Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Nyata: Free-Range Parenting, Pola Asuh yang Memberdayakan Anak

23 September 2020   07:32 Diperbarui: 17 Mei 2022   09:51 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi free-range parenting (sumber foto: freeimages.com)

"Apa istilah untuk pola asuh yang berlawanan dengan pola asuh helikopter?" Sebuah pesan masuk ke WA saya setelah saya membagikan artikel ini di grup WA keluarga besar. Pesan tersebut berasal dari abang sepupu saya. Sebut saja namanya Edfren.

Edfren adalah anak dari tante saya. Kami melewatkan masa kecil di rumah yang sama, di kota kecil Bagan Siapi-api. Sejak usia 3 tahun, Edfren dititipkan kepada nenek kami. Keluarganya tinggal di Sinaboi, sebuah desa nelayan yang berjarak 16,5 km dari Bagan Siapi-api. 

Saat dititipkan kepada nenek, Edfren sudah punya dua orang adik. Mungkin, dia dititipkan kepada nenek lantaran tante memerlukan bantuan untuk mengurus tiga anak balita.

"Waktu kecil, kita tinggal bersama. Tetapi, kisah hidup kita ternyata berbeda. Apa istilah untuk pola asuh yang berlawanan dengan pola asuh helikopter?" Edfren kembali bertanya.

Saya berjanji akan mencari referensi tentang pola asuh yang dimaksudnya, sekaligus meminta izin untuk menganggit artikel tentang pengalamannya. Edfren mengizinkan. Akhirnya, saya menemukan istilah yang dicarinya: "Free-Range Parenting".

Apa Itu Free-Range Parenting?

Dilansir dari washingtonparent.com, free-range parenting telah menjadi pembicaraan selama kurang lebih satu dekade terakhir, meskipun konsep tersebut bukanlah hal baru. Pada tahun 1946, Dr. Benjamin Spock, seorang dokter spesialis anak yang berpengaruh di Amerika, mempromosikan prinsip-prinsip yang mirip free-range parenting dalam "Common Sense Book of Baby and Child," salah satu buku terlaris di abad ke-20.

Spock mendesak orang tua untuk melakukan hal-hal berikut:

* Memercayai insting sendiri

* Membiarkan anak-anak menjadi anak-anak

* Bersikap fleksibel

* Membiarkan anak-anak gagal dan mencoba lagi

Menurut goodhousekeeping.com, gerakan free-range parenting dimulai pada tahun 2008, ketika Lenore Skenazy, seorang kolumnis New York Sun, menulis sebuah artikel tentang bagaimana ia membiarkan putranya yang berusia 9 tahun pulang ke rumah naik kereta bawah tanah, sendirian.

Secara umum, free-range parenting dipandang sebagai kebalikan dari helicopter parenting. "Free-range parenting menekankan pada kemandirian anak dengan pengawasan orang tua yang bijak," kata Dr. Kyle Pruett, M.D., Profesor Klinis Psikiatri Anak di Yale School of Medicine. "Anak diberi kesempatan mengeksplorasi hingga mereka menemukan batasan secara alami."

Jadi, orang tua yang menerapkan free-range parenting mungkin membiarkan anak-anak bermain di luar sendirian, pulang pergi sekolah tanpa pendamping, dan menyelesaikan sendiri masalah yang muncul.

Menurut Dr. Pruett, manfaat free-range parenting antara lain: memberdayakan anak sehingga mampu menyelesaikan masalah, meningkatkan kreativitas, membangun kepercayaan diri, dan memiliki resiliensi yang tinggi.

Merefleksikan Pengalaman Masa Kecil dan Masa Remaja Edfren

"Ibuku buta huruf," Edfren memulai ceritanya. Sambil tertawa dia melanjutkan, "Saat kita umur 3 tahun, juga belum ada gerakan free-range parenting."

Edfren benar. Tante saya seorang wanita desa yang sederhana. Beliau tidak paham pola asuh. Beliau tidak pernah dengar istilah free-range parenting. Beliau juga tidak tahu siapa Dr. Benjamin Spock.

Tetapi, beliau melakukan apa yang disarankan dokter tersebut. Tante saya memercayai instingnya. Saat memutuskan untuk menitipkan anaknya yang baru berusia 3 tahun kepada ibunya, beliau percaya bahwa anaknya akan baik-baik saja.

"Umur 15 tahun, aku dititipkan pada nenek dari pihak Papa di Semarang. Tujuannya agar aku mendapatkan pendidikan yang lebih baik." Edfren mengenang. "Umur 18 tahun, ibu dan adik-adikku pindah ke Semarang. Aku ingat, setiap kali pembagian rapor, aku yang menjadi wali untuk mengambil rapor adik-adikku. Para wali kelas mereka suka memanggil aku dengan sebutan bapak muda."

Ilustrasi mengambil rapor (sumber gambar: freepik.com)
Ilustrasi mengambil rapor (sumber gambar: freepik.com)

"Lalu, rapormu?"

"Aku minta tolong tetangga yang mengambilkan. Tetanggaku jualan kue. Terkadang dia sibuk dengan dagangannya dan datang terlambat. Jika wali kelasku tidak sabar menunggu, beliau akan berikan rapor kepadaku dan ingatkan aku untuk minta tanda tangan ortu."

"Lalu, siapa yang tanda tangan rapormu dan rapor adik-adikmu?"

"Aku. Ayahku kerja di Bali. Ibuku buta huruf, tidak bisa tanda tangan. Jadi, mereka memberikan kuasa kepadaku. Aku yang menandatangani raporku sendiri dan rapor adik-adikku."

Sambil tertawa, Edfren melanjutkan, "Aku ingat, kami pernah beli rumah atas nama ibu. Karena ibuku buta huruf, aku yang membacakan dan menjelaskan isi Akta Jual Beli. Aku juga yang mengajari beliau cara tanda tangan. Intinya, ayahku memberi aku kepercayaan, dan aku berusaha menjaga kepercayaan itu."

Edfren bercerita bahwa tinggal jauh dari orangtua sejak usia 3 tahun membuat dirinya terkondisi untuk mandiri. Kakek dan nenek kami, juga ibu saya, adalah orang-orang yang mewarnai perkembangan masa kanak-kanaknya. Dia mengamati mereka, dan belajar hal-hal positif dari mereka.

"Dari pola asuh orangtuaku, aku merasa bahwa aku diberi kebebasan sekaligus diberi tanggung jawab. Sejak kecil, keadaan mengondisikan aku untuk menyelesaikan permasalahan dan mengambil keputusan. Aku juga belajar melobi tetanggaku agar mau mengambilkan raporku."

Kiat Menerapkan Free-Range Parenting Versi Edfren

Edfren mengingatkan bahwa meskipun free-range parenting memiliki banyak manfaat, pola asuh ini bukan tanpa risiko. Orangtua yang bertanggung jawab akan menerapkan free-range parenting dengan hati-hati.

Orangtua perlu memastikan bahwa anak-anak dipersiapkan dengan baik untuk menangani situasi yang akan dihadapi dalam hidup mereka. Memercayai insting adalah kata kuncinya. Edfren memberikan beberapa kiat di bawah ini:

1. Beri anak kesempatan untuk berlatih

Langkah pertama adalah latihan, dengan pengawasan yang ketat dari orangtua, yang secara bertahap berkurang seiring berkembangnya kemandirian anak.

Ilustrasi anak naik kendaraan umum (sumber foto: Metro Tempo.co)
Ilustrasi anak naik kendaraan umum (sumber foto: Metro Tempo.co)
Misalnya, orang tua mengizinkan seorang anak pra-remaja naik kendaraan umum untuk mengunjungi neneknya. Anak tersebut perlu diajari cara menunggu dengan aman, cara membeli karcis, cara membaca peta transportasi dan apa yang harus dilakukan di terminal bus. Anak juga perlu dibekali dengan informasi mengenai apa yang perlu dilakukan jika menghadapi keadaan darurat.

Untuk tahap pertama, orangtua perlu menemani anak sambil memberikan pelajaran yang disebutkan di atas. Setelah yakin anak dapat dilepas untuk bepergian sendiri, barulah anak didorong untuk mencobanya. Ketika dia kembali ke rumah, dia akan merasa percaya diri dan mampu.

2. Perhatikan keamanan lingkungan

Tentu saja, orangtua perlu memperhatikan keamanan lingkungan. Jika situasi yang dihadapi anak tampak terlalu berbahaya atau berisiko, orangtua perlu turun tangan dan memberikan pengawasan. Tetapi jika anak sudah siap menghadapi tantangan tersebut, silakan mundur.

3. Jangan takut gagal             

Skenazy memberi contoh tentang mengajar anak naik sepeda. Tidak ada orangtua yang mau anaknya jatuh dari sepeda, terutama dengan risiko cedera serius. Tetapi, jika kita ingin anak-anak kita belajar cara mengendarai sepeda, kita tidak dapat memegang bagian belakang sepeda selamanya.

Ketika anak-anak jatuh (dan mereka akan jatuh!), mereka mempelajari dua pelajaran penting: 1) kegagalan itu tidak permanen, dan 2) ada kegembiraan dalam mempelajari hal-hal baru.

Cara terbaik untuk belajar adalah dengan membuat kesalahan dan mencoba lagi. Cara terbaik untuk membangun kepercayaan diri dan kompetensi adalah dengan mengambil tugas baru dan menantang, menemukan keberanian untuk mengatasi keraguan dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dengan sukses.

Semoga kisah Edfren dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk menerapkan free-range parenting dengan bijak.

Jakarta, 23 September 2020

Siska Dewi

Referensi: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun