Bukannya pengaruh karbon dioksida di atmosfir kita mulai menakutkan bagi kita saat ini dan generasi yang akan datang?
Ketika isu "Carbon Capture"dilontarkan maka harusnya juga dibicarakan "Carbon Storage" dan "Carbon Utilization". Jadi isu ini menjadi satu paket yang tidak terpisahkan satu sama lain dari sudut pandang teknis dan dalam payung perubahan iklim (climate change) dan topik ini belum secara langsung menyentuh  isu "carbon footprint dan carbon trading" sebagai kebijakan ekonomi politik serta global trading di era saat ini dan yang akan datang.Â
Mungkin terkadang sudut pandang Carbon Capture dianggap hanya sebagai proses mitigasi semata untuk mengurangi emisi karbon sebagai salah satu senyawa gas dari gas-gas rumah kaca (GHGs) yang mengakibatkan pemanasan global (global warming) yang dipertahankan tidak melebihi 1,50C.
Namun isu ini tidak selamanya menjadi menakutkan para ekonom dan politikus jika bersentuhan dengan tatanan global menyangkut pertumbuhan ekonomi suatu negara.Â
Secara nasional kompleksitas isu ini harus diselesaikan bersama sama oleh pemerintah terutama kementrian teknis dan seluruh komponen masyarakat luas sebagai tindakan mitgasi bersama demi tujuan kemanfaatan emisi karbon dioksida sebagai sumber energy dan juga sumber daya ekonomi lain termasuk pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja baru.
Carbon capture (penangkapan karbon) dan Carbon storage (penyimpanan karbon) adalah suatu proses dimana aliran karbon dioksida (CO2) dari aktivitas produksi dipisahkan dari gas buang lainnya, diproses dengan teknologi yang ada saat ini dan dipindahkan atau ditransport ke suatu lokasi yang dapat tersimpan bisa di dalam tanah dengan stuktur geologi tertentu, dan juga di dalam tengki bertekanan dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan pemanfaatan (Carbon Utilization).
Masyarakat dunia menyadari bahwa fosil fuel (batu bara, minyak dan gas) adalah sumber energy yang dapat habis dan tidak bisa diperbaharui. Pengunaannya sebagai energi saat ini adalah merupakan beban fiskal bagi setiap negara pengimpor fosil fuel dan bukan hanya itu saja, akan juga menjadi komoditi ekonomi dan politik dunia.Â
Sebahagian negara maju telah melangkah lebih jauh untuk memanfaatkan hasil samping energy fosil fuel berupa emisi CO2(g) sebagai energy baru dan juga untuk komiditi lainnya.Â
Sejak tahun 1930an secara laboratorium dan implementasinya di era tahun 1970an carbon capture telah dilakukan. Selanjutnya mega projek dekarbonisasi (carbon capture, storage, and utilization) dilakukan sejak tahun 2000an di banyak negara maju yang enggan menandatangani perjanjian Paris, lalu pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan Indonesia?
Perpres 61 tahun 2011 Tentang Rencana aksi nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (peraturan.go.id), dikeluarkan sebagai upaya dan komitmen pemerintah untuk mengurangi pemanasan global akibat efek/pengaruh negatif gas gas rumah kaca.Â
Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, pada hari Jumat, 22 April 2016 dan merupakan kelanjutan dari Konvensi-Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC COP-21) dibulan Desember 2015 (ppid.menlhk.go.id). Keseriusan pemerintah untuk melaksanakan agreement tersebut terbukti dengan diundang undangkan nya di dalam Undang Undang No 16 Tahun 2016 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 Oktober ditahun tersebut.