Mohon tunggu...
Ana Abdillah
Ana Abdillah Mohon Tunggu... Pengacara - Wujudkan perlindungan Bagi Perempuan Korban Kekerasan

Direktur Womans Crisis Center Jombang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perluasan Norma Tindak Pidana Asusila dalam Konteks Yudicial Restraint

1 Juli 2024   07:36 Diperbarui: 1 Juli 2024   07:46 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ana Abdillah (1322300021)

( Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)

Pada  14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016  mengenai permohonan untuk memperluas delik-delik kesusilaan di dalam KUHP terkait dengan perzinaan (Pasal 284), pemerkosaan (Pasal 285), dan perbuatan cabul (Pasal 292). Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan untuk seluruhnya. Putusan ini berakhir dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan Hakim Konstitusi. Empat dari sembilan Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions).

Dalam pasal 284 pemohon berargumentasi bahwa  arti dari kata zina tidak hanya terbatas bila salah satu pasangan atau kedua-duanya terikat dalam hubungan pernikahan, sedangkan menurut pemohon dalam konteks sosiologis konstruksi zina jauh lebih luas selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 KUHP juga termasuk hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan; 

Menurut hemat penulisan usulan pemohon justru akan menimpulkan disharmonisasi dengan spirit perlindungan anak korban tindak pidana kekerasan seksual, dimana potensi kriminalisasi terhadap korban justru melangengkan stigma dan diskriminasi dengan dasar "tuduhan zina".

Dalam Pasal 285 Pemohon berpendapat agar berlakunya kata "seorang wanita" dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus dihapuskan. Menurut hemat penulisan pendapat ini justru akan mengabaikan aspek kerentanan dan ketimpangan relasi kuasa yang dihadapi oleh perempuan korban kekerasan baik dalam lingkup rumah tangga maupun ranah publik.

Dalam Pasal 292  pemohon meminta kepada hakim MK, agar kata  "belum dewasa" pada frasa "yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa" dengan dasar Pasal 292 KUHP hanya memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, sedangkan terhadap korban yang telah dewasa atau yang diketahuinya atau sepatutnya diduga telah dewasa tidak diberikan kepastian dan perlindungan hukum; 

Menurut hemat penulis, frasa belum dewasa merupakan frasa yang ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir, oleh karenanya harus diharmonisasi dan disinkronisasi dengan ketentuan UU yang lain selain KUHP, dimana batasan usia belum dewasa menurut KUHPerdata adalah : dibawah 21 tahun, UU. No. :  1 tahun 1974 jo UU. No.  : 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah di bawah 19 tahun, UU.  No. :  23 Tahun 2002 Jo. UU. No. : 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah dibawah 18 tahun.

Lalu Bagaimanakan Pendapat Hakim pemeriksa Perkara di Mahkamah Konstitusi  ?

 

Mayoritas Hakim berpegang pada pendekatan "pembatasan yudisial" (judicial restraint),  yang artinya berkeyakinan bahwa perluasan delik-delik asusila didalam KUHP diyakini sebagai  kewenangan legislator, eksekutif, dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya. sedangkan para Hakim lainnya menggunakan pendekatan "aktivisme yudisial" (judicial activism) yang menekankan pada kewenangan hakim untuk mengontrol atau memengaruhi institusi politik dan administraif, baik di legislatif maupun eksekutif, dalam membuat keputusan dan kebijakan. 

Menurut hemat penulis, pendekatan judicial restraint dalam menyikapi norma tindak pidana asusila harus didasarkan pada fakta dilapangan berdasar tantangan dan hambatan yang dihadapi korban dan pendamping korban, juga mempertimbangkan analisis terhadap irisan UU lainnya agar tidak disharmonisasi peraturan, sehingga dalam konteks perluasan norma diatas, penulis sependapat dengan Mayoritas Hakim MK yang menggunakan pendekatan judicial restraint. 

Richard A. Posner (2012) membagi pendekatan ini ke dalam tiga kategori. Pertama, legalism atau formalism sebagai suatu pendekatan bahwa hakim hanya menjalankan hukum dan tidak untuk membuatnya. 

Kedua, modesty, institutional competence, atau process jurisprudence yang menempatkan hakim untuk menghormati dan tidak memasuki ranah kewenangan legislatif atau eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan. Ketiga, constitutional restraint yang menempatkan hakim untuk sangat enggan menyatakan inkonstitusional dari suatu keputusan atau tindakan eksekutif maupun legislatif.

Aileen Kavanagh (2009) memberikan empat alasan dan kondisi untuk menggunakan pendekatan judicial restraint ini. Pertama, keterbatasan keahlian peradilan untuk memutus sesuatu yang sangat kompleks dan tidak dapat memprediksi konsekuensi-konsekuensi lain yang akan muncul dari putusannya. 

Kedua, sifat inkremental dari putusan pengadilan dengan menyadari bahwa reformasi atau pertimbangan parsial justru bisa membawa resiko yang kontraproduktif sehingga akan gagal mencapai harapan atau maksud yang ingin dituju. 

Ketiga, adanya legitimasi demokratis dan akuntablitas lembaga pengadilan yang lebih rendah dibandingkan dengan legislator dan eksekutif dalam membuat suatu putusan atau kebijakan. Keempat, menjaga reputasi dan memberikan kepercayaan publik terhadap pengadilan sebagai pemutus yang adil sehingga keputusannya dihormati, baik oleh parlemen, eksekutif, dan masyarakat luas.

Pada Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016  pertimbangan hukum yang diuraikan bahwa perluasan delik pidana atau kriminalisasi merupakan bentuk pembatasan hak dan perampasan kebebasan warga negara. Sehingga, MK menilai hal tersebut merupakan kewenangan ekslusif pembentuk undang-undang. 

Hukum pidana yang memiliki sanksi keras sejatinya datang dari persetujuan rakyat, sedangkan MK memosisikan diri sebagai penguji apakah pembatasan dan perampasan tersebut telah melampaui batasan yang ditentukan oleh Konstitusi atau tidak.Perluasan norma yang dilakukan MK terhadap hal tersebut ditujukan untuk melindungi atau mengembalikan hak dan kebebasan konstitusional, bukan sebaliknya membatasi hak dan kebebasan warga negara.

Dari Putusan ini dapat ditarik benang merah bahwa salah satu parameter MK untuk tidak memperluas norma dalam konteks judicial restraint adalah tidak memperluas norma pidana atau kriminalisasi serta tidak membuat delik pidana baru. Namun demikian, bagi para dissenters, MK seharusnya tidak mengambil sikap membatasi diri dengan menggunakan pendekatan judicial restraint.

Penulis : 

Ana Abdillah (1322300021-  Mahasiswa Magister Ilmu Hukum  Universitas 17 Agustus Surabaya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun