Mohon tunggu...
Anna EP
Anna EP Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti di Bidang Kimia Lingkungan sejak tahun 1996

Peneliti yang memiliki perhatian dalam hal menurunkan emisi karbon, pencapaian emisi nol bersih, energi baru terbarukan dan zero waste technology.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pemanfaatan Karbon (Carbon Utilization)

10 Januari 2024   17:11 Diperbarui: 10 Januari 2024   17:41 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CARBON CAPTURE" DALAM KORIDOR "CLIMATE CHANGE" YANG MENGEMUKA DALAM DEBAT CAWAPRES 2024

Beberapa waktu lalu debat cawapres menarik perhatian masyarakat ilmiah maupun masyarakat umum menyangkut istilah "CARBON CAPTURE" yang dilontarkan salah satu CAWAPRES dalam debat di TV nasional (cnbcindonesia.com). Dan konon isu tersebut akan menjadi topik pada debat ke-4 akan datang.

Sebelum membahas tentang carbon capture sebaiknya kita membahas sedikit tentang apa itu CO2(g) (Karbon dioksida). Karbon dioksida adalah molekul gas yang ada di udara tidak berwarna dan tidak berbau artinya kita tidak bisa mendeteksinya dengan indra penglihatan maupun penciuman. 

Walaupun keberadaannya dengan kadar yang rendah di udara namun CO2(g) memainkan peran penting dalam siklus karbon dan mengontrol iklim global. CO2(g) dilepaskan ke udara sebagai produk samping aktifitas dan proses respisrasi aerobik dan tanaman/tumbuhan menangkapnya untuk menggunakannya dalam proses fotosintesa dan melepaskan oksigen ke udara. 

Karbon dioksida juga merupakan green house gas yang menyerap radiasi panjang gelombang di atmosfir dan meredam kelepasannya ke ruang angkasa. Penangkapan radiasi oleh CO2(g) dan gas gas green house lainnya (seperti uap air, metana, NOx dan CFCs (chlorofluorocarbons) menjaga planet kita menjadi hangat dan bisa dibayangkan jika tanpa lapisan atmosfir ini, membuat kehidupan apakah bisa berlangsung di planet ini? 

Umat manusia saat ini telah dan sedang merubah/mengganggu keseimbangan kimia atmosfir global. Konsentrasi atmosfer CO2(g) dilaporkan meningkat sebagai hasil langsung aktifitas manusia seperti deforestasi (penggundulan hutan) dan penggunaaan bahan bakar fossil (batu bara, minyak dan gas) demi hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk tanpa management yang bijaksana. Lebih dari 150 tahun yang lalu sejak 2003 dilaporkan bahwa konsentrasi  CO2(g) meningkat sebanyak 30% dari 280 ppm (mg/liter) menjadi 370 ppm dan menunjukan kenaikan  suhu rata rata permukaan  bumi diantara 0.4-0.80C. (sciencedirect.com). 

Sejak tahun 2000-2022 dilaporkan bahwa kenaikan CO2(g) telah mencapai 417.06 ppm di tahun 2022, artinya selama 22 tahun kadar karbon dioksida naik menjadi 47 ppm atau rata rata pertahunnya 2 ppm dari tahun sejak 2000-2022. Seperti dilaporkan oleh NOAA.climate.gov adanya kenaikan panas permukaan bumi yang bisa dilihat pada grafik di bawah ini yang mulai melebihi 1C tahun terakhir ini.

Pengaruh kadar karbon dioksida terhadap kesehatan manusia

CO2(g) adalah penyebab sesak nafas (asphyxiant) yang menggantikan peran oksigen dari pernafasan yang menyebabkan hypoxia. Memberikan efek kepada kardiovaskular seperti tachycardia, arrhythmias dan ischemia. 

Efek pernafasan juga dilaporkan seperti hyperventilation, cyanosis dan pulmonary edema juga disebabkan oleh menghirup karbon dioksida berlebih. Berbagai pengaruh saraf (neurologic effect) seperti pusing, sakit kepala. Kantuk dan kebingungan mental (mental confusion) dapat juga terjadi dengan tingginya kadar karbon dioksida yang kita hirup.

Pengaruh perubahan Iklim (climate change)

Bahan bakar fosil (Batubara, minyak dan gas) disebut sebagai penyumbang terbesar perubahan iklim (climate change) disamping deforestasi dengan pembakaran hutan liar oleh perkebunan, terhitung lebih dari 75% dari GHGs dan hampir 90% dari semua emisi karbon dioksida.

Kenaikan permukaan laut terdampak pada peta laut dan kehidupan pesisir

Samudra menyerap Sebagian besar panas dari global warming dan sekitar 90% dan dilaporkan mengalami peningkatan dua dekade terakhir meliputi seluruh samudrea. 

Sebagaimana dilaporkan volume nya meningkat karena air bertambah. Melelehnya lembaran es di kutub juga menyebabkan permukaan perairan samudera naik dan mengancam komunitas pulau pulau dan pesisir pantai dan juga menghilangkan luas daratan yang mengubah peta suatu negara termasuk Indonesia. 

Walaupun samudera berperan sebagai siklus karbon dengan menyimpannya dari atmosfir, namun jika berlebihan membuat perairan samudera menjadi asam, dan membahayakan kehidupan laut sebagai sumber makanan dan juga terumbuh karang (coral reefs) sebagai proteksi pantai dan tempat pemijahan biota laut yang berpotensi ekonomi.

Naiknya suhu samudera berdampak terhadap cuaca

Naiknya suhu samudera mengakibatkan cuaca ekstrim dengan meningkatnya badai dan merubah pola cuaca. Memberikan energy kepada badai dan siklon tropis lainnya secara berulang dan makin berkekuatan pergerakannya ke seluruh penjuru dunia menyabakan banjir dan kerusakan dimana-mana. 

Pola cuaca yang berubah akibat suhu samudera menjadi hangat menyebabkan peran samudera menjadi kunci pergerakan air di planet Bumi. Karena samudera yang begitu besar ukurannya membuat siklus evaporasi (penguapan) dan presipitasi (hujan) menjadi terganggu. 

Evaporasi yang berlebih memberikan kelambapan atmosfir yang berlebih meliputi samudera. Kelebihan evaporasi ini mempercepat terjadinya badai hujan dan badai salju pada daerah pesisir pantai (coastal area) dan daerah daerah terpencil. 

Sementara daerah-daerah yang basah akan mengalami hujan berlebih dan daerah yang gersang akan mungkin menjadi kering dan tandus akibat siklus air yang berubah secara global. Masa panen pun ikut berubah dan mempegaruhi ketersediaan pangan dunia. 

Laporan gagal panen akibar musibah alam, gagal panen akibat cuaca yang berubah ubah, gagal panen akibat hujan dengan Tingkat keasaman yang cukup tinggi telah dilaporkan dimana mana oleh para ahli (whoi.edu).

Bukannya pengaruh karbon dioksida di atmosfir kita mulai menakutkan bagi kita saat ini dan generasi yang akan datang?

Ketika isu "Carbon Capture"dilontarkan maka harusnya juga dibicarakan "Carbon Storage" dan "Carbon Utilization". Jadi isu ini menjadi satu paket yang tidak terpisahkan satu sama lain dari sudut pandang teknis dan dalam payung perubahan iklim (climate change) dan topik ini belum secara langsung menyentuh  isu "carbon footprint dan carbon trading" sebagai kebijakan ekonomi politik serta global trading di era saat ini dan yang akan datang. 

Mungkin terkadang sudut pandang Carbon Capture dianggap hanya sebagai proses mitigasi semata untuk mengurangi emisi karbon sebagai salah satu senyawa gas dari gas-gas rumah kaca (GHGs) yang mengakibatkan pemanasan global (global warming) yang dipertahankan tidak melebihi 1,50C.

Namun isu ini tidak selamanya menjadi menakutkan para ekonom dan politikus jika bersentuhan dengan tatanan global menyangkut pertumbuhan ekonomi suatu negara. 

Secara nasional kompleksitas isu ini harus diselesaikan bersama sama oleh pemerintah terutama kementrian teknis dan seluruh komponen masyarakat luas sebagai tindakan mitgasi bersama demi tujuan kemanfaatan emisi karbon dioksida sebagai sumber energy dan juga sumber daya ekonomi lain termasuk pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja baru.

Carbon capture (penangkapan karbon) dan Carbon storage (penyimpanan karbon) adalah suatu proses dimana aliran karbon dioksida (CO2) dari aktivitas produksi dipisahkan dari gas buang lainnya, diproses dengan teknologi yang ada saat ini dan dipindahkan atau ditransport ke suatu lokasi yang dapat tersimpan bisa di dalam tanah dengan stuktur geologi tertentu, dan juga di dalam tengki bertekanan dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan pemanfaatan (Carbon Utilization).

Masyarakat dunia menyadari bahwa fosil fuel (batu bara, minyak dan gas) adalah sumber energy yang dapat habis dan tidak bisa diperbaharui. Pengunaannya sebagai energi saat ini adalah merupakan beban fiskal bagi setiap negara pengimpor fosil fuel dan bukan hanya itu saja, akan juga menjadi komoditi ekonomi dan politik dunia. 

Sebahagian negara maju telah melangkah lebih jauh untuk memanfaatkan hasil samping energy fosil fuel berupa emisi CO2(g) sebagai energy baru dan juga untuk komiditi lainnya. 

Sejak tahun 1930an secara laboratorium dan implementasinya di era tahun 1970an carbon capture telah dilakukan. Selanjutnya mega projek dekarbonisasi (carbon capture, storage, and utilization) dilakukan sejak tahun 2000an di banyak negara maju yang enggan menandatangani perjanjian Paris, lalu pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan Indonesia?

Perpres 61 tahun 2011 Tentang Rencana aksi nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (peraturan.go.id), dikeluarkan sebagai upaya dan komitmen pemerintah untuk mengurangi pemanasan global akibat efek/pengaruh negatif gas gas rumah kaca. 

Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016 dan merupakan kelanjutan dari Konvensi-Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21) dibulan Desember 2015 (ppid.menlhk.go.id). Keseriusan pemerintah untuk melaksanakan agreement tersebut terbukti dengan diundang undangkan nya di dalam Undang Undang No 16 Tahun 2016 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Oktober ditahun tersebut.

Dekarbonisasi sebagai tindakan mitigasi dilakukan tahun 2017 setelah 10 tahun lebih tertinggal di belakang negara-negara maju, Ketika itu, Indonesia mendirikan National Center of Excellence CCS/CCUS untuk pengembangan kapasitas nasional di bidang teknis, keselamatan, ekonomi, sosial, dan peraturan dari CCS/CCUS. 

Kegiatan utama CCUS (Carbon Caprute, utilization and storage) dilakukan dengan memperkuat kerangka kerja pemerintah dan sektor swasta di antaranya melalui menciptakan platform yang berkelanjutan untuk pemerintah, sektor swasta, dan investor untuk mempercepat implementasi CCUS. 

Kemudian mengidentifikasi peluang investasi dan meningkatkan bisnis lingkungan di area CCUS untuk menarik mitra pengembangan kerja sama CCUS dan yang terakhir mensosialisasikan kebijakan, regulasi, dan praktik investasi CCUS yang merupakan bagian dari energi sistem energi bersih yang terintegrasi (www.esdm.go.id). 

Isu tentang karbon tidak hanya berhenti pada tatanan mitigasi saja, namun berlanjut kepada tatanan ekonomi baru, pengetahuan dan disiplin ilmu baru yang diajarkan diberbagai universitas telah dilakukan. 

Di lain pihak pemerintah juga melihatnya sebagai komiditi bursa karbon yang masih terus didiskusikan sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi hijau (carbon trading) dengan penerapan pajak karbon (carbon tax), namun hal ini perlu diperhatikan dan dipelajari secara hati hati terhadap beban yang dialami industri manufaktur dan pengguna produk dalam hal ini masyarakat luas pasca covid-19. 

Dengan dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional Dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 41% di tahun 2030. 

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pelaku usaha dan (BUMN) melihat isu ini sebagai suatu ekonomi biaya tinggi yang akan dibebani kepada masyarakat sebagai pengguna dan atau setiap produk yang dihasilkan bisa berkompetisi dengan produk import yang belum bisa dibatasi kehadirannya dengan harga relatif murah? 

Lalu apakah export import didalam industry minyak dan gas sebagai penghasil utama gas karbon dioksida dibicarakan juga secara global dalam isu "carbon trading" sebagai bahagian dari carbon footprint? Topik ini akan dibahas dilain kesempatan untuk "Carbon footprint dan carbon trading"

Teknologi CCSU (carbon capture, storage dan utilisation) sebagai mitigasi efek gas gas rumah kaca 

Untuk memitigasi dampak perubahan iklim, yakni dengan mengurangi jumlah emisi karbon dari berbagai sumber seperti batu bara, bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan proses pengolahan sampah dengan cara insenerasi maka carbon capture (penangkapan atau perangkap karbon) diajukan sebagai solusi untuk mengatasi isu ini.  

Dengan menangkap CO2(g) dari proses yang dilakukan berbagai industri seperti industri power plant (PLN), industry semen, industri baja, industri textile, industri pemprosesan minyak dan gas (Pertamina), serta berbagai industri lainnya, maka teknologi penangkapan ini bisa mencegah berton ton emisi gas rumah kaca (GHGs) terlepas dengan bebas ke atmosfir yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global bisa dibaca di (gramedia.com).   

  • Direct air capture (DAC)
  • Teknologi DAC, menggunakan filter untuk menangkap karbon dioksida dari atmosfir secara langsung. Setelah mengumpulkan CO2(g), kemudian dimampatkan (dikonsentratkan) lalu disimpan atau dikonversikan menjadi produk yang bermanfaat.
  • Carbon Capture at Power Plant
  • Teknologi ini digunakan untuk menangkap emisi karbon yang dihasilkan oleh power plant (Pembangkit tenaga Listrik) sebelum terlepas ke atmosfir. Kemudian CO2(g) tersebut dimampatkan menjadi CO2(l) dan dikirim ditempat penyimpanan atau di gunakan untuk perolehan kembali minyak pada industri exploitasi minyak mentah.
  • Enhanced Rock Weathering (ERW)
  • Teknologi ini menggunakan batuan mineral silikat seperti batuan basalt dan glauconite untuk mempercepat proses alami pelapukan yang normalnya bisa memakan waktu ribuan tahun dan juga meningkatkan kemampuan tanah untuk menangkap karbon dioksida.
  • Aqueous Amin-Based CO2 Capture
  • Teknologi ini mengunakan senyawa amina untuk menyerap CO2 dari industri -industri manufaktur sebelum terlepas ke atmosfir. CO2 kemudian dipisahkan terlebih dahulu dari senyawa amina yang mengikatnya dan selanjutnya disimpan atau dugunakan kembali.
  • Membrane Gas Separation
  • Teknologi ini menggunakan material permeable untuk memisahkan karbon dioksida dan gas gas lainnya. Dioperasikan biasanya pada suhu dan tekanan yang rendah dan sementara ini belum digunakan dalam skala industri.
  • Carbon Capture and Conversion
  • Teknologi ini adalah teknologi penangkapan dan konversi CO2 menjadi product yang bermanfaat seperti bahan bakar, industri kimia, dan polimer. Teknologi ini juga merupakan pendekatan berkelanjutan untuk mengurangi carbon footprint juga menghasilkan produk produk yang bernilai.
  • Bioenergy with Carbon Capture and Storage (BECCS)
  • Teknologi ini digunakan untuk menangkap CO2 dari sumber energi biomasa yang menghasilkan emisi karbon dioksida dan menyimpannya. Prosesnya tidak hanya menangkap emisi tetapi juga menghasilkan listrik dan dikatakan sebagai negatif karbon (carbon-negative). Bioenergy with carbon capture and storage adalah suatu sumber energy rendah yang dapat menjadi sumbangan yang signikan untuk dekarbonisasi ekonomi.
  • Chemical Looping
  • Teknologi ini menggunakan partikel berbasis logam didalam suatu proses yang bereaksi dengan karbon dioksida. Logam disini bertindak sebagai katalis untuk memisahkan CO2 dari bahan bakar. Setelah itu CO2 ditangkap dan disimpan sementara bahan bakar
  • Yang tertinggal untuk pembakaran lebih lanjut. Teknologi ini masih dalam tahapan experiment, tetapi menjanjikan dalam mereduksi emisi karbon dari industri industri yang bergantung pada bahan bakar fosil (fossil fuel).
  • Cryogenic Carbon Capture (CCC)
  • Teknologi ini relative baru yang bergantung pada system pendinginan cryogenic untuk menangkap dan menghilangkan aliran gas CO2. Teknologi ini dapat mengekstrak CO2 pada laju alir yang lebih tinggi daripada system konvensional dan juga dapat menyimpan CO2 dengan volume penyimpan yang lebih kecil. Aplikasi teknologi ini masih terbatas namun menunjukan potensi mitigasi emisi karbon dari berbagai sumber.
  • Carbon Capture Using Nanotechnology
  • Teknologi ini melibatkan penggunaan nano material seperti karbon nanotube untuk menangkap dan menyimpan CO2 pada tekanan yang sangat rendah dibandingkan dengan teknologi lainnya. Metoda ini menggunakan sedikit sumberdaya, energi, dan menghasilkan minim sampah (less waste) dibandingkan teknologi teknologi penangkapan karbon lainnya. Meskipun masih di dalam tahap eksperimen namun teknologi ini sangat menjanjikan utuk tingkat efisiensi dan perluasan penggunaannya (scalability).

Masing masing teknologi mempunyai keunggulan maupun keterbatasannya, membuat satu atau lainnya lebih cocok untuk skenario-skenario yang berbeda dalam penggunaannya. Akan tetapi apa yang dimiliki setiap teknologi menunjukan kemampuan sebagai instrument esensial untuk menurunkan emisi dan konsentrasi gas gas rumah kaca yang mengancam kelangsungan hidup kemanusiaan (long-term survival of humanity). 

Meringkaskan teknologi penangkapan karbon dan aplikasinya diberbagai sektor industri adalah kebijakan yang krusial untuk menurunkan karbon footprint. Teknologi teknologi ini komplemen (saling melengkapi) satu dengan yang lain untuk ditujukan kepada emisi karbon dari berbagai sumber dan menawarkan pendekatan berkelanjutan (suitainable approach). Dan tentunya memenuhi pertumbuhan kebetuhan energy yang diperlukan untuk kemajuan ekonomi disisi lainnya juga menurunkan dampak dari perubahan iklim (climate change). 

Oleh karena itu, kebijakan dan keputusan menggunakan teknologi di dalam semua sektor industri vital harusnya menjadi prioritas utama pemerintahan yang akan datang dalam isu dekarbonisasi serta perdagangan karbon (carbon trading) dengan tujuan mencapai pembangunan berkelanjutan dan planet yang sehat untuk generasi akan datang.

Cerita sukses projek projek CCSU (carbon capture, storage dan utilisation) sebagai mitigasi efek gas gas rumah kaca 

Emisi global karbon dioksida (CO2) 1940-2023 yang dipublikasi oleh Ian Tiseo pada 6 Desember 2023 (www.statista.com), disebutkan bahwa emisi global karbon dioksida dari bahan bakar fosil dan industri ditotalkan sebesar 37.15 milliar metrik ton (GtCO2) di tahun 2022. Emisi ini diproyeksi naik 1.1 % ditahun 2023 dan mencapai rekor tinggi 37.55 GtCO2. Dan disampaikan juga bahwa sejak tahun 1990 global emisi karbon dioksida telah meningkat lebih dari 60%. 

Lebih lanjut disebutkan pula bahwa negara negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia adalah Tiongkok (29.2%), USA (11,2%), India (7.3%), Uni Eropa (6,7%), Rusia (4,8%) dan Brazil (2,4%). Tiongkok tidak selalu sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, tetapi dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi di decade ini yang menunjukan melonjaknya emisi. Sejak tahun 1990, emisi CO2 di Tiongkok naik 400 %.

Projek yang dibangun di Tiongkok

Penggunaan baru bara sebagai sumber energy di Tiongkok tahun 2019 tercatat 60% dari total sumber energy yang digunakan (planete-energies.com), mayoritas emisi CO2 berasal dari power plant berbahan bakar batu bara atau industry kimia seperti produksi ammonia sintetik, methanol, pupuk, gas alam dan proses produksi pencairan batu bara (coal liquification) atau lazimnya disebut batu bara diubah menjadi bahan bakar cair (coal to liquid fuel). 

Menurut IEA (international energy agency) sekitar 385 pembangkit listrik tenaga batu bara atau sekitar 900 Gigawat yang berdekatan cocok untuk dilakukan penangkapan karbon dan penyimpanan (CCS program). Projek penangkapan karbon dan penyimpanan terbesar di Tiongkok pada stasiun pembangkit listrik batu bara selesai di Januari 2021. Projek ini diharapkan mencegah 150.000 ton emisi CO2 setiap tahun dengan tingkat tangkapan 90%.

CCS program juga dilakukan di Songyuan, propinsi Jilin pada ladang minyak Jilin. Projek ini dimulai 2009 dan di kembangkan menjadi komersial untuk China National Petroleum Corporation (CNPC). Projek ini selesai di tahun 2018 (www.globalccsinstitute.com). Sumber CO2 dekat ladang gas Changling, dimana 22.5% gas alam diektraksi. 

Setelah pemisahan proses dilakukan CO2 gas ditransport ke ladang minyak Jilin melalui pipa dan diinjeksi kedalam sumur-sumur untuk meningkatkan perolehan kembali minyak. Untuk komersialisasi kapasitas, fasilitas ini menginjeksi 0.6 Mt CO2 per tahunnya dan secara akumulative telah diinjeksi lebih dari 1.1 juta ton CO2.

Sinopec Qilu Petrochemical CCS Project

Sinopec membangun penangkap karbon (carbon capture) unit yang dioperasikan tahun 2019. Fasilitas ini berlokasi di kota Zibo, Provinsi Shandong, dimana pabrik pupuk menghasilkan CO2 dari gasifikasi coal/coke. CO2 ditangkap dengan metoda cryogenic destilasi dan ditransport melalui pipa dalam bentuk cair  ke ladang minyak Shengli untuk perolehan minyak. Konstruksi mulai tahun 2018 dan diharapkan dapat menangkap dan menginjeksi 0,4 Mt CO2 per tahun.

Teknologi yang diterapkan disini adalah gambungan teknologi nomer 2, 3 dan 9 didalam proses penangkapan penyimpatan dan pemanfaatan CO2(g). Gambar dibawa menunjukan proses recovery minyak dan juga CO2 akan tersimpan didalam kerak bumi untuk proses mineralisasi dan tidak terlepas ke atmosfir.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Projek pertama yang dibangun Indonesia berlokasi di Papua Barat pada November 2023 dan diharapakan CO2 nya bisa diinjeksi ke kerak bumi pada tahun 2026. Diestimasi sebesar 8  gigatone CO2 akan diinjeksi kedalam ladang minyak dan gas yang kurang maksimal minyak dan gasnya untuk memperoleh maksimum recovery. Sementara diperkirakan 400 gigaton CO2 di injeksi ke dalam kerakbumi yang jenuh dengan air asin (www.reuters.com).

Bagaimana karbon dioksida dapat dimanfaatkan dindustri lainnya (carbon utilization)

CO2(g) tidak hanya dibutuhkan oleh tanaman sebagai bahagian dari proses fotosintesis di planet kita namun juga bermanfaat untu industri minyak dan gas seperti disebutkan di atas. 

Manfaat lainnnya adalah di berbagai industri refrigerant dan coolant. Contoh yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah pada industry makanan dan minuman. Dalam minuman berkarbonasi seperti bir, soft drink dan wine menggunakan karbon dioksida disamping membuat minuman menjadi terasa segar untuk diminum juga berfungsi untuk mencegah tumbuhnya bakteri dan jamur. 

Karbon dioksida juga biasanya digunakan sebagai de-caffeinating coffee, atau teknik untuk menurunkan kadar kafein. Karbon dioksida juga dapat digunakan untuk menjaga produk makanan yang dikirim tetap dingin selama transportasi. Dan jika digabung dengan ethylene oksida bisa mempercepat pembekuan. 

Di dalam produksi makanan kemasan pengunaan karbon dioksida sebagai blankit (selimut) untuk mencegah kontaminan bakteri dan jamur lebih efektif dan diaplikasi saat ini. Pemanfaatan karbon diaksida disegala bidang industri dapat meningkatkan kualitas dan juga membuka banyak lapangan kerja www.atlascopco.com

Bisakah Carbon Capture, Storage dan Utilization dapat diterapkan secara comprehensive dan bijaksana untuk menjadikan Indonesia maju di dalam bidang IPTEK berwawasan lingkungan? Masyarakat menaruh perhatian dan harapan besar bagi pemerintahan akan datang untuk menggunakan isu perubahan iklim akibat karbon dioksida dan bagaimana isu ini juga bisa bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dengan Penangkapan Penyimpanan dan Penggunaan  Karbon (P3K) untuk tujuan ekonomi dan perluasan lapangan kerja.

Oleh:

Anna E.P

Peneliti Lingkungan

PRLTB (Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih)- BRIN

Kampus Samaun Samadikun Bandung

Email: anna001@brin.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun