Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Nyata: Dampak Pola Asuh Helikopter

19 September 2020   19:14 Diperbarui: 24 September 2020   21:56 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, saya mewawancarai seorang calon pegawai. Waktu itu, saya bekerja sebagai Supervising Consultant di sebuah kantor konsultan manajemen. 

Kandidat yang saya wawancarai adalah adik angkatan saya. Sebut saja namanya Andrew. Saat dia melamar ke kantor kami, Andrew baru saja meraih gelar Sarjana Ekonomi. Usianya dua puluh tiga tahun.

Andrew telah menjalani serangkaian tes dan wawancara oleh tim HR sebelum dipertemukan dengan saya. Pertemuan dengan saya hanya sebagai konfirmasi bahwa dia telah lulus seleksi. 

Tugas saya adalah menjelaskan kepadanya mengenai budaya kerja tim, paket remunerasi yang akan dia terima dan key result area yang kami harapkan beserta key performance indicators-nya.

Ketika saya tanya kapan dia dapat mulai bekerja, Andrew menjawab, "Boleh saya minta waktu satu hari untuk memberi jawaban? Saya harus diskusi dengan papa dan mama dulu". Jawaban Andrew memberi gambaran kepada saya bahwa dia adalah produk pola asuh helikopter.

Apa Itu Pola Asuh Helikopter?

Orangtua yang menerapkan pola asuh helikopter memiliki kecenderungan mirip helikopter. Mereka melayang-layang di atas anak-anak mereka yang telah dewasa. Mereka mengurus tugas-tugas yang seharusnya dapat dilakukan sendiri oleh anak-anak tersebut.

Dilansir sciencedaily.com, pola asuh helikopter menerapkan struktur bimbingan yang secara perkembangan tidak tepat bagi anak. Usia Andrew sudah dua puluh tiga tahun. 

Dia sudah menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Andrew perlu meminta pendapat orangtuanya untuk memutuskan apakah dia akan menerima atau menolak pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. 

Dia juga perlu meminta pendapat orangtuanya mengenai kapan sebaiknya dia mulai bekerja. Keputusan yang semestinya dapat dia lakukan sendiri dengan mudah.

Menurut penelitian, pola asuh helikopter berpotensi membawa dampak negatif bagi anak berupa tekanan psikologis, narsisme, kesulitan beradaptasi, penggunaan alkohol dan narkoba, dan sejumlah masalah perilaku lainnya pada usia dewasa muda, yakni 18 hingga 25 tahun.

Tiga Faktor Penyebab Pola Asuh Helikopter

Dalam sebuah penelitian, Segrin dan Tricia Burke dari Texas State University bersama Trevor Kauer dari University of Nebraska, menemukan tiga faktor yang membuat orangtua cenderung menerapkan pola asuh helikopter. 

Ketiga faktor tersebut adalah: tipe orangtua yang perfeksionis, tipe orangtua yang pencemas, dan ibu. Ya, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa lebih besar kemungkinan para ibu menerapkan pola asuh helikopter dibanding para ayah


1. Orangtua yang perfeksionis cenderung menerapkan pola asuh helikopter
"Orangtua yang perfeksionis memandang prestasi anak-anak mereka sebagai perwujudan prestasi mereka. Mereka ingin melihat anak-anak mereka berprestasi karena itu membuat mereka tampil baik," ujar Segrin. 

"Saya tidak mengatakan mereka tidak peduli dengan anak-anak mereka; tentu saja mereka peduli. Tetapi mereka menjadikan keberhasilan anak-anak sebagai tolok ukur kesuksesan mereka sendiri sebagai orangtua".

2. Orangtua yang pencemas cenderung menerapkan pola asuh helikopter
"Orangtua yang pencemas cenderung terlalu khawatir jika hal-hal buruk terjadi pada anak mereka. Hal ini menyebabkan mereka berusaha menghindari risiko",kata Segrin. 

Penelitian Segrin menunjukkan bahwa orangtua yang banyak menyesali kehidupan mereka sendiri mungkin menerapkan pola asuh helikopter untuk mencegah anak-anak mereka mengulangi kesalahan serupa.

3. Dibanding para ayah, lebih besar kemungkinan para ibu menerapkan pola asuh helikopter
"Kami meminta anak-anak muda yang menjadi subjek penelitian untuk meminta salah satu orangtua mereka ikut mengisi survei. Kami membiarkan mereka memilih ayah atau ibu, dengan pemahaman bahwa mereka secara alami akan memilih orangtua yang menerapkan pola asuh helikopter", kata Segrin. 

"Dan, bagaikan serangga yang mendekati bola api, anak-anak muda ini membawa kami kepada orangtua yang paling banyak terlibat dalam kehidupan mereka, yakni ibu".

Pengalaman menjadi anak dari orangtua yang menerapkan pola asuh helikopter

Membaca penelitian tentang pola asuh helikopter mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya. Uraian Segrin membantu saya memahami bahwa sebagai seorang perfeksionis, ibu saya merasa gagal jika beliau memandang saya gagal. Apakah ibu tidak menyayangi saya? Oh, beliau menyayangi saya, amat sangat! Setelah ayah kembali ke alam baka sejak saya masih bayi, ibu tidak menikah lagi. Saya adalah satu-satunya harta ibu yang sangat berharga.

Ibu memandang prestasi saya sebagai cerminan prestasi beliau
Karena ibu sangat menyayangi saya, beliau menerapkan pola asuh helikopter dengan sempurna. Hingga saya lulus SMP, beliau selalu menanyakan nilai-nilai ulangan saya. 

Jika sesekali mendapat nilai jelek, saya harus mampu menjelaskan penyebabnya. Saya juga harus memaparkan rencana perbaikan yang akan saya lakukan pada kesempatan berikutnya. Ibu ingin saya selalu mendapatkan nilai "sempurna".

Dari kelas satu hingga kelas empat SD, saya selalu menjadi juara kelas. Saya tahu hal itu membuat ibu bangga. Di kelas lima, saya hanya berhasil menjadi nomor dua. Saya tidak berhasil mempertahankan gelar juara kelas. Rasanya sedih sekali mengecewakan ibu. 

Di kelas enam, saya berusaha keras memperbaiki prestasi saya. Namun, keinginan untuk kembali menjadi juara kelas justru berkembang menjadi tekanan psikologis. Alih-alih menjadi juara, prestasi saya di kelas enam malah melorot ke peringkat ketiga.

Beruntung kami pindah dari kota kecil Bagan Siapi-api ke Jakarta saat saya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Ibu rupanya memahami bahwa sebagai anak kampung yang baru masuk kota, saya perlu banyak menyesuaikan diri. Beliau sudah cukup senang melihat saya dapat mempertahankan prestasi sebagai sepuluh besar di kelas selama duduk di bangku SMP.

Ibu memutuskan pendidikan lanjutan atas yang menjadi arah masa depan saya 
Sejak kecil, saya selalu bercita-cita menjadi guru. Di SMP, seorang guru menemukan potensi menjadi penulis dalam diri saya. Beliau merekrut saya menjadi tim majalah dinding. Lulus SMP, saya kubur cita-cita masa kecil dan mimpi masa remaja saya. 

Menurut ibu, jika saya menjadi guru, saya tidak dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Apalagi jika saya menjadi penulis, meminjam istilah beliau, "masa depannya tidak jelas".

Patuh pada keinginan ibu, saya mendaftar ke SMEA jurusan Tata Buku (sekarang SMK jurusan Akuntansi dan Keuangan Lembaga). Pertimbangan ibu sangat sederhana. 

Jika saya lulus SMEA, saya sudah siap kerja di kantor. Pada saat itu, pekerjaan di bidang akuntansi termasuk pekerjaan yang cukup bergengsi. Jika ada rezeki, saya bisa melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi sambil bekerja.

Syahdan, itulah yang terjadi pada diri saya. Campur tangan ibu di dalam memutuskan jurusan pendidikan lanjutan atas mengantar saya menjadi seorang mahasiswi yang bekerja di Kantor Akuntan Publik pada pagi hingga siang hari, dan kuliah di Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi pada sore hingga malam hari.

Setelah saya menikah, ibu menginginkan saya tetap bekerja
Setelah saya menikah, ibu tetap tinggal bersama saya. Beliau tidak ingin menjadi beban menantu. Karena itu, beliau ingin saya tetap bekerja. Untuk mendukung agar saya dapat bekerja dengan tenang, beliau mengatur seluruh urusan rumah tangga dan anak-anak saya.

Beruntung, suami saya juga mendukung saya tetap bekerja. Menurut suami saya, tetap berkarier adalah sesuatu yang baik untuk aktualisasi diri saya. Dia juga tidak keberatan ibu yang mengatur urusan rumah tangga dan anak-anak kami.

Dua hal yang membantu saya menetralkan dampak negatif pola asuh helikopter

Menyigi potensi dampak negatif pola asuh helikopter yang dijelaskan di atas dan merefleksikan pengalaman hidup sendiri, saya merasa ada dua hal yang membantu saya menetralkan dampak negatif pola asuh helikopter.

Pertama, saya memang merasakan tekanan psikologis di kelas lima dan kelas enam SD. Ketika itu, saya tidak berhasil mempertahankan gelar juara kelas. Tekanan psikologis tersebut membuat prestasi saya semakin menurun meskipun saya berusaha agar dapat meningkat.

Apa yang membantu saya bangkit kembali? Jawabnya adalah pelajaran agama di sekolah. Dari guru agama, saya belajar terbuka pada cinta Tuhan. 

Ketika saya merasa gagal, saya berdoa dan membaca kitab suci. Setelah melakukan dua hal ini, saya merasa tenang. Saya berkata pada diri sendiri bahwa saya bukan manusia gagal. 

Saya hanya belum berhasil mempersembahkan gelar juara kelas yang dapat membanggakan ibu. Namun, menempati peringkat kedua atau peringkat ketiga di kelas, sama sekali bukan kegagalan. Kutipan ayat kitab suci bahwa saya berharga di mata Tuhan, sangat menguatkan saya.

Ilustrasi anak memberi penjelasan kepada ibu (Designed by katemangostar/Freepik)
Ilustrasi anak memberi penjelasan kepada ibu (Designed by katemangostar/Freepik)
Kedua, cara ibu saya menerapkan pola asuh helikopter sedikit berbeda. Ibu saya bukan helikopter yang melayang-layang di atas saya dan segera menukik untuk menyelamatkan saya jika terjadi masalah. 

Alih-alih selalu membantu saya menyelesaikan masalah, beliau menuntut saya agar dapat menyelesaikan masalah sendiri. Kewajiban memberi penjelasan dan rencana perbaikan jika mendapat nilai jelek adalah salah satu contohnya.

Kewajiban memberi penjelasan dan rencana perbaikan kepada ibu jika mendapat nilai jelek, yang dilatih sejak saya SD, ternyata memberi dampak positif bagi saya. Latihan ini membantu saya terbiasa berpikir sistematis dan selalu memikirkan langkah perbaikan jika sesuatu terjadi tidak sesuai rencana.

Maka, ketika memutuskan untuk mengubur cita-cita menjadi guru dan mimpi menjadi penulis, saya juga memutuskan untuk menyukai dunia akuntansi yang menjadi pilihan ibu. 

Karier saya berkembang seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman. Dan yang paling penting, ibu bangga dengan pencapaian saya. Apakah saya menjadi narsis? Saya tidak merasa demikian. Saya menyadari bahwa semua yang saya capai hingga kini adalah anugerah.

Karier di bidang keuangan dan akuntansi yang saya jalani hingga saat ini adalah anugerah. Kesempatan untuk menyalurkan cita-cita masa kecil, berperan sebagai guru bagi anggota tim saya di kantor, adalah anugerah. Dan kesempatan untuk menulis di Kompasiana, adalah kesempatan mewujudkan mimpi masa remaja, sebuah anugerah yang patut saya syukuri juga.

Jakarta, 19 September 2020
Siska Dewi
Referensi: 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun