Menurut hemat penulis, pendekatan judicial restraint dalam menyikapi norma tindak pidana asusila harus didasarkan pada fakta dilapangan berdasar tantangan dan hambatan yang dihadapi korban dan pendamping korban, juga mempertimbangkan analisis terhadap irisan UU lainnya agar tidak disharmonisasi peraturan, sehingga dalam konteks perluasan norma diatas, penulis sependapat dengan Mayoritas Hakim MK yang menggunakan pendekatan judicial restraint.Â
Richard A. Posner (2012) membagi pendekatan ini ke dalam tiga kategori. Pertama, legalism atau formalism sebagai suatu pendekatan bahwa hakim hanya menjalankan hukum dan tidak untuk membuatnya.Â
Kedua, modesty, institutional competence, atau process jurisprudence yang menempatkan hakim untuk menghormati dan tidak memasuki ranah kewenangan legislatif atau eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan. Ketiga, constitutional restraint yang menempatkan hakim untuk sangat enggan menyatakan inkonstitusional dari suatu keputusan atau tindakan eksekutif maupun legislatif.
Aileen Kavanagh (2009) memberikan empat alasan dan kondisi untuk menggunakan pendekatan judicial restraint ini. Pertama, keterbatasan keahlian peradilan untuk memutus sesuatu yang sangat kompleks dan tidak dapat memprediksi konsekuensi-konsekuensi lain yang akan muncul dari putusannya.Â
Kedua, sifat inkremental dari putusan pengadilan dengan menyadari bahwa reformasi atau pertimbangan parsial justru bisa membawa resiko yang kontraproduktif sehingga akan gagal mencapai harapan atau maksud yang ingin dituju.Â
Ketiga, adanya legitimasi demokratis dan akuntablitas lembaga pengadilan yang lebih rendah dibandingkan dengan legislator dan eksekutif dalam membuat suatu putusan atau kebijakan. Keempat, menjaga reputasi dan memberikan kepercayaan publik terhadap pengadilan sebagai pemutus yang adil sehingga keputusannya dihormati, baik oleh parlemen, eksekutif, dan masyarakat luas.
Pada Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 Â pertimbangan hukum yang diuraikan bahwa perluasan delik pidana atau kriminalisasi merupakan bentuk pembatasan hak dan perampasan kebebasan warga negara. Sehingga, MK menilai hal tersebut merupakan kewenangan ekslusif pembentuk undang-undang.Â
Hukum pidana yang memiliki sanksi keras sejatinya datang dari persetujuan rakyat, sedangkan MK memosisikan diri sebagai penguji apakah pembatasan dan perampasan tersebut telah melampaui batasan yang ditentukan oleh Konstitusi atau tidak.Perluasan norma yang dilakukan MK terhadap hal tersebut ditujukan untuk melindungi atau mengembalikan hak dan kebebasan konstitusional, bukan sebaliknya membatasi hak dan kebebasan warga negara.
Dari Putusan ini dapat ditarik benang merah bahwa salah satu parameter MK untuk tidak memperluas norma dalam konteks judicial restraint adalah tidak memperluas norma pidana atau kriminalisasi serta tidak membuat delik pidana baru. Namun demikian, bagi para dissenters, MK seharusnya tidak mengambil sikap membatasi diri dengan menggunakan pendekatan judicial restraint.
Penulis :Â
Ana Abdillah (1322300021-  Mahasiswa Magister Ilmu Hukum  Universitas 17 Agustus Surabaya)