“Bicara tentang uang? Dengan siapa? Dengan pacar? Aduh, matre banget sih? Belum tentu nanti jadi nikah dengan dia, sudah mau kepo soal uang?”
Tidak dapat dipungkiri, masih banyak kalangan yang menganggap bahwa membicarakan tentang uang adalah sesuatu yang tabu, terutama dengan pacar. Namun, baiklah kita simak pembicaraan dua orang sahabat di bawah ini.
“Kami memang tidak secara spesifik membicarakan rencana pengelolaan uang ketika mempersiapkan pernikahan, tetapi kami membuat Perjanjian Pra-Nikah. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Karena itu, suamiku ingin hasil kerjaku dan hasil kerja dia dikelola bersama. Tetapi aku merasa tidak nyaman dengan pengaturan seperti itu. Aneh rasanya semua harta yang diperoleh setelah menikah harus menggunakan nama berdua.” curhat Erin kepada Luna, sahabatnya.
“Kami sebaliknya. Kami tidak membuat Perjanjian Pra-Nikah. Pada awal pernikahan, kami sepakat bahwa suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab atas seluruh pengeluaran rumah tangga. Kami membagi anggaran rumah tangga menjadi beberapa kelompok besar:
makanan (termasuk susu bayi), pakaian, tas, sepatu (termasuk sesekali ke salon), kesehatan (termasuk olahraga), pendidikan anak, kontribusi bulanan untuk orangtua dan mertua, pengeluaran rutin lainnya seperti listrik, air, gaji asisten rumah tangga dan baby sitter, asuransi (kami punya asuransi jiwa, asuransi kesehatan dan asuransi pendidikan anak) dan tabungan.” Luna bercerita tentang caranya mengelola keuangan keluarga.
“O iya, untuk tabungan, kami mengelola dari sisa gaji masing-masing dan atas nama masing-masing. Suamiku tipe investor yang agresif. Dia banyak main saham. Kalau aku sih, lebih suka yang aman-aman saja. Sekian persen dari sisa penghasilan, aku depositokan sebagai dana darurat. Selebihnya aku main di reksadana dan obligasi. Untuk obligasi pun, aku hanya berani main di obligasi pemerintah.” Lanjut Luna lagi.
“Suamimu menanggung seluruh pengeluaran rumah tangga?” Erin tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.
“Sebagian besar, pada awalnya.” Luna tersenyum kecut. “Aku hanya menanggung kontribusi bulanan untuk orangtuaku. Kalau sesekali aku sedang jalan-jalan sendiri ke mall dan aku naksir baju, aksesoris, sepatu atau tas tertentu, ya aku beli pakai uangku sendiri. Selebihnya seluruh pengeluaran rumah tangga menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Itu pada awalnya.
Tapi sejak gajinya dipotong tiga puluh persen akibat pandemi COVID-19 sementara gajiku tidak dipotong, dia mulai meminta aku berkontribusi lebih. Aku sampai berpikir mau buka rekening baru tanpa sepengetahuan dia, untuk menampung bonus-bonus berkala kita. Dia cukup tahu gaji tetap aku saja. Kalau bonus kan, aku bisa beralasan akibat pandemi kita tidak dapat bonus lagi. Sudah bagus gaji aku tidak dipotong. Aku tidak mau makin lama dia meminta aku berkontribusi makin banyak lagi.”
“Hm, mulai muncul bibit-bibit kebohongan ya,” Erin tersenyum menggoda sahabatnya.
Luna tertawa mendengar komentar Erin. “Tahukah kamu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harris Poll untuk National Endowment for Financial Education di tahun 2016, dua dari antara lima responden mengaku berbohong tentang keuangan kepada pasangannya?”(1).
Sampai Luna pamit setelah acara ngopi bersama mereka usai, Erin masih belum merasa lega. Terngiang lagi kalimat yang tadi diucapkan Luna sambil tertawa, “Dalam agama kami, terdapat aturan bahwa seorang suami wajib menafkahi isteri dan anak-anaknya. Sementara jika isteri mampu bekerja, dia tidak wajib memberikan hasil kerjanya kepada keluarganya.”
Beruntungnya Luna, batin Erin dalam hati. Teringat akan pembagian sama rata dalam membiayai kebutuhan keluarga antara dirinya dan suami, meskipun mereka tak pernah membuat kesepakatan seperti itu. Semua berjalan alami saja. Selama ini, dia tak pernah mempermasalahkan hal tersebut dan berusaha mengelola sebaik-baiknya sisa penghasilannya.
Semua terasa baik-baik saja hingga tiba-tiba suaminya ingin tabungan mereka dikelola bersama. Erin tak habis pikir, mengapa dia dan suaminya yang sudah membuat Perjanjian Pra-Nikah menjadi lebih ribet mengurus keuangan dibanding Luna dan pasangannya?
Perlukah Perjanjian Pra-Nikah?
Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement) umumnya dibuat sebagai perlindungan hukum terhadap harta bawaan calon suami atau calon isteri.
Perjanjian Pra-Nikah atau lebih tepatnya disebut Perjanjian Perkawinan, mengacu kepada Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang mengatur sebagai berikut:
– Harta dan utang suami-isteri sebelum menikah adalah milik masing-masing;
– Harta dan utang suami-isteri setelah menikah adalah milik bersama kecuali ada perjanjian sebelumnya.
Jelas diatur dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa harta dan utang suami-isteri sebelum menikah, termasuk harta warisan, adalah milik masing-masing. Maka, Perjanjian Perkawinan berisi kesepakatan calon suami-isteri tentang harta dan utang yang akan timbul setelah menikah jika terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak, termasuk pengaturan urusan keuangan selama pernikahan.
Perjanjian Perkawinan lebih terasa manfaatnya jika salah satu dari pasangan suami-isteri atau keduanya adalah pengusaha. Seorang pengusaha tentu tak lepas dari adanya utang dan piutang usaha. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan, maka harta masing-masing pihak terlindungi. Ketika salah satu pihak bangkrut, hanya satu pihak saja yang merugi. Pihak yang satu lagi tidak kena imbasnya. Dengan demikian, keuangan keluarga menjadi lebih aman.
Agar Perjanjian Perkawinan efektif, penting bagi kedua belah pihak untuk bersikap terbuka dalam mengungkapkan harta dan utang bawaan. Selain itu, penting juga dibahas mengenai potensi utang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab melunasinya.
Komunikasikan Secara Terbuka
“Money is a potential conflict point in a relationship, but it also can be something that draws a couple closer,” says Ted Beck, president and CEO of the National Endowment for Financial Education® (NEFE®). “Couples should talk openly, and often, about money and should understand their partners’ financial values.”(2)
Bercermin dari pengalaman Erin dan Luna, seperti kata Ted Beck, diperlukan keterbukaan dan kejujuran ketika membicarakan uang dengan pasangan.
Ketika sepasang kekasih menikah, “aku” dan “kamu” menjadi “kita”. Penting bagi pasangan suami-isteri untuk bersikap terbuka dan jujur mengenai penghasilan, harta dan utang masing-masing. Karena, meskipun tidak ada salahnya harta dipertahankan atas nama masing-masing, namun bagi pasangan suami isteri, tidak ada lagi hartaku dan hartamu. Hartaku dan hartamu telah melebur menjadi harta kita sejak hari pertama sepasang kekasih meresmikan hubungan mereka menjadi pasangan suami isteri.
Pada masa sekarang, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak Orang Pribadi sangat membantu. Jika diisi dengan tertib dan jujur, SPT akan memperlihatkan apa dan berapa nilai harta dan utang masing-masing orang.
Setelah menikah, seorang isteri boleh memilih untuk melepas Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang sebelumnya sudah dia miliki dan melaporkan seluruh harta dan utangnya dalam SPT suami. Namun, isteri juga boleh memilih tetap mempertahankan NPWP serta melakukan kewajiban perpajakannya sendiri. Alternatif mana yang akan dipilih, tentunya perlu disesuaikan dengan kondisi dan kenyamanan Anda.
Setelah saling memperlihatkan daftar harta dan utang, mulailah dengan diskusi mengenai tempat tinggal. Apakah saat ini Anda tinggal di rumah sendiri, di rumah kontrakan, atau di rumah mertua? Apakah Anda sudah nyaman dengan tempat tinggal Anda saat ini? Adakah rencana membeli rumah?
Bagaimana dengan orangtua dan mertua? Apakah Anda berniat untuk memberikan kontribusi keuangan bulanan kepada mereka? Bagaimana dengan pengeluaran rumah tangga Anda sendiri?
Buatlah Anggaran
Sekarang, buatlah anggaran pengeluaran bulanan keluarga Anda. Mulai dari belanja bahan makanan, minuman dan kebutuhan rumah tangga lainnya; belanja pakaian termasuk aksesoris, tas, sepatu dan perawatan wajah/rambut/tubuh; listrik; air; telepon; olahraga; pemeliharaan kesehatan; rekreasi; kontribusi bulanan untuk orangtua dan mertua; dan biaya bulanan lainnya.
Setelah diketahui dengan jelas besaran kebutuhan bulanan, sepakati bersama pasangan mengenai berapa besar kontribusi dari suami dan isteri terhadap pengeluaran tersebut. Kesepakatan ini perlu dibuat berdasarkan kenyamanan Anda berdua dan tak perlu dipengaruhi oleh pandangan orang lain, karena hanya Anda berdualah yang mengetahui kondisi yang Anda hadapi dan apa yang paling nyaman bagi Anda.
Dianjurkan agar masing-masing suami dan isteri menyetor bagian kontribusinya ke dalam suatu rekening rumah tangga. Rekening ini bisa berupa rekening bersama (join account), bisa juga atas nama salah satu pihak, tergantung kenyamanan Anda.
Rencanakan Tabungan, Asuransi dan Investasi
Setelah masing-masing menyepakati kontribusi dari penghasilan untuk pengeluaran rutin rumah tangga, bicarakanlah opsi yang paling nyaman bagi Anda mengenai bagaimana mengelola sisanya. Jika Anda adalah pasangan suami isteri yang dua-duanya bekerja dan perusahaan sudah menyediakan fasilitas dan asuransi kesehatan yang cukup, maka Anda mungkin tidak lagi memerlukan asuransi kesehatan.
Karena kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi nanti, ada baiknya menyisihkan sebagian dari penghasilan Anda berdua untuk dana darurat. Dana darurat ini dapat Anda simpan dalam bentuk deposito atas nama berdua yang dapat dicairkan sewaktu-waktu jika terjadi kondisi darurat.
Seorang teman saya memberi nasihat bijak mengenai sisa penghasilan suami isteri setelah dikurangi kontribusi untuk kebutuhan keluarga dan dana darurat. “Bagaimana pun, suami dan isteri tetap adalah dua pribadi yang berbeda dengan kecenderungan investasi yang berbeda pula. Ada yang ingin mendapatkan hasil besar dan bersedia menanggung risiko besar, ada yang cenderung menginginkan opsi investasi yang aman meskipun hasilnya tidak begitu besar.
Jika suami isteri sama-sama bekerja, maka alangkah bijaknya jika mereka memberi kebebasan kepada pasangan untuk menikmati hasil jerih payahnya. Setelah sama-sama mendahulukan kepentingan bersama, memberi kontribusi untuk pengeluaran rumah tangga dan dana darurat, berilah kebebasan kepada pasangan untuk menentukan apa yang akan ia lakukan dengan sisa penghasilannya. Percayalah bahwa pasanganmu akan tetap ada untukmu, termasuk merogoh tabungannya untuk menolongmu, pada saat kamu butuh.”
Komunikasikan Kembali, Minimal Setahun Sekali
Saat untuk mengisi SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah saat yang tepat untuk berkomunikasi secara terbuka kepada pasangan mengenai harta dan utang atas nama masing-masing. Dengan demikian, suami dan isteri dapat bersama-sama melihat hasil investasi masing-masing, mengevaluasi apakah tujuan keuangan sebagai pasangan suami isteri sudah tercapai, dan mensyukuri setiap progress yang dialami.
Referensi:
- Two in Five Americans Confess to Financial Infidelity Against Their Partner. (2016). https://theharrispoll.com/
- The Conversation Couples Should Have on Valentine's Day. (2017). https://www.nefe.org/
Jakarta, 09 Juli 2020
Siska Dewi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H