Mohon tunggu...
Nurjanah Abdul Syukur
Nurjanah Abdul Syukur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, penikmat seni, ibu rumahtangga, eyang putri, pebisnis, pedagang, pemilik rumah baca, pecinta hewan, pemilik shelter, dll.

Menjadi manusia yang berguna dan bertakwa, dunia akherat, aamiin ya robbal alamin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

PROPOSAL KEPADA TUHAN UNTUK NEGERI.

23 Maret 2013   21:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:20 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam terasa begitu tenang, sesekali bahkan terdengar suara jangkrik atau burung kedasih yang hadirkan nuansa kelam. Detak jarum jam terdengar pelan memenuhi ruang keluarga. Seorang perempuan paruh baya terlihat asyik menulis, jemarinya tak henti menekan tuts keyboard sambil sesekali ia memeriksa kembali tiap kalimat yang sudah ditulisnya. Sementara itu, dari sebuah kursi kecil yang tak begitu jauh dari tempat perempuan paruh baya itu menulis, tampak gadis kecil yang setia menemaninya. Gadis yang terlihat sudah mulai mengantuk itu sesekali melirik pada perempuan yang masih asyik menulis itu.

Nurani, nama gadis kecil yang terus memerhatikan Ibunya yang sedang menulis itu. Meski sudah lanjut usia, namun masih terlihat aura kecantikan dari wajah ibunya. Sebagai anak, Nurani begitu bangga terhadap Ibunya. Masih teringat jelas bagaimana perjuangan Ibunya yang tak pernah mengenal lelah untuk menghidupi anak-anak kandungnya dan juga beberapa anak asuhnya.

“Bu, hari sudah semakin larut, nanti Ibu sakit lagi,” bisik Nurani datar meski ada nada khawatir sambil meletakkan sebuah buku yang sedari tadi dibacanya. Ia kemudian melangkah menuju ke arah Ibunya.

“Tidak, Nur, malam ini Ibu harus menyelesaikan tulisan ini karena Ibu tidak mau semuanya terlambat, apalagi usia Ibu semakin tua. Bagaimana jika Ibu keburu dipanggil Sang Kuasa?” lirih Pertiwi, ibunya yang masih saja terus menekan tuts-tuts keyboard itu.

“Ibu, jangan bicara seperti itu. Nur sayang Ibu, Nuryakin Ibu pasti baik-baik saja dan panjang umur. Tapi Ibu juga harus menjaga kondisi ibu, istirahatlah nanti subuh bisa dilanjutkan lagi tulisannya,” ucap Nurani sambil membelai punggung Ibunya dengan penuh kasih.

Tak terasa air mata Nurani menitik, batinnya berkecamuk, menyadari bahwa ia belum bisa membahagiakan ataupun mewujudkan impian Ibunya. Ia tahu kalau ibunya memang memiliki cita-cita yang sangat mulia dan selalu berusaha mewujudkannya lewat usaha dan kerja keras. Ia lalu mengusap airmatanya agar ibunya tak merasa sedih. Tiba-tiba batin Nurani terusik oleh apa yang ditulis ibunya, dengan rasa ingin tahu yang mendalam, Nurani membuka lembar demi lembar kertas yang menumpuk di hadapan pertiwi, walau ditulis tangan, namun begitu rapi sekali.

“Ibu menulis apa? Ini kok seperti proposal? Untuk apa Bu?” berondong Nurani yang sangat ingin tahu.

Pertiwi tersenyum penuh keyakinan, kemudian raut wajahnya terlihat sumringah, ”Ini memang proposal Nur, isinya tentang harapan Ibu, mimpi-mimpi kita Nur, Ibu tujukan proposal ini untuk Tuhan.” jawab Ibunya.

Pertiwi memang dikenal sangat peduli pada lingkungan, terutama pada anak-anak yang harus kehilangan kasih sayang dari orangtuanya. Pertiwi ingin mendirikan bangunan sekolah kokohuntuk belajar anak-anak asuhnya. Namun di sisi lain, ada rasa getir yang sebenarnya hadir di batin Nurani. Selama ini mereka justru tinggal sangat sederhana di rumah yang tak begitu besar, kadang ia pun tahu ibunya harus meminjam uang pada tetangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nurani sangat ingin bisa membantu dan membahagiakan ibunya, apalagi jika ibunya harus terkapar sakit karena terlalu lelah bekerja.

“Apa Tuhan akan mengabulkan proposal itu, Bu?” tanya Nurani dengan rasa tak percaya.

“Yakinlah Nur, yakin akan kebesaran Tuhan. Tuhan Maha Pemberi Nikmat, Ibu yakin dan seyakin-yakinnya, seperti keyakinan Ustad Yusuf Mansuryang membawakan acara Wisata Hati, Ibu terinspirasi oleh Beliau. Insya Allah, impian kita akan terwujud, Nur.” senyum Pertiwi kembali mengembang. Ia kemudian mengusap rambut Nurani dengan lembut, setiap kali ia merasa rapuh, Nuranilah yang akan menjadi semangatnya.

Sesaat pikirannya melayang, terbayang rentetan peristiwa yang dialami, saat ia jatuh sakit dan harus diopname selama 8 hari di Rumah sakit ternama di kawasan Tangerang Selatan. Bagaimana ia sekuat tenaga berusaha sembuh agar bisa pulang, saat sakit pun otaknya harus diputar ke mana cari uang untuk membayar tagihan Rumah Sakit yang mencapai 13 juta rupiah.

Akhirnya Pertiwi harus mengikhlaskan uang tabungan yang sedianya untuk membayar kontrakan rumah selama setahun kedepan, itu pun masih harus pinjam kekurangan lagi, jika tidak jarum infus yang ada di tangan tidak dibuka oleh perawatnya. Dalihnya kalau Pertiwi sudah melunasi tagihan Rumah Sakit, barulah jarum infus dilepas. Pertiwi hanya bisa pasrah, “Lalu bagaimana jika keluarga yang benar-benar miskin lalu jatuh sakit? Apa mereka harus menahan rasa sakitnya seumur hidup? Masya Allah!” Pertiwi mengeleng-gelengkan jika mengingat apa yang dialaminya di Rumah Sakit itu.

Tapi walau begitu, Pertiwi merasa bersyukur karena bisa pulang lagi ke rumah, tak peduli tumor yang bersarang di perutnya belum dioperasi, kalaupun dioperasi berapa lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai semuanya? Pertiwi menghela nafas panjang, dalam doanya ia selalu memohon diberikan kekuatan dan kesehatan jasmani maupun rohani, tak peduli penyakitnya belum dioperasi, ia menganggapnya sebagai hadiah terindah dari Tuhan.

Yang membuat Pertiwi begitu prihatin akan Negara ini, bukan hanya itu saja, namun ada banyak hal yang selalu mengganjal, menghantui pikirannya, yang membuatnya tak pernah tenang setiap hari. Mulai dari kebutuhan anak-anak sekolah yang luar biasa mahalnya, keperluan sekolah yang tak terduga, SPP dan lain-lainnya yang tak bisa diganggu gugat lagi. Hal ini pula yang membuatnya mau melakukan apa saja untuk memperoleh uang. Dari kuli rumah tangga, berjualan nasi, membuat pesanan kue, menjadi buruh memasak dan lain-lain. Mau bekerja kantoran ya tidak bisa pikir Pertiwi, toh ia tak pernah merasakan bangku sekolah.

Ingin rasanya buka usaha, tapi modal sulit didapat, pinjam pada Bank banyak persyaratannya yang tak mungkin bisa dipenuhi. Pertiwi sadar, ia hanya orang biasa. Yang tak mampu berbuat apa-apa dan hanya mengandalkan kebisaan untuk terus melangsungkan kehidupan yang kian laju berjalan. Sering terlintas dipikirannya, Indonesia Negara kaya, namun kesejahteraan masyarakat sama sekali tidak terjamin. Masyarakat tidak butuh berapa besar pendapatan perkapita negaranya, tapi masyarakat butuh kesejahteraan yang nyata. Pendapatan perkapita hanya untuk menutupi kemiskinan yang ada di negara.

Semakin miris, bagai disayat sembilu bila Pertiwi mengingat itu semua. Tiba-tiba Pertiwi tersentak kaget karena Nurani mengecup keningnya sambil berseloroh, “Hayo, Ibu kok jadi bengong aja sih? Kadang senyum-senyum sendiri, kadang geleng kepala, berkerut keningnya ataupun menghela nafas panjang. Ibu kenapa, Bu?” senyum Nurani mengembang pada Ibunya, ia juga menatap ibunya penuh hangat.

“Kita berdoa saja Nur, semoga proposal yang Ibu buat ini terkabul. Ibu meminta pada Tuhan uang senilai 1 milyar, untuk mewujudkan cita-cita kita mendirikan sekolah gratis dengan beragam fasilitas belajar, membeli tanah, halaman dan rumah yang luas ini untuk kepentingan anak-anak asuh kita, dan masih banyak lagi Nur,” wajah Pertiwi begitu sumringah saat menjelaskan apa yang sedang ditulisnya itu. “Tuhan sayang pada kita semua, Nur” lanjut Pertiwi.

“Aamiin, semoga Tuhan langsung kabulkan niat tulus Ibu. Nurani jadi ingat kejadian bulan lalu, Nurani bangga punya ibu yang hebat!” ucap Nurani. Mendengarkan ucapan Nurani, Pertiwi pun sekilasteringat kejadian bulan sebelumnya, tepatnya saat mengadakan acara 17 AgustusanHUT RI ke 67.

“Ibu juga bangga punya anak sepertimu,” balas Pertiwi.

Nurani masih mengingat jelas, dengan semangat berapi-api ibunya memulai berpidato layaknya seorang pemimpin di depan mimbar upacara resmi meski sebenarnya hanya berupa teras yang disulap jadi panggung. Murid-muridnya yang notabene anak-anak jalanan dan anak dari keluarga tidak mampu, terlihat begitu antusias mendengarkan apa yang disampaikan ibunya. Selesai sesi acara lomba, datang serombongan anak muridnya, mereka membawa spanduk kecil dari kain yang seadanya, dan berbagai pamplet dari kardus bekas mi instan.

AKU TIDAK BANGGA JADI ANAK INDONESIA!

AKU MALU JADI ANAK INDONESIA!

KAMI BUKAN PEWARIS BANGSA BOBROK INI!

Demikian antara lain bunyi pernyataan mereka yang sempat diingat Nurani. Saat itu ia sendiri merasa khawatir pada Ibunya, ia takut mereka akan menyakiti Ibunya. Namun Nurani melihat sendiri bagaimana ibunya sangat tenang menghadapi beberapa muridnya yang entah kenapa bersikap kritis seperti itu. Nurani juga duduk di samping ibunya ketika ibunya berbincang dengan anak-anak remaja jalanan yang membawa spanduk itu. Mereka diijinkan bebas mengeluarkan pendapatmereka menyatakan mengapa mereka tidak bangga menjadi anak Indonesia? Mengapa harus malu jadi anak Indonesia dan mengapa mereka tidak bersedia menjadi ahli waris bangsa yang kaya ini?

Diberondong dengan pertanyaan itu, para murid menjawab dengan memberondong pula ditambah dengan emosi anak muda yang agak meluap-luap. Beberapa kali Nurani sempat merasa takut, namun Ibunya tetap bersikap tenang dan tidak emosi. Setelah puas mengeluarkan suara hati mereka, anak-anak itu ganti terdiam ketika ibunya berbicara dengan suara pelan namun cukup tegas.

“Anak-anakku, Ibu bersyukur kalian masih mempunyai matahari yang jernih. Melihat sisi kehidupan bangsa ini dari sisi kalian. Ibu memaklumi rasa malu kalian, ibupun sebenarnya ikut malu karena secara sadar ataupun tidak telah menjadi bagian dari orang-orang yang telah mewarisi sifat-sifat dan karakter bangsa yang jelek ini. Tapi, akan lebih malu sekiranya kita pun terus berperilaku malas dan tak mau bekerja keras, tak mau belajar, atau berusaha mewujudkan impian.”

Ya, kata-kata itu sepertinya mampu membuat anak-anak remaja jalanan itu memiliki semangat baru. Mereka bahkan tersenyum sambil menganggukkan kepala, beberapa anak hanya mampu tertunduk.

“Lah, kenapa sekarang gantian kamu yang bengong nak?” ucap Pertiwi membuyarkan lamunan Nurani.

“Hihihi..iya Bu, Nurani mengingat kejadian Agustusan kemarin. Nurani makin bangga punya ibu..” Nurani segera memeluk ibunya dengan erat.

“Sekarang, kau tidurlah. Esok harus berangkat sekolah kan? Adikmu sudah tidur?”

“Iya, dia sudah tidur. Tapi ibu juga harus istirahat, Nurani ingin ibu terus sehat agar impian ibu pun terwujud,” ujar Nurani setengah merengek pada Ibunya.

“Baiklah, Ibu temani kamu tidur,” jawab Pertiwi sambil merapikan beberapa buku yang ia jadikan panduan untuk membuat proposal dibantu oleh Nurani. Mereka pun masuk ke dalam kamar. Adiknya Nurani tampak sudah lelap dalam tidurnya. Pertiwi lalu menyelimuti Nurani yang memang sudah terlihat sangat mengantuk, lalu menemaninya tidur.

Setelah anaknya lelap, Pertiwi kembali bangun perlahan dari tempat tidur. Kakinya terasa sakit untuk berjalan karena memang ia belum sembuh benar dari sakitnya. Ia melangkah pelan lalu menutup pintu kamar. Pertiwi kembali menyalakan komputernya lalu melanjutkan membuat proposal. Dalam hatinya, ia sendiri hanya bisa bermunajat kepada Tuhan agar kelak anaknya bisa hidup nyaman di negeri yang sedang menentukan kembali arahnya.

Airmata keluar dari sudut-sudut matanya, menetes membasahi pipinya yang mulai berkerut disapu takdir. Ulu hatinya terasa sangat sakit, Pertiwi pun hanya bisa tertunduk sambil memegangi perutnya yang serasa dililit dan dicengkeram kuat. Ia harus bertahan, tumor itu tak akan dibiarkannya menang, setidaknya hingga ia yakin proposalnya diterima dan dikabulkan Tuhan.

“Tuhan, jangan kau azab negeri yang indah ini, jangan kau beri azabmu, Tuhan..”

Gemuruh Langit Pamulang

NAS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun