Ringkasan cerita yang lalu
Amel terdeteksi mengidap Rubella di awal kehamilan pertama. Dokter obgyn pertama yang dikunjungi Amel menyarankan agar Amel menggugurkan kandungan namun Amel memilih untuk mempertahankannya.
Allah lalu mempertemukan Amel dengan seorang ahli bayi tabung yang berkenan menangani kehamilan dan membantu persalinannya. Tepat empat tahun setelah mengucapkan ijab kabul, Amel dan Dhika, suaminya, dikaruniai seorang putri yang cantik.
Enam tahun kemudian, Amel hamil anak kedua. Trimester pertama kehamilan Amel diwarnai dengan terjadinya pendarahan akibat plasenta yang belum menempel sempurna. Pada trimester kedua kehamilannya, Amel terdeteksi mengalami plasenta previa parsial, posisi plasenta Amel tidak bergerak dari bawah rahim sehingga menutup sebagian jalan lahir.Â
Badai Semakin Kencang, Aku Siap Menghadapi Kondisi Terburuk
Pada trimester ketiga, berdasarkan hasil USG 4 dimensi, aku dinyatakan mengalami plasenta previa total.
"Mel, sekarang kondisi kehamilanmu sudah bukan plasenta previa parsial, melainkan plasenta previa total." dokter Ivan berkata setelah melihat hasil USG. "Sampai dengan saat ini, posisi plasentamu masih tetap di bagian bawah rahim, dan sudah menutup seluruh jalan lahir."
Aku diingatkan untuk segera mencari pertolongan medis jika mengalami pendarahan yang memburuk. Kami sepakat bahwa harus diambil keputusan segera jika hasil USG 4 dimensi dua minggu berikutnya tidak membaik.
Dua minggu berikutnya, Dhika sedang tidak bertugas ke proyek sehingga dapat menemani aku kontrol ke dokter. Kami menunggu dengan tenang ketika dokter Ivan membaca hasil USG.
"Mel, ini plasenta akreta!" dokter Ivan berbicara dengan sangat hati-hati. "Ini adalah kondisi di mana plasenta kamu menancap/menembus terlalu dalam pada dinding rahim. Dilihat dari USG, sudah hampir menembus ke lapisan paling luar."
Aku terdiam. Terbayang di benakku wajah penuh khawatir dari dokter yang tadi menangani USG 4 dimensi.
"Jika kalian setuju," dokter Ivan memandang aku dan Dhika bergantian lalu melanjutkan, "Kita percepat proses persalinan. Rencana Amel melahirkan di bulan Maret, kita majukan ke bulan Februari."
"Dok, seburuk apa risiko plasenta akreta?" tanyaku ingin tahu.
"Plasenta akreta dapat menyebabkan pendarahan pada jalan lahir dan pendarahan hebat setelah melahirkan. Jika terjadi pendarahan di dalam, dapat mengancam nyawa ibu dan janin. Jika kamu dan Dhika setuju bayi dilahirkan lebih awal, maka selama tiga hari sebelum operasi, kamu harus mendapat suntikan untuk pematangan paru-paru bayi. Hal ini disebabkan bayimu akan dilahirkan secara prematur."
"Selain suntikan pematangan paru-paru bayi, apa lagi yang harus disiapkan, dok?" kali ini Dhika yang bertanya.
"Risiko operasi besar adalah pendarahan hebat yang dialami ibu setelah melahirkan. Pihak rumah sakit akan menyiapkan dua kantong darah. Team operasi juga perlu lebih besar. Saya sendiri yang akan memimpin. Ada satu dokter bedah onkologi, satu dokter anastesi dan perawat-perawat khusus ruang operasi. Sebelumnya, kalian harus berkonsultasi dengan dokter-dokter tersebut."
Saat kami berkonsultasi dengan para dokter yang akan dilibatkan oleh dokter Ivan dalam proses operasi, mereka terlihat sangat hati-hati dalam memberikan penjelasan, terutama penjelasan tentang hal terburuk yaitu perlu dilakukan angkat rahim dan adanya potensi aku harus masuk ICU karena risiko pendarahan yang hebat.
Sungguh kekuatan yang luar biasa, aku dan Dhika tetap tenang mendengar semua penjelasan dari para dokter. Kami yakin teguh bahwa dokter Ivan mampu menangani kasusku dengan baik dan selalu yakin bahwa Tuhan sangat menyayangi dan selalu mendengarkan doa-doa kami.
Kelahiran Anak Kedua
Pada hari H, Dhika tetap diperbolehkan menemani aku di ruang operasi. Kecuali diriku dan Dhika yang tetap tenang, aku melihat wajah-wajah tegang.Â
Aku sedang bahagia dan merasa bersyukur dalam hati saat itu. Walaupun maju satu bulan dari rencana awal, kami masih mendapatkan tanggal cantik untuk kelahiran putra kami, yaitu 17 Februari 2017 (17-02-2017).
Setelah bayi berhasil dikeluarkan dan diletakkan di dadaku, Dhika diminta keluar untuk mengikuti perawatan bayi. Dokter Ivan mulai memberikan anastesi untuk proses operasi selanjutnya, dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.
Saat terbangun, aku sudah berada di ruang recovery dengan transfusi darah dan peralatan monitor medis. Meskipun aku merasa masih sangat berat untuk membuka mata, namun aku melihat setiap beberapa menit ada petugas yang mendekat melakukan pengecekan.
Aku baru bisa mengenali wajah-wajah para petugas setelah dipindahkan ke ruang perawatan dengan monitor yang masih menempel. Operasi dimulai pukul 5.30 dan aku baru kembali ke ruang perawatan pada pukul 13.00. Aku merasa sangat lelah dan mengantuk.
Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
Sore hari, Dhika datang menjenguk bersama Dewi dan ibu. Mereka diam tidak membahas apapun. Aku merasa curiga karena sikap Dewi yang tidak ceria seperti biasa, padahal aku tahu dia sudah sangat tidak sabar menanti kehadiran seorang adik.
Ketika aku bertanya mengapa bayiku belum diantar ke ruangan sampai sore, Dhika hanya menjawab mungkin nanti malam. Aku tahu Dhika berbohong. Aku merasakan ketidakjujuran itu dari matanya yang tak berani menatap mataku, dari nada suaranya yang ragu-ragu, dan dari caranya mengalihkan pembicaraan agar aku tidak bertanya tentang bayi lagi.
Pada malam harinya, Dhika bercerita bahwa Dewa, demikian kami menamai bayi kami, harus masuk NICU kira-kira dua jam setelah dilahirkan karena kondisi pernafasannya yang menurun.
Kami berdua menangis malam itu. Hatiku sangat galau dan aku ingin bisa segera berjalan untuk melihat kondisi Dewa. Dhika berusaha menenangkan aku, walaupun aku dapat merasa bahwa sebenarnya dia juga tidak tenang karena belum bertemu dengan dokter NICU yang menangani Dewa.
Malam itu kami benar-benar bersujud memohon kepada Tuhan, dan berusaha membaca literatur serta menelpon saudara yang berprofesi dokter untuk memastikan kondisi bayi kami.
Keesokan harinya, karena dokter Ivan harus keluar kota, ada dokter pengganti yang datang untuk memeriksa kondisiku. Ternyata aku masih dipasangi tampon untuk menghentikan pendarahan dan hasil pemeriksaan hari itu menunjukkan Hb masih di bawah 8. Aku harus diberi transfusi satu kantong darah lagi.
Sore harinya, aku diizinkan untuk melihat Dewa di NICU. Dhika berpesan, "Kamu harus kuat. Kalau hati kamu kuat dan semangat, bayi kita pun akan merasakan hal yang sama".
Aku menahan tangis melihat tubuh kecil Dewa dipasangi selang yang terhubung ke mesin CPAP (Continuous Positive Airway Pressure). Dokter mengatakan, Dewa menderita Transient Tachypnea Newborn (TTN) dd Hyaline Membrane Disease (HMD). Dengan alat bantu pernapasan CPAP ini, aliran udara yang mengandung oksigen didorong ke hidung dan mulut Dewa.
Menurut penjelasan dokter spesialis anak yang menangani Dewa, selama dalam kandungan, paru-paru bayi masih berisi cairan yang dikeluarkan oleh alveolus (tempat pertukaran udara dengan darah) untuk mempertahankan fungsi dan perkembangannya yang normal.
Idealnya, cairan ini harus dikosongkan agar paru-paru dapat terisi dengan udara. Untuk mencapai hal ini, otak bayi akan merangsang sistem saraf selama masa menjelang kelahiran untuk membuat cairan paru-paru tersebut diserap ke pembuluh darah paru-paru.
Jika proses penyerapan paru-paru ini terhambat oleh satu dan lain hal, bayi dapat mengalami sesak nafas, yang dikenal dengan istilah Transient Tachypnea Newborn (TTN).
Seringkali, suatu penyakit memiliki gejala yang menyerupai penyakit lain. Jadi, dokter menggunakan istilah "dd (differential diagnosis atau diagnosis banding)". Diagnosis banding untuk Dewa adalah Hyaline Membrane Disease (HMD). HMD terjadi karena suatu zat bernama surfaktan yang ada di paru-paru bayi dan sering dialami oleh bayi yang lahir prematur.
Surfaktan adalah zat yang secara alami ada pada organ paru-paru. Bayi yang mengalami gangguan HMD umumnya belum memiliki kemampuan untuk memproduksi zat tersebut dalam jumlah yang dibutuhkan. Artinya, gangguan ini terjadi karena paru-paru "belum matang" sehingga tidak dapat menghasilkan zat surfaktan dalam jumlah yang memadai.
Ingin sekali aku menggendong Dewa pada kunjungan pertama tersebut. Aku ingin anakku merasa aman dalam dekapan cinta ibunya. Tetapi, sore hari itu, aku belum diizinkan menyentuh anakku.
Malam harinya, aku dan Dhika kembali merenung dan menangis berdua. Kami bertanya kepada Tuhan apakah ini cobaan atau teguran atau ujian untuk kami. Saat memutuskan untuk mempercepat kelahiran Dewa, aku dan Dhika telah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal terburuk yang mungkin terjadi pada diriku. Namun, yang terjadi adalah Dewa yang memerlukan perawatan intensif.
Setelah melalui renungan panjang, kami saling mengingatkan bahwa kami harus melihat dan menerima kenyataan serta tetap bergerak maju. Kami harus siap dengan segala konsekuensi yang akan timbul: Perawatan bayi yang lebih panjang, dan kemungkinan perawatan diriku sendiri serta konsekuensi terhadap keuangan keluarga. Kami diinformasikan bahwa rentang biaya perawatan bayi di NICU berkisar satu juta sampai lima juta Rupiah per hari, tergantung tindakan yang dilakukan.
Karena keesokan harinya Dhika harus berangkat ke luar kota, maka malam itu kami menyusun rencana ke depan dengan potensi-potensi hal yang akan terjadi. Dhika tak henti-henti memberi semangat, "Kamu harus kuat, kamu harus yakin bisa jaga bayi kita, pasti bayi kita akan merasakan hal yang sama. Kalau kamu bisa, maka bayi kita pasti bisa. Trust me, he has bounding with you not with the treatment."
Di hari kedua, aku sudah mampu berjalan pelan di area kamar perawatan. Aku bertekad, pada hari ketiga, aku harus bisa jalan sendiri ke NICU untuk sering menengok Dewa. Aku yakin, Tuhan pasti akan menguatkan hambaNya apabila punya semangat.
Di hari ketiga, saat dokter Ivan berkunjung, aku bertanya mengenai tindakan yang telah dilakukan terhadapku dan bayiku. Beliau menjelaskan bahwa alhamdulillah rahimku tidak perlu diangkat walaupun terjadi perdarahan internal sehingga aku memerlukan transfusi darah.
Sedangkan untuk Dewa, beliau berkata "Mel, aku kenal kamu orang yang kuat dan penuh keyakinan. Bayimu akan baik-baik saja. Percaya deh, dia akan pulang bersama kamu atau paling tidak beda beberapa hari saja. Ayo semangat, delapan bulan kehamilan sudah kamu lalui lo, pasti kamu bisa".
Sehari dua kali, aku menengok bayiku di NICU. Setiap kali, aku selalu menggenggam tangan dan mengajaknya bicara. "Nak, kamu bisa, kamu kuat bernafas tanpa bantuan, kamu anak bunda yang hebat dan luar biasa, sehat ya supaya kita bisa pulang bersama". Tiada henti aku meminta kepada Tuhan agar bayiku selalu diberi kekuatan dan dapat segera berkumpul dengan keluarga.
Alhamdulillah, di hari ketiga malam, dokter mengatakan ada perubahan yang sangat signifikan sehingga alat bantu bisa dilepas dan akan di observasi selama 24 jam. Apabila baik-baik saja maka bayi boleh pulang.
Hari keempat, aku diperbolehkan pulang. Namun, aku harus bersabar karena Dewa masih diobservasi 24 jam tanpa alat bantu. Pada hari kelima, akhirnya, Dewa diperbolehkan pulang. Aku merasa takjub luar biasa! Tak henti-hentinya aku berterimakasih kepada Tuhan atas segala nikmat yang diberikan dari masa kehamilan hingga kelahiran Dewa.
Ratusan juta biaya kami keluarkan untuk kelahiran anak kedua. Alhamdulillah Tuhan selalu mencukupkan rezeki dan anugerahNya terhadap keluarga kami.
Anak, Anugerah Yang Terindah Sekaligus Amanah dari Tuhan
Kini, Dewi telah berusia sepuluh tahun lebih satu bulan dan Dewa telah berusia tiga tahun lebih empat bulan. Keduanya tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas, sholeh dan sholehah. Bagiku, kesempatan untuk mengandung mereka dalam rahimku, melahirkan kemudian membesarkan mereka, adalah anugerah yang terindah yang harus aku syukuri, sekaligus amanah dari Tuhan yang harus aku pertanggungjawabkan.
Seringkali aku membisikkan kepada Dewa,"Kamu anak sehat, anak hebat, anak ganteng". Bisikan yang selalu dia balas dengan senyuman dan pelukan.
Pekerjaan Dhika yang mengharuskannya sering berada di proyek, telah membentukku dari seorang anak yang selalu diproteksi oleh ayahnya menjadi seorang istri dan ibu yang mandiri & multi tasking.
Alhamdulillah, anak-anakku memahami kondisi pekerjaan ayah mereka dan tetap memiliki hubungan yang dekat dengan Dhika meskipun tidak setiap hari bersama.
Sungguh luar biasa karunia Allah kepada kami sekeluarga. Aku selalu bersyukur atas karunia yang diberikanNya dan yakin bahwa setiap kejadian dalam hidup mempunyai hikmah positif dan pembelajaran untuk menjadikan diri menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Epilog
Demikianlah sekelumit kisah Amel yang mengalami dan mensyukuri pemeliharaan Allah yang menguatkan dalam hidupnya. Saya sungguh merasa terberkati diberi kepercayaan untuk menuliskan dan membagikannya, diiringi doa kami berdua, semoga sharing ini dapat menjadi berkat bagi siapa pun yang membacanya.
Jakarta, 17 Juli 2020
Siska Dewi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI