Ana Abdillah (1322300021)
( Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Pada  14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016  mengenai permohonan untuk memperluas delik-delik kesusilaan di dalam KUHP terkait dengan perzinaan (Pasal 284), pemerkosaan (Pasal 285), dan perbuatan cabul (Pasal 292). Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan untuk seluruhnya. Putusan ini berakhir dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan Hakim Konstitusi. Empat dari sembilan Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions).
Dalam pasal 284 pemohon berargumentasi bahwa  arti dari kata zina tidak hanya terbatas bila salah satu pasangan atau kedua-duanya terikat dalam hubungan pernikahan, sedangkan menurut pemohon dalam konteks sosiologis konstruksi zina jauh lebih luas selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 KUHP juga termasuk hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan;Â
Menurut hemat penulisan usulan pemohon justru akan menimpulkan disharmonisasi dengan spirit perlindungan anak korban tindak pidana kekerasan seksual, dimana potensi kriminalisasi terhadap korban justru melangengkan stigma dan diskriminasi dengan dasar "tuduhan zina".
Dalam Pasal 285 Pemohon berpendapat agar berlakunya kata "seorang wanita" dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) harus dihapuskan. Menurut hemat penulisan pendapat ini justru akan mengabaikan aspek kerentanan dan ketimpangan relasi kuasa yang dihadapi oleh perempuan korban kekerasan baik dalam lingkup rumah tangga maupun ranah publik.
Dalam Pasal 292  pemohon meminta kepada hakim MK, agar kata  "belum dewasa" pada frasa "yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa" dengan dasar Pasal 292 KUHP hanya memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, sedangkan terhadap korban yang telah dewasa atau yang diketahuinya atau sepatutnya diduga telah dewasa tidak diberikan kepastian dan perlindungan hukum;Â
Menurut hemat penulis, frasa belum dewasa merupakan frasa yang ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir, oleh karenanya harus diharmonisasi dan disinkronisasi dengan ketentuan UU yang lain selain KUHP, dimana batasan usia belum dewasa menurut KUHPerdata adalah : dibawah 21 tahun, UU. No. : Â 1 tahun 1974 jo UU. No. Â : 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah di bawah 19 tahun, UU. Â No. : Â 23 Tahun 2002 Jo. UU. No. : 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah dibawah 18 tahun.
Lalu Bagaimanakan Pendapat Hakim pemeriksa Perkara di Mahkamah Konstitusi  ?
Â
Mayoritas Hakim berpegang pada pendekatan "pembatasan yudisial" (judicial restraint),  yang artinya berkeyakinan bahwa perluasan delik-delik asusila didalam KUHP diyakini sebagai  kewenangan legislator, eksekutif, dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya. sedangkan para Hakim lainnya menggunakan pendekatan "aktivisme yudisial" (judicial activism) yang menekankan pada kewenangan hakim untuk mengontrol atau memengaruhi institusi politik dan administraif, baik di legislatif maupun eksekutif, dalam membuat keputusan dan kebijakan.Â