Peran seorang ayah sangat penting dalam tumbuh kembang anak perempuannya. Jika demikian, apa yang akan terjadi pada seorang anak perempuan yang ayahnya direnggut paksa dari sisinya sejak ia berusia tiga minggu?
Ini bukan kisah sedih anak perempuan yang tumbuh tanpa kasih sayang ayah dan meratapi nasib malangnya. Sebaliknya, ini ungkapan syukur seorang anak perempuan atas anugerah Tuhan yang memberinya sosok "ayah" untuk menjadi teladannya.
Sosok "ayah" saya bernama "kakek"
Meskipun saya tidak pernah mengenal ayah kandung, namun saya memiliki sosok "ayah" yang melimpahi masa kecil saya dengan kasih sayang. Beliau adalah kakek saya.
Ayah saya adalah anak sulung dan satu-satunya laki-laki. Ayah mempunyai sembilan orang adik perempuan. Waktu kecil, saya sering berpikir, dari mana kakek mendapatkan persediaan kasih sayang yang begitu banyak untuk dibagikan kepada dua belas orang perempuan di rumah kami.
Ya, setelah ayah direnggut paksa dari keluarga, kakek adalah satu-satunya lelaki di rumah. Kakek adalah satu-satunya pencari nafkah, untuk dua belas orang perempuan yang dicintainya: nenek, sembilan orang tante, ibu, dan saya.
Saya mengenang kakek sebagai seorang yang pendiam. Bagi saya, beliau adalah seorang yang panjang sabar dan memiliki hati yang sangat besar.
Kami tinggal di sebuah rumah yang sederhana, di kota kecil Bagansiapi-api. Kakek bekerja sebagai tenaga pembukuan di sebuah perusahaan dagang. Beliau biasa pulang dan pergi ke kantor naik sepeda.
Kakek tak pernah mengajar saya mendendam
Menurut cerita yang saya dengar, ayah dikhianati oleh seseorang yang dianggapnya "sahabat". Namun, kakek tak pernah mengajar saya mendendam. Beliau bahkan tak pernah bercerita tentang peristiwa pengkhianatan itu kepada saya.
Cerita tentang ayah, yang saya dengar dari kakek, melulu sisi positifnya. Kakek pernah bercerita bahwa ayah adalah seorang guru yang sangat disenangi oleh murid-muridnya. Selain mengajar, ayah juga bekerja sambilan sebagai tenaga pembukuan. Kata kakek, ayah juga pandai mengarang.
Kakek juga sering bercerita tentang sahabat-sahabat ayah yang tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga kami. Ada sahabat ayah yang menganggap saya sebagai keluarga dan masih bersilaturahmi hingga saat ini.Â
Setelah dewasa, saya baru mengerti. Dengan caranya sendiri, kakek bukan saja mengajarkan saya untuk tidak mendendam. Kakek juga mau memperlihatkan kepada saya bahwa masih banyak persahabatan yang tulus dan indah. Â
Kakek mengajar saya memaafkan dan meminta maaf
Kakek sering mengajak saya jalan kaki bersama di pagi hari. Biasanya, kami akan sarapan di warung kopi langganan kakek. Beliau selalu memesan cokbe (bubur khas Bagansiapi-api) untuk saya.
Sambil makan, kakek akan bertanya tentang kegiatan sekolah saya. Kepada kakek, saya bisa bercerita tentang apa saja. Ketika saya bercerita bahwa saya bermusuhan dengan teman, kakek akan mengingatkan bahwa bermusuhan bukan hal yang baik.
Dari cerita saya, kakek selalu dapat menunjukkan di mana letak kesalahan saya, tanpa membuat saya merasa bersalah. Saya hanya dinasihati untuk berdamai dan meminta maaf. Tetapi, jika yang salah adalah teman saya, kakek juga menasihati saya untuk berdamai terlebih dahulu.
Saya sering protes, "Mengapa jika saya bersalah, saya harus minta maaf untuk berdamai. Sementara, jika teman saya yang salah, saya juga yang harus mengusahakan damai terlebih dahulu tanpa menunggu teman tersebut meminta maaf?"
"Orang yang mampu meminta maaf meskipun tidak merasa salah, dia adalah orang yang rendah hati. Meminta maaf tidak selalu berarti mengaku salah. Terkadang, kita perlu meminta maaf agar hubungan tidak rusak." demikian jawaban kakek.
Kakek menyayangi saya apa adanya dan selalu bangga pada saya
Kakek tak pernah menuntut saya harus menjadi nomor satu. Pada saat saya membawa pulang gelar juara dua atau juara tiga, kakek selalu memuji saya anak pintar. Kata kakek, saya mewarisi kepintaran ayah.
Saya ingat, ketika saya duduk di kelas tiga SD, guru agama memberi kami tugas mengarang tentang "manusia jatuh ke dalam dosa". Karena senang dengan karangan saya, bu guru memberi saya hadiah buku "Khotbah di Bukit".
Ketika saya tunjukkan hadiah tersebut kepada kakek, beliau pun mengatakan bangga dengan pencapaian saya. "Kamu pintar mengarang, seperti ayahmu."
Kakek mengajar saya merawat kepercayaan
Setelah saya agak besar, saat kami sedang sarapan bersama, terkadang kakek bercerita tentang pekerjaannya. Menjabat sebagai tenaga pembukuan, kata kakek, adalah pekerjaan yang amanah. Ada kepercayaan yang diamanahkan orang kepada kita.
Kepercayaan tersebut, menurut kakek, tidak datang begitu saja. Perlu perjalanan panjang dan pembuktian untuk mendapatkan kepercayaan tersebut. Karena itu, amanah harus dirawat dengan baik.
Dari cerita kakek, saya memupuk rasa cinta dan hormat kepada ayahÂ
Seringkali, ketika kakek memuji saya, beliau juga memuji ayah.
"Kamu pintar, seperti ayahmu."
"Karanganmu dipuji guru, kamu memang berbakat mengarang, seperti ayahmu."
"Kamu mau jadi guru? Jadilah guru yang baik seperti ayahmu. Murid-muridnya senang padanya."
"Ayahmu dulu rajin. Selain menjadi guru, dia juga mengerjakan pembukuan, seperti kakek."
Setelah saya dewasa, saya mengerti. Itulah cara kakek "menghidupkan kembali" ayah di hati saya. Meskipun saya hanya mengenal ayah dari foto dan tidak memiliki kenangan langsung dengan beliau, ayah tetap memiliki tempat khusus di hati saya.
Kakek adalah sosok "ayah" bagi saya, namun kakek tidak mau mengambil seluruh tempat di hati saya. Kakek berbagi tempat dengan ayah, membuat saya merasa ayah kandung saya adalah ayah yang tetap patut saya cintai, saya hormati, saya banggakan.
Jakarta, 26 Oktober 2020
Siska Dewi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H