penyandang DM yaitu sebesar 10,7 juta penduduk pada tahun 2019 dan diproyeksikan meningkat menjadi 16,7 juta (9,9%) pada tahun 2045.

Sementara populasi diabetes terus meningkat, dokter spesialis endokrin, metabolik dan diabetes sangat terbatas. Saat ini, dokter SpPD-KEMD di Indonesia hanya tercatat sekitar 130an orang.”

Menurut Indra, tantangan pendidikan S3 yang lebih menekankan ke basis riset adalah harus mempelajari secara mendalam dan detail mengenai ilmu biomolekular yang memang sulit dipelajari. Pandemi Covid-19 membuat tantangannya bertambah. Ia menjadi kesulitan untuk pergi ke UNHAS karena berada di lokasi zona merah dan zona hitam.

Melalui perjuangan panjang, pada tanggal 26 Oktober 2020, ia berhasil mempertahankan disertasi yang berjudul “Efek Ekstrak Channa striata (Ikan Gabus) terhadap Proses Penyembuhan Luka Akut pada Tikus Hiperglikemia yang Diinduksi Streptozocin: Analisis terhadap Hemostasis, Inflamasi, Proliferatif dan Remodeling”. Kini, dalam usia 39 tahun kurang 80 hari, Indra resmi menyandang gelar “Doktor”.

Anugerah Tuhan dan Dukungan Keluarga

Mengenai pencapaiannya hari ini, Indra mengatakan semua adalah anugerah. “Tuhan memberi saya talenta, jalan, dan kekuatan. Modal saya hanya tekad dan komitmen untuk mengembangkan talenta yang Tuhan titipkan.”

Selain anugerah Tuhan, dukungan keluarga juga memegang peranan penting dalam pencapaiannya. Doa dan cinta dari kedua orangtua, juga belahan jiwa yang telah sepuluh tahun mendampinginya dengan setia dan memberinya seorang putri serta dua orang putra.

Bersama isteri, anak-anak, ayah, ibu dan adik (sumber: WA dari Dr. Indra)
Bersama isteri, anak-anak, ayah, ibu dan adik (sumber: WA dari Dr. Indra)
“Dok, di depan tadi kita sudah cerita tentang Papa dan Mama Dr. Indra. Sekarang, pembaca pasti ingin mengetahui siapa wanita hebat di belakang Doktor milenial yang luar biasa ini.”

“Haha, saya jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Kami bertemu di kelas satu SMA, sebagai sesama pengurus OSIS. Tak dinyana, bisa sekelas dengan dia pas kelas tiga. Lepas SMA, saya lanjut ke FK Unpad, dia ke FK Trisakti.”

“Wah, LDR donk!”

“Ahaha, saya baru berani nembak dia pas sudah semester 4 di FK. Kami pacaran 8 tahun, lalu menikah di tahun 2010. Anak pertama kami, Timothy, lahir tahun 2011. Adiknya, Jesslyn, lahir tahun 2013 dan si bungsu, Hanzel, lahir tahun 2018.”

Sumbangsih Milenial Bagi Indonesia Tercinta

Indra mengatakan, selesainya S3 sebagai gelar tertinggi di bidang akademik bukan merupakan akhir dari studinya, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang untuk memberi sumbangsih bagi Indonesia tercinta, khususnya di bidang yang dia dalami. 

“Saya ingin mengembangkan pendidikan sebagai pengajar dan peneliti. Sebagai pelayan medis, saya ingin meningkatkan kualitas hidup para pasien. Saya juga ingin memberi pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk bakti sosial, ceramah kesehatan, dsb.”

Indra menambahkan bahwa hasil penelitiannya di S3 sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Ikan gabus adalah salah satu kekayaan hayati Indonesia. Ekstrak ikan gabus terbukti berperan pada proses penyembuhan luka akut pada kondisi gula darah tinggi (hiperglikemia) melalui penutupan diameter luka yang lebih cepat. Sila klik ini untuk membaca.

Langkah awal Indra untuk memberi sumbangsih bagi dunia Kesehatan Indonesia telah diayunkan. Selain menjadi team penulis di Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI), institut pendidikan kedokteran dan penelitian pertama di Indonesia yang didirikan oleh FKUI, ia juga menjadi pengajar daring di Universitas Cendrawasih, Papua.

Teruslah melayani dengan hati, Dr. Indra. Semoga dapat menjadi inspirasi bagi lebih banyak lagi “malaikat-malaikat” berjas putih di Indonesia tercinta. 

  

Referensi: 1, 2, 3, 4

Jakarta, 30 Oktober 2020

Siska Dewi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun